Ekonomi Daerah Tambang Tumbuh Tinggi, Tapi Warga Lokal Tak Sejahtera

Data BPS menunjukkan, Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di wilayah Perkotaan/Pedesaan Maluku Utara mencapai 0,19 selama semester I 2024.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 17 Sep 2024, 13:10 WIB
Ilustrasi tambang nikel (dok: Foto AI)

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga riset sektor energi dan tambang Reforminer menyoroti besarnya kesenjangan ekonomi yang terjadi di daerah yang menjadi lokasi industri pertambangan. Ada beberapa bagian yang mendapat manfaat tinggi dari keberadaan tambang tetapi ada bagian yang harus menderita karena adanya tambang

Direktur Eksekutif Reforminer Komaidi Notonegoro mengungkapkan, hasil riset yang didapat Reforminer menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di daerah yang menjadi basis investasi tambang naik siginifkan.

Misal pertumbuhan ekonomi di daerah Halmahera, Maluku Utara mencapai kisaran 20%-25% selama periode 2020-2023.

“Itu luar biasa, di atas rata-rata pertumbuhan nasional antara 5%-6%,” ujar Komaidi dalam paparan di St.Regis Jakarta, Selasa (17/9/2024).

Tetapi di daerah-daerah itu, angka tingkat kedalaman kemiskinan juga naik signifikan.

“Setelah kami lihat lebih lanjut lagi bahwa pertumbuhan ekonomi yang mencakup konsumsi rumah tangga, komsumsi pemerintah, investasi perusahaan, ekspor dikurangi impor; paling besar itu adalah dari komponen investasi swasta,” beber Komaidi.

Dari temuan itu Reforminer juga melakukan pencocokkan dengan pola investasi, di mana dalam 3 tahun terakhir bahwa 60% PMA (Penanaman Modal Asing) di wilayah tersebut berasal dari luar Jawa.

“Sementara itu, Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah tersebut masih tinggi,” sebut Komaidi, tanpa merinci lebih lanjut.

Data BPS menunjukkan, Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di wilayah Perkotaan/Pedesaan Maluku Utara mencapai 0,19 selama semester I 2024.

Sementara itu, di wilayah Perkotaan/Pedesaan Maluku mencapai 0,89 selama semester I 2024.

“Artinya ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang naik signifikan tadi tidak balik ke masyarakat,” ujar dia.

“Di satu sisi, seolah-olah indikator ekonominya bagus tapi indikator sosial-masyarakatnya kurang. Saya kira ini menjadi PR kita bersama, baik juga Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, karena kalau tidak segera diintervensi akan menjadi bom waktu,” imbuhnya.


10 Tahun Pemerintahan Jokowi, Pertumbuhan Ekonomi Stagnan?

Deretan gedung perkantoran di Jakarta, Senin (27/7/2020). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta mengalami penurunan sekitar 5,6 persen akibat wabah Covid-19. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sebelumnya, ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan selama 10 tahun terakhir. Ini merujuk pada dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Head of Center of Macroeconomics and Finance Indef, Rizal Taufikurahman menyampaikan kebijakan infrastruktur yang dibangun Jokowi cenderung lambat dalam memberikan dampak ekonomi. Alhasil, realisasi pertumbuhan ekonomi berada bada angka yang tidak terlalu signifikan.

"Realisasi pertumbuhan ekonomi selama satu dekade stagnan di bawah target. Selama ini pun pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi rumah tangga," kata Rizal dalam diskusi Indef bertajuk Evaluasi 10 Tahun Jokowi Bidang Ekonomi, Selasa (27/8/2024).

Dia mencatat, konsumsi rumah tangga berkontribusi sekitar hampir 58 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dia menilai, tren pertumbuhannya pun dibawah angka pertumbuhan ekonomi.

"Kalau kita ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi maka setidaknya konsumsi rumah tangga harus di atas itu," ujarnya.

Pada periode kedua Presiden Jokowi, dia mengatakan ada tantangaj pandemi Covid-19 yang mengharuskan pemerintah mengambil kebijakan ekstra. Seperti penyesuaian fiskal dan mengucurkan bantuan sosial (bansos) dalam jumlah yang besar.

"Harapannya dorongan fiskal cukup besar terhadap dampak kinerja pertumbuhan ekonomi, tapi sayangnya kalau kita lihat data konsumsi rumah tangga (periode) kedua ini selalu di bawah," ucapnya.

Di sisi lain, Rizal menyoroti soal kinerja ekspor-impor. Dalam 10 tshun terkahir dia mengatskan tingkat ekspor Indonesia mengalami penurunan, sekalipun naik, angka impor pun ikut meningkat.

"Ini menunjukkan perdagangan atau daya saing kita untuk produk kita di pasar global ini jadi banyak tantangan yang saya kira berpengaruh pada daya saing. Ditambah impor barang yang mesti bahan baku untuk mendorong kinerja industri tapi sayangnya impor meningkat bukan untuk mayoritas bahan baku industri untuk perbaikan kinerja dan daya saing," bebernya.


Terjebak Middle Income Trap

Pemandangan gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (5/4/2022). Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 menjadi 5,1 persen pada April 2022, dari perkiraan sebelumnya 5,2 persen pada Oktober 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Rizal menyampaikan, selama pemerintahan Jokowi, sektor ekonomi dihadapkan dengan berbagai tantangan. Pada akhirnya, mempengaruhi indikator ekonomi yang juga beragam.

Dia mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata berada di angka 5 persen. Namun, dia bilang, angka ini belum cukup membuat Indonesia keluar dari jebakan pendapatan menengah atau middle income trap.

"Angka ini belum mampu mencapai target ambisius yang diharapkan untuk membawa Indonesia keluar dari jebakan pendapatan menengah," kata Rizal.

Infografis IMF Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Baik (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya