Pengesahan RUU EBET Belum Tuntas, Serikat Pekerja PLN Respons Begini

Serikat Pekerja (DPP SP) PT PLN (Persero) mendorong Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dilakukan lebih bijak oleh pemerintah dan DPR periode berikutnya, dengan mendukung kepentingan nasional.

oleh Septian Deny diperbarui 19 Sep 2024, 20:20 WIB
Petugas perbaiki tiang listrik di Bundaran Apolo, Pasuruan, Jawa Timur. (Foto: PLN UP 3 Pasuruan)

Liputan6.com, Jakarta Serikat Pekerja (DPP SP) PT PLN (Persero) mendorong Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dilakukan lebih bijak oleh pemerintah dan DPR periode berikutnya, dengan mendukung kepentingan nasional.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja (DPP SP) PT PLN (Persero) Abrar Ali mengatakan Raker Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM yang akan mengambil keputusan Tingkat I RUU EBET telah dibatalkan, otomatis RUU EBET tersebut tidak dapat disahkan oleh DPR RI Periode 2019-2024. Sebab itu diperiode berikutnya RUU EBET yang menitik beratkan pada sektor kelistrikan perlu dikaji ulang dengan lebih mengedepankan kepentingan nasional.

"Listrik merupakan kebutuhan penting dan strategis bagi masyarakat, sesuai konstitusi harus dikuasai oleh negara. Jangan karena ingin tampil di kancah global, kebutuhan domestik dan national interest kedodoran,” kata Abrar, Kamis (19/9/2024).

Menurut Abrar, dengan pembatalan tersebut, pembahasan RUU EBET bisa semakin matang, pun menyoroti salah satu klausul yang perlu dikaji ulang, yaitu tentang skema power wheeling.

Pasalnya, bila ketentuan power wheeling disetujui maka pihak swasta diperbolehkan untuk memproduksi sekaligus menjual listrik kepada masyarakat secara langsung, bahkan dengan menyewa jaringan transmisi PLN.

"Keadaan ini bisa melemahkan peran negara dalam penyediaan listrik bagi masyarakat. Dampaknya, harga listrik akan ditentukan oleh mekanisme pasar," tuturnya.

Abra pun memandang skema tersebut bentuk liberalisasi sektor kelistrikan serta tidak sesuai dengan konstitusi. Pemerintah harusnya mengedepankan kepentingan masyarakat.

Abrar mengungkapkan, dengan adanya pembatalan pengesahan RUU EBTE oleh pemerintah dan DPR periode saat ini, dimungkinkan periode berikutnya bisa lebih matang mengkaji pasal-pasal lain yang krusial, mengingat pembahasan RUU EBET kemarin banyak yang diburu waktu.

"Terkait soal power wheeling baiknya tidak perlu lagi dimasukkan dalam RUU EBET, karena memilki nilai mudarat yang lebih besar dibanding manfaat yang akan diperoleh negara dan masyarakat," tutupnya.


PLN Butuh Rp 20 Triliun per Tahun untuk Turunkan Emisi

Pekerja melakukan pengelasan pada rangka tiang Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) di pinggiran Kanal Banjir Timur Rorotan, Jakarta, Rabu (21/6/2023). (merdeka/Imam Buhori)

PT PLN (Persero) mengungkapkan bahwa pihaknya berambisi membantu mewujudkan target nol emisi karbon pada 2060, dengan Accelerated Renewable Energy Development (ARED). Tetapi PLN juga membutuhkan dana besar untuk membangun infrastruktur transmisi energi.

Director of Legal & Human Capital PLN, Yusuf Didi Setiarto memperkirakan dana yang dibutuhkan PLN mencapai Rp 20 triliun per tahun.

"Proposal PLN konkret, kita membutuhkan dukungan pemerintah untuk mensukseskan ini sekitar USD 15 billion. Kalau dukungan goverment untuk infrastruktur transmisi dan lain-lain ini bisa diwujudkan sampai 2060. Jadi kira-kira Rp 20 triliun setahun disuntik ke PLN untuk pembangunan infrastruktur ini," kata Yusuf dalam paparan di St. Regis Jakarta, Selasa (17/9/2024).

Menurutnya, jika dana itu bisa diraih setiap tahunnya untuk pembangunan infrastruktur transmisi, maka cita-cita Indonesia nol emisi karbon pada 2060 bukan lagi mimpi semata. 

"Insyaallah mimpi kita untuk menjadi lebih hijau di kemudian hari bukan sebatas isapan jempol," ujar dia.

"Kita akan menjemput energi hijau yang ada pusat-pusat pembangkitan seperti Sumatera yang kita tahu ada hydro power di Aceh Sumatera Utara dan beberapa di Sumatera Barat, sedangkan aset-aset geothermal berada di Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat," jelas dia.


PLN Butuh Rp 20 Triliun per Tahun untuk Turunkan Emisi

Pekerja menyelesaikan pekerjaan jaringan SUTET di Tangerang, Banten, Senin (2/1/2021). PT PLN (Persero) memiliki pasukan khusus yang terlatih melakukan pemeliharaan, perbaikan, dan penggantian perangkat isolator, konduktor maupun komponen lainnya pada jaringan listrik. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti bauran energi baru terbarukan (EBT) dari pembangkit listrik milik PT PLN (Persero), yang masih kurang dari target Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) hingga 2025. 

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan, berdasarkan RUPTL hingga 2025, bauran EBT dari pembangkit listrik hijau masih kurang 8,2 gigawatt (GW). Dengan nilai investasi yang diperlukan sekitar USD 14 miliar atau setara Rp 216,3 triliun (kurs Rp 15.456 per dolar AS).

"Kalau kita hitung ya, untuk mencapai bauran yang sesuai dengan RUPTL, jadi saya kan beberapa kali bilang, ini PLN utang sama Kementerian ESDM, karena RUPTL enggak pernah tercapai," ujar Eniya di Kantornya, Jakarta, Senin (9/9/2024).

Utang pembangkit listrik hijau itu terdiri dari berbagai macam jenis, mulai dari berbasis biomassa, biogas, sampah, panas bumi (geothermal), air, hydro, hingga baterai. 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya