Liputan6.com, Jakarta - Nafkah merupakan suatu kewajiban yang harus diberikan oleh seorang laki-laki (ayah) kepada pasangan dan anaknya saat telah berkeluarga. Kewajiban dalam memberikan nafkah oleh seorang ayah kepada anggota keluarganya tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 233:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.”
Baca Juga
Advertisement
Tidak hanya itu, Ibnu Mundzir rahimahullah berkata:
“Para ulama yang kami hafal pendapatnya bersepakat bahwa seorang laki-laki wajib menafkahi anak-anaknya yang masih kecil yang tidak punya harta. Karena anak dari seseorang adalah bagian darinya, si anak adalah bagian dari bapaknya. Maka sebagaimana ia wajib menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya, ia juga wajib menafkahi dirinya dan bagian dari dirinya (yaitu anaknya)” (Al-Mughni, 8/171).
Dalam Islam, memberikan nafkah adalah beban syara’ yang bernilai kasih sayang. Kadar dalam menafkahi anak tidak diukur dalam nominal uang saja, karena setiap kebutuhan anak tentunya berbeda-beda.
Lantas, sampai kapankah orangtua berkewajiban untuk menafkahi anaknya? Berikut penjelasannya merangkum dari laman NU Online.
Saksikan Video Pilihan ini:
Alasan Wajibnya Menafkahi Anak bagi Orangtua
1. Anak Belum Mampu dalam Bekerja
Ketika anak belum bekerja dan menghasilkan uang serta tidak memiliki simpanan sama sekali untuk biaya hidupnya, maka orangtua berkewajiban dalam menafkahi. Namun, ketika seorang anak telah baligh dan mampu untuk bekerja, orangtua tidak memiliki kewajiban lagi dalam menafkahi, meskipun anak tersebut belum mendapatkan pekerjaan.
2. Ketika Anak Menuntut Ilmu
Meskipun seorang anak dapat dikatakan telah mampu untuk bekerja, tetapi ia masih dalam tahap mencari ilmu, seperti berkuliah dan ketika ia bekerja sambil menyelesaikan pendidikannya tetapi malah berdampak dengan terbengkalainya pendidikan anak tersebut, maka orangtua wajib dalam menafkahi anaknya.
Advertisement
Batas Menafkahi Anak
Hal lain yang menjadikan orangtua tidak wajib menafkahi anak adalah ketika anak telah memiliki simpanan uang yang banyak hingga bisa disebut sebagai orang kaya, misalnya ia memiliki harta dari hasil warisan, maka dalam keadaan demikian orangtua tidak terlalu wajib untuk menafkahi anaknya, meskipun sang anak masih kecil.
Penjelasan di atas sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri:
فالغني الصغير او الفقير الكبير لا تجب نفقته – إلى أن قال - وقد استفيد مما تقدم ان الولد القادر على الكسب اللائق به لا تجب نفقته بل يكلف الكسب بل قد يقال انه داخل في الغني المذكور. ويستثنى ما لو كان مشتغلا بعلم شرعي ويرجى منه النجابة والكسب يمنعه فتجب حينئذ ولا يكلف الكسب
“Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib (bagi orang tua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya. Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syara’ dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika ia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan demikian ia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja.” (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hal. 187)
Ketentuan di atas adalah ketentuan baku perihal batas menafkahi anak sesuai dengan rumusan para ulama’ yang kompeten, meski begitu alangkah baiknya dalam penerapannya, orangtua tetap mempertimbangkan kondisi anak tentang kesiapan mereka untuk hidup mandiri, jika memang secara mental anak belum siap, atau ia masih belum menemukan pekerjaan yang layak baginya, maka bijaknya orangtua dalam keadaan demikian tetap memberi nafkah pada anaknya, meskipun hal ini tidak wajib, hal ini mereka lakukan dengan tetap mendorong anak agar selalu berusaha hidup secara mandiri.