Kata APTI hingga Warga NU Terkait Rancangan Permenkes dan PP 28/2024 soal Rokok Polos Tanpa Kemasan

Aturan standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek yang tertuang dalam RPMK, hingga kebijakan dalam PP 28/2024 tentang zonasi larangan penjualan dan iklan produk tembakau dari satuan pendidikan dan tempat bermain akan mengancam industri hasil tembakau.

oleh Tim News diperbarui 18 Sep 2024, 00:10 WIB
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan kembali menuai penolakan.

Aturan standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek yang tertuang dalam RPMK, hingga kebijakan dalam PP 28/2024 tentang zonasi larangan penjualan dan iklan produk tembakau dari satuan pendidikan dan tempat bermain akan mengancam industri hasil tembakau. Di mana, industri ini telah berkontribusi besar bagi penerimaan negara maupun penyerapan tenaga kerja.

Sekjen DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kusnasi Mudi menyayangkan PP 28/2024 disahkan dan ditandatangani oleh berbagai Kementerian yang tidak terlibat langsung pada sektor pertembakauan.

Mudi menekankan besarnya peran komoditas tembakau di Indonesia sebagai negara kaya tembakau yang nyatanya selama ini terus digempur habis-habisan dengan berbagai regulasi yang diskriminatif dan tidak mempertimbangkan dampaknya bagi rakyat kecil seperti petani.

"Selama ini kita dicekoki data tentang rokok dari negara lain yang kita tidak tahu kepentingannya apa. Mestinya semua perencanaannya pakai data yang berlaku di sini dulu, baru kita bisa gontok-gontokan terkait regulasinya," ujar Mudi dalam Halaqoh Nasional Masyarakat Sipil Dan Pemerintah 'Telaah Kritis RPMK 2024 tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik', yang disampaikan melalui keterangan tertulis, Selasa (18/9/2024).

Dia menilai, pemerintah perlu mengkaji ulang dan mengajak komunikasi para industri dari hulu ke hilir karena dampaknya akan sangat besar terhadap masa depan tembakau.

 


Harap Pemerintah Kaji Ulang

Industri rokok telah menyumbang kontribusi ekonomi terbilang besar. Tahun lalu saja, cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp139,5 triliun.

Menurut Mudi, keputusan yang ditetapkan pada PP 28/2024 dan RPMK belum berdasarkan pada asas keadilan yang menyeluruh, bukan hanya pada sebagian orang.

"Pemerintah harus mengkaji ulang dan mengajak komunikasi para industri hulu hingga hilir. Ini suatu yang menyakitkan apalagi banyak pihak terdampak yang tak dilibatkan, terutama pada pengesahan kemarin," ucap dia.

"Terkait penolakan ini, kita akan ada aksi turun ke jalan serta menyampaikan aspirasi kami ke presiden terpilih agar dapat didengarkan," jelas Mudi.

Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftah Faqih menilai, selama ini Kemnterian Kesehatan (Kemenkes) belum berimbang dalam menyerap aspirasi masyarakat.

"Yang berarti karena meskipun banyak pihak yang menyetujui aturan ini, tetapi Kemenkes nampaknya belum menghadirkan aspirasi yang kontra dengan inisiasinya," kata dia.

"Dari PP 28/2024 saja, masih banyak pihak yang tidak dilibatkan. Hearing-nya pun nggak utuh, invalid. Di sini kami hadir untuk menyampaikan kemaslahatan yang berimbang, dan meluruskan mana yang harus diputuskan yang terbaik bagi warga dan generasi zaman kita," sambung Miftah.

 


Tak Boleh Hanya Berorientasi pada Satu Sisi

Cukai rokok memang senikmat kepulan asap tembakau. Bisa dibilang, inilah ATM bagi pemerintah yang tak pernah kering.

Miftah juga menegaskan bahwa perumusan suatu aturan, dalam hal ini PP 28/2024 dan RPMK, tidak boleh berorientasi pada satu sisi saja apalagi untuk meraup untung dari keputusan yang tidak berbasis keadilan.

"Maka aturan harus bergantung pada kesejahteraan, kemaslahatan, dan objektif tujuan dari aturan itu sendiri. Semua harus berbasis data penelitian yang rigid detail agar tidak merugikan siapapun. Semua harus di breakdown sampai ke sosialisasi penjelasan dari keputusan tersebut," tegas dia.

Senada, Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Sarmidi Husna menjelaskan, dalam suatu negara hukum, aturan perundang-undangan yang akan dibentuk perlu memenuhi rasa keadilan dan menampung aspirasi masyarakat. Dalam hal ini, kata dia,perlu adanya partisipasi bermakna dari seluruh pihak, baik yang akan terdampak maupun yang tidak.

"Maka dari itu, sebuah peraturan, dalam hal ini RPMK, harus melindungi semua golongan, berkeadilan, sesuai dengan kepercayaan masyarakat, nilai-nilai kepatutan dan budaya masyarakat, dan selalu memiliki wawasan kedepan yang masih menyangkut kepentingan banyak orang," imbuh Sarmidi.

Sarmidi menyoroti beberapa aturan krusial yang dapat merugikan industri tembakau, yaitu terkait standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek, zonasi pelarangan penjualan radius 200 meter dan pelarangan iklan media luar ruang 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.

"Aturan ini menjadi tidak sesuai dengan mandat konstitusi untuk membuat kebijakan yang sejalan dengan kemaslahatan segenap rakyat dan untuk melindungi keamanan serta keadilan semua pihak," kata dia.

"Kebijakan negara terhadap rakyatnya harus sesuai dengan kemaslahatan dan berbasis keadilan, perlu memilih mana unsur baik yang bisa sejalan dengan kepentingan banyak pihak," tegas Sarmidi.

(Liputan6.com / Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya