4 Alasan Remaja Sulit Diatur dan Penuh Drama, Tantangan Berat Para Orang Tua

Remaja adalah periode transisi yang menantang, di mana terjadi perubahan fisik dan hormonal yang signifikan.

oleh Miranti diperbarui 18 Sep 2024, 12:26 WIB
Ilustrasi Orang Tua dan Anak Remaja (Sumber: unsplash)

Liputan6.com, Jakarta Menghadapi remaja bisa menjadi tantangan tersendiri, bahkan kadang membuat kepala pening. Mereka yang sebelumnya manis dan patuh, tiba-tiba berubah menjadi pribadi yang penuh emosi, sulit diatur, dan sering kali menentang.

Orangtua pasti pernah merasakan frustrasi ketika setiap usaha untuk berbicara dengan baik malah berakhir dengan pertengkaran atau sikap acuh tak acuh. Tapi, mengapa remaja bisa begitu? Ada banyak faktor yang membuat masa remaja penuh drama, dari perubahan hormon, masalah kesehatan mental, hingga komunikasi yang tidak sinkron antara remaja dan orangtua.

Mari membahas lebih dalam apa saja yang membuat masa remaja begitu kompleks dan bagaimana cara orangtua bisa lebih memahami mereka. Berikut penjelasan selengkapnya sebagaimana dihimpun Liputan6.com dari berbagai sumber pada Rabu (18/9/2024):


1. Tantangan Perubahan Fisik dan Hormonal

Perubahan fisik dan hormon adalah salah satu alasan mengapa remaja sulit dikendalikan. Foto: Freepik

Remaja adalah masa transisi yang penuh tantangan, di mana perubahan fisik dan hormonal mulai terjadi. Hormon-hormon seperti estrogen dan testosteron mempengaruhi suasana hati dan perilaku remaja, yang sering kali menyebabkan ketidakseimbangan emosi.

Hal ini membuat mereka sulit dikendalikan dan seringkali menunjukkan perilaku yang tidak stabil. Menurut artikel dari My Wellness Hub, perubahan hormon ini memicu rasa bingung dan kecemasan pada remaja, yang akhirnya berdampak pada cara mereka berinteraksi dengan orangtua dan lingkungan sekitar.


2. Tantangan Kesehatan Mental

Remaja sering kali kesulitan mengelola perasaan negatif mereka. Foto: Freepik

Kesehatan mental adalah salah satu alasan utama mengapa remaja sulit diatur. Tekanan dari akademik, sosial, dan harapan lingkungan sekitar sering kali menyebabkan kecemasan berlebihan pada remaja. Berdasarkan artikel dari GT Scholars, jumlah remaja yang mengalami gangguan kecemasan dan depresi meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan meningkatnya harapan dan persaingan dalam dunia pendidikan.

Remaja sering kali tidak tahu bagaimana cara mengatasi perasaan negatif mereka. Hal ini membuat mereka melampiaskan emosi melalui perilaku impulsif atau menarik diri dari kehidupan sosial. Akibatnya, banyak orang tua merasa bingung dan frustasi ketika anak mereka mulai menunjukkan gejala-gejala tersebut. Kurangnya dukungan emosional yang memadai juga memperburuk situasi ini, karena banyak remaja merasa enggan untuk berbicara tentang perasaan mereka atau mencari bantuan.

Walaupun akses terhadap informasi kesehatan mental semakin terbuka, seperti yang diungkapkan oleh My Wellness Hub, masih banyak remaja yang merasa takut dihakimi sehingga menahan diri dari berbicara tentang masalah mental mereka. Orang tua dan guru perlu memahami pentingnya mengenali tanda-tanda awal gangguan kesehatan mental.


3. Kesenjangan Komunikasi dengan Orangtua

Komunikasi yang kurang baik antara remaja dan orangtua. Foto: Freepik

Selain perubahan fisik dan mental, tantangan besar lainnya adalah kesenjangan komunikasi antara remaja dan orangtua. Sering kali, remaja merasa bahwa orangtua mereka tidak mengerti dunia mereka yang penuh dengan dinamika digital dan tekanan sosial. Artikel yang diterbitkan oleh Portland Family Counseling menjelaskan bahwa banyak remaja merasa diabaikan atau tidak dipahami karena perbedaan generasi ini, terutama terkait media sosial dan cara bersosialisasi.

Kesenjangan ini dapat menciptakan ketegangan di rumah, di mana setiap upaya komunikasi berakhir dengan pertengkaran atau sikap saling mengabaikan. Padahal, untuk membangun hubungan yang sehat, komunikasi yang terbuka dan penuh pengertian sangatlah penting. Orangtua yang tidak mencoba mendekati dunia remaja mereka dengan sikap terbuka sering kali mendapati diri mereka semakin jauh dari anak-anaknya.

Solusi dari masalah ini bukanlah dengan memaksa remaja untuk mengikuti aturan yang kaku, melainkan dengan memberikan ruang bagi mereka untuk berekspresi, sambil tetap memberikan bimbingan yang diperlukan. Dengan pendekatan yang lebih terbuka, seperti yang dijelaskan dalam My Wellness Hub, remaja akan merasa didengar dan lebih mungkin bekerja sama dengan orangtua mereka.

 


4. Kebutuhan akan Otonomi

Ilustrasi seorang ibu dengan dua anaknya (stockcake.com).

Remaja mulai mengembangkan kebutuhan yang kuat untuk otonomi dan kebebasan sebagai bagian dari proses transisi menuju kedewasaan. Mereka ingin merasa bahwa mereka memiliki kontrol atas keputusan mereka dan ingin merasakan tanggung jawab pribadi. Kebutuhan ini sering kali menyebabkan mereka menantang batasan dan aturan yang diberikan oleh orang tua atau otoritas sebagai upaya untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan atas kemampuan mereka untuk membuat keputusan sendiri.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya