Liputan6.com, Jakarta Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) menggandeng sejumlah lembaga untuk merumuskan strategi percepatan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.
Strategi tersebut dirumuskan dalam pertemuan Accelerating Indonesia’s EV Transition, adapun lembaga yang hadir adalah lembaga nirlaba global RMI (sebelumnya Rocky Mountain Institute), Enhancing Readiness for the Transition to Electric Vehicles (ENTREV), the Indonesia Environment Fund (IEF), and the Electric Mobility Ecosystem Association (AEML).
Advertisement
Deputi Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Transportasi Kemenkomarves Rachmat Kaimuddin mengatakan, transisi kendaraan listrik Indonesia adalah peluang strategis bagi pertumbuhan ekonomi dan keamanan energi bangsa Indonesia, karena pemerintah telah menargetkan 13 juta kendaraan roda dua listrik (e-2W) dan 2 juta kendaraan roda empat listrik (e-4W) di jalan raya pada tahun 2030.
"Untuk mewujudkan EV di Indonesia, kita perlu membuatnya tersedia, terjangkau, serta menyediakan infrastruktur yang baik dan kendaraan yang andal," kata Rachmat, Rabu (18/9/2024).
Pemenuhan target kendaraan listrik tersebut akan berdampak positif pada kualitas udara, mengurangi emisi karbon, dan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat secara luas.
Dalam pertemuan tersebut para pemangku kepentingan pun membahas hambatan penting dalam penggunaan EV di Indonesia, termasuk pengembangan kebijakan, solusi pembiayaan, infrastruktur pengisian daya, serta keterlibatan korporasi dan konsumen.
Transisi Mobilitas Listrik
Para peserta mengidentifikasi langkah-langkah strategis untuk mempercepat transisi mobilitas listrik di negara ini, yang selaras dengan Strategi Nasional Dekarbonisasi Sektor Transportasi yang dipimpin oleh Kemenkomarves.
Patrick Adhiatmaja, Wakil Ketua AEML, mengungkapkan, transisi menuju mobilitas listrik membutuhkan kerja sama dari semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, mitra sektor swasta, mitra pembangunan, dan masyarakat.
"AEML berkomitmen untuk mendukung upaya kerja sama ini agar manfaat EV dapat diakui dan digunakan secara luas di seluruh Indonesia. Transisi ini sangat penting untuk mengurangi emisi dan mempromosikan mobilitas bersih, berkontribusi pada masa depan yang lebih berkelanjutan bagi semua," jelasnya.
Transisi Energi Bersih
Dalam acara tersebut juga dilakukan MOU antara RMI dan IEF untuk berkolaborasi dalam tujuan transisi energi bersih Indonesia. Keterlibatan ini penting untuk mendorong perubahan kebijakan dan mendukung tujuan Indonesia menjadi pasar mobilitas listrik dan energi bersih terdepan di Asia Tenggara.
Direktur Asia Tenggara RMI, Wini Rizkiningayu, menjelaskan RMI memiliki misi mendukung transisi mobilitas bersih dan energi Indonesia yang akan berdampak signifikan pada kehidupan dan mata pencaharian.
"Melalui kolaborasi seperti lokakarya hari ini, kami dapat membantu memastikan masa depan yang berkelanjutan dan nol karbon di seluruh sektor energi Indonesia," tutupnya.
Advertisement
Benarkah Mobil Listrik Lebih Berisiko Terbakar?
Sebelumnya, mobil listrik atau New Energy Vehicle (NEV) asal Tiongkok dinilai memiliki risiko terbakar dan tidak aman dibandingkan dengan NEV dari negara lain. Lalu seberapa amankah NEV asal Tiongkok?
Pada Agustus 2024, sebuah Mercedes-Benz EQE terbakar secara spontan di parkiran basement apartemen di Seoul, Korea Selatan. Imbas kebakaran tersebut, 140 mobil menjadi korban, 70 di antaranya rusak berat.
Akibat kejadian itu, Korea Selatan mempertimbangkan untuk melarang kendaraan listrik berada di parkiran basement.
Peristiwa inipun memicu kekhawatiran Tiongkok atas keamanan NEV. Efek domino dari peristiwa tersebut membuat Hotel Radisson di Distrik Xiaoshan, Hangzhou melarang NEV memasuki tempat parkir bawah tanahnya. Demikian seperti dilansir carnewschina.
Menurut berbagai sumber yang menyediakan data pengukuran tingkat kebakaran, antara EV dan ICE (Internal Combustion Engine) sulit untuk diukur dan sangat bervariasi hasilnya. Namun, jika dilihat secara umum NEV tampak lebih aman daripada mobil ICE dalam hal risiko kebakaran.
Sebagaimana disebutkan Fast Technology, data statistik menunjukkan kasus kebakaran NEV telah berkurang dari 1,85 per 10.000 pada 2021 menjadi 0,96 per 10.000 pada 2023.
Sayangnya, sumber data ini tidak diungkapkan. Lebih lanjut, artikel tersebut mengatakan bahwa rasio untuk kendaraan ICE sekitar 1,5 per 10.000.
Namun, jika melihat sumber lain justru berbanding terbalik. Menurut Norwegia, kejadian kebakaran di antara kendaraan bensin dan diesel atau ICE empat hingga lima kali lebih tinggi daripada kendaraan NEV.
Perbandingan Risiko Kebakaran Antara mobil ICE dan Mobil EV
Sementara itu, The Guardian menggunakan data dari Badan Kontingensi Sipil Swedia mengatakan bahwa pada 2022, ada 3,8 kebakaran per 100.000 kendaraan untuk mobil listrik atau hibrida dibandingkan dengan 68 per 100.000 untuk semua jenis bahan bakar.
Meskipun demikian, The Guardian juga mengutip angka keselamatan kebakaran di Australia menyatakan bahwa ada peluang 0,0012 persen baterai kendaraan listrik penumpang terbakar, dibandingkan dengan peluang 0,1 persen untuk mobil bermesin pembakaran internal atau ICE.
Mobil NEV di Tiongkok tampaknya memiliki catatan keselamatan yang lebih baik daripada ICE dalam hal kebakaran. Namun tidak begitu jelas apakah NEV seaman EV di tempat lain.
Namun, melihat hasil dari statistik Tiongkok masih terlalu awal untuk dapat disimpulkan. Kemungkinan terjadi adalah karena statistik tersebut untuk kendaraan NEV, yang mencakup BEV (Battery Electric Vehicle) dan PHEV (Plug-in Hybrid Electric Vehicle).
Artinya statistik tersebut mungkin tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan beberapa statistik di negara lain. Selain itu, perbandingan sejenis antara PHEV dan BEV juga bisa mempengaruhi hasil sebenarnya.
Advertisement