Logindo Samudramakmur Kantongi Kontrak Baru USD 21 Juta hingga Agustus 2024

PT Logindo Samudramakmur Tbk (LEAD) perkirakan harga minyak dunia menguat berpengaruh terhadap aktivitas di sektor migas yang mendorong permintaan kapal OSV.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 20 Sep 2024, 12:02 WIB
PT Logindo Samudramakmur Tbk (LEAD) menargetkan pendapatan sebesar USD 32 juta dan rugi usaha di bawah USD 1,1 juta pada 2024. (Foto: Isaac Smith/Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - PT Logindo Samudramakmur Tbk (LEAD) menargetkan pendapatan sebesar USD 32 juta dan rugi usaha di bawah USD 1,1 juta pada 2024. Pada tahun sebelumnya, Perseroan membukukan pendapatan sebesar USD 32,77 juta. 

Melansir materi paparan publik LEAD pada keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Jumat (20/9/2024), perseroan menyampaikan target ini bersifat konservatif untuk 2024 dibuat dengan menyesuaikan dinamika industri Offshore setelah periode penyesuaian peningkatan harga sewa kapal telah mulai terjadi pada 2023.

Hingga 31 Agustus 2024, LEAD telah memperoleh kontrak baru senilai USD 21 juta. Total kontrak kapal yang dimiliki Perseroan senilai USD 40,5 juta. Nilai yang belum terpakai senilai USD 21,9 juta.

Adapun dalam proyeksi 2024, Perseroan memperkirakan harga minyak dunia sudah meningkat dan cenderung stabil. Hal ini berpengaruh terhadap meningkatnya aktivitas di sektor minyak dan gas bumi baik di dalam dan luar negeri, yang pada akhirnya mendorong meningkatnya permintaan akan kapal kapal OSV. 

"Di beberapa tipe kapal peningkatan harga sewa masih terus memperlihatkan tren kenaikan. Supply kapal–kapal OSV untuk tipe tertentu sudah mulai berkurang, terutama untuk Indonesia. Hal ini karena harga sewa kapal di luar Indonesia lebih tinggi dari di dalam negeri,” jelas Perseroan. 

Pendapatan LEAD pada kuartal I 2024 mencapai USD 11,51 juta atau meningkat 45,28 persen secara tahunan (yoy). LEAD membukukan laba bersih sebesar USD 49,97 ribu pada kuartal I 2024. Sebelumnya, LEAD mencatatkan rugi bersih mencapai USD 1,38 juta.

 


Go Green, BEI Godok Indeks Saham Berbasis Iklim

Pekerja melintas di depan layar yang menampilkan informasi pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (8/6/2020). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 1,34% ke level 5.014,08 pada pembukaan perdagangan sesi I, Senin (8/6). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) berencana meluncurkan indeks baru sebagai alternatif investasi. Kepala Unit Pengembangan Bisnis Indeks dan ESG BEI, Rony Suniyanto Djojomartono mengatakan, jika ada tematik indeks saham yang akan dirilis, kemungkinan besar terkait ESG.

"Indeks (tematik) ESG) itu salah satu yang sedang kita coba kaji. Karena memang sekarang sedang melakukan edukasi ke perusahaan-perusahaan tercatat terkait dengan perubahan iklim dan membantu memberikan edukasi ke perusahaan-perusahaan terkait dengan penghitungan emisi untuk mencapai target zero emission," kata Rony dalam edukasi wartawan pasar modal, Kamis (13/9/2024).

Menurut Rony, saat ini investor mulai memburu produk-produk yang berkaitan dengan aspek ESG. Sehingga Bursa merasa perlu untuk akomodasi kebutuhan investor akan investasi hijau atau investasi berkelanjutan berbasis ESG.

"Kita masih ada beberapa concept index di pipeline. Kita ada beberapa pilihan seperti indeks yang mendukung sustainability ataupun climate. Atau mungkin indeks yang mengacu pada sisi governance indeks gitu mungkin. Tapi itu masih menjadi kajian," jelas Rony.

Produk investasi pasif bisa menjadi pilihan untuk berburu cuan. Gambaran saja, investasi pasif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meniru kinerja indeks pasar. Strategi ini berdasarkan teori bahwa dalam jangka panjang, pasar cenderung menghasilkan imbal hasil yang positif, sehingga lebih menguntungkan untuk mengikuti pasar daripada mencoba mengunggulinya.

 


2024 Segera Berakhir, Mampukah BEI Capai Target 62 IPO?

Karyawan melintasi layar yang menampilkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat acara Penutupan Perdagangan Bursa Efek Indonesia Tahun 2022 di Jakarta, Jumat (30/12/2022). PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat ada 59 perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO) atau pencatatan saham sepanjang 2022. Pada penutupan perdagangan akhir tahun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup lesu 0,14% atau 9,46 poin menjadi 6.850,62. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumya, tren pencatatan saham melalui penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun ini tampak sepi. Hingga paruh pertama tahun ini, Bursa kedatangan 32 emiten baru dari target Bursa sebanyak 62 IPO hingga akhir tahun.

Angka itu tak banyak mengalami perubahan pada kuartal III 2024. Sampai dengan 5 September 2024, terdapat 34 perusahaan tercatat saham baru, dan masih ada 25 perusahaan dalam pipeline. Total dana dihimpun adalah sebesar Rp 5,2 triliun, jumlah tersebut terlihat mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.

Pengamat Pasar Modal Desmond Wira menilai target IPO BEI tahun ini tidak akan tercapai. Selain memperhitungkan sisa waktu yang tak banyak, saat ini tampaknya juga terjadi ketidakpastian ekonomi.

"Tinggal tiga bulan lebih sedikit, target 62 IPO menurut saya tidak akan tercapai. Banyak emiten yang menunda IPO, termasuk beberapa yang sudah masuk pipeline IPO BEI malah mundur," kata Desmond kepada Liputan6.com, Jumat (13/9/2024).


Faktor Utama Perusahaan Tunda IPO

Pejalan kaki melintas dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kawasan Jakarta, Senin (13/1/2020). IHSG menguat 0,34 persen atau 21 poin ke level 6.296 pada penutupan perdagangan Senin (13/1) sore ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Beberapa faktor utama perusahaan menunda IPO, yang pertama adalah kondisi ekonomi yang stagnan. menurut Desmond, ekonomi Indonesia kurang cerah tahun ini, mengakibatkan banyak perusahaan menunda IPO. Kedua, adanya ketidakpastian misalnya seperti pemilu yang tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga banyak negara lain termasuk Amerika Serikat. Di dalam negeri sendiri, pesta demokrasi belum usai lantaran masih ada pilkada.

"Jadi ada banyak faktor yang menyebabkan ketidakpastian, misalnya tahun pemilu, lanjut dengan pilkada. Hal ini membuat perusahaan menunda IPO. Juga kondisi eksternal, di mana ekonomi dunia yang kurang kondusif, kondisi geopolitik potensi perang Nato - Rusia. Semua berpengaruh," kata Desmond.

Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia Miftahul Khaer memperkirakan IPO pada paruh kedua tahun ini tidak akan jauh berbeda dengan paruh pertama 2024. Secara keseluruhan, IPO tahun ini memang relatif lebih lesu dibandingkan IPO beberapa tahun belakangan.

"Terlebih lagi dengan adanya seleksi ketat oleh BEI bisa jadi penghimpunan dana lewat IPO tidak begitu banyak dibandingkan tahun lalu," kata Khaer dalam pemberitaan Liputan6.com sebelumnya.

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya