DPR: Regulasi Tembakau Indonesia Jangan Disamakan dengan Negara Lain

Sebaiknya regulasi tembakau jangan terlalu ketat karena ekosistem Indonesia ini sangat berbeda dengan negara-negara lain yang tidak punya pabrik dan perkebunan tembakau seluas di Indonesia.

oleh Septian Deny diperbarui 20 Sep 2024, 20:20 WIB
Ilustrasi Industri Rokok

Liputan6.com, Jakarta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dinilai tidak sesuai dengan kondisi industri tembakau sebagai komoditas yang telah menjadi budaya terbesar di Indonesia.

Anggota Komisi IX Fraksi Partai Golkar DPR RI Yahya Zaini yang mengatakan bahwa pengaturan terkait tembakau semestinya tetap diberikan ruang hidup dan pengaturannya tidak boleh terlalu ketat. Yahya menegaskan kembali tembakau sebagai ekosistem yang memiliki jutaan nasib yang bergantung pada komoditas ini, berbeda dengan negara lainnya yang telah meratifikasi FCTC.

“Sebaiknya regulasi tembakau jangan terlalu ketat karena ekosistem kita ini sangat berbeda dengan negara-negara lain yang tidak punya pabrik dan perkebunan tembakau seluas di negara kita. Kalau masih mau diberikan ruang hidup, jangan terlalu ketat,” kata dia dikutip Jumat (20/9/2024).

Yahya juga menyayangkan nirpartisipasi penyusunan regulasi yang berdampak ke banyak pihak ini sejak kemunculan RPP Kesehatan di publik.

“Jangankan masyarakat tembakau, anggota DPR Komisi IX saja tidak dilibatkan dalam pembahasan PP 28/2024. Kami berharap dapat dilibatkan kembali atau dilaporkan hasilnya karena terus terang hal itu tidak dilakukan. Kita juga protes tapi suara kami tidak didengar,” keluhnya.

Selain tidak adanya partisipasi publik, anggota Komisi XI Fraksi Partai Golkar DPR RI Misbakhun berpesan bahwa negara harus hadir dalam regulasi yang rasional berdasarkan tata cara dan penyusunan UU. Karena negara perlu berhati-hati dengan adanya intervensi asing dan anti tembakau yang ingin menekan ekosistem melalui berbagai regulasi yang pasal-pasalnya mengacu secara tidak langsung pada FCTC.

“Dengan isu yang dibawa melalui PP 28/2024, itu kita sudah kocar-kacir. Padahal, kalau menurut saya PP 28/2024 ini jelas sekali adalah konsolidasi kelompok anti tembakau dan intervensi asing yang ingin menyampaikan bahwa tembakau itu hanya berkaitan dengan kesehatan semata. Inilah yang perlu menjadi perhatian kita,” ungkapnya.

Sebagai industri nasional satu-satunya yang tersisa di tengah gempuran intervensi asing, Misbakhun kembali tekankan masa depan industri hasil tembakau dan imbas yang akan terjadi pada pertembakauan jika regulasi tidak ditempatkan secara proporsional. Pemerintah harus membawa negara yang adil dan menempatkan komoditas tembakau dengan objektif, tidak hanya melihatnya dari sisi kesehatan saja.

“Karena ada peran tembakau yang luar biasa, ada hak buruh, petani, dan lainnya yang harus dijaga dan dilindungi nasibnya karena melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah adalah amanat konstitusi,” tegasnya.


Ini Dampaknya Jika Tarif Cukai Rokok Naik Lagi di 2025

Bea Cukai membongkar sindikat penjualan jutaan batang rokok dan ratusan liter minuman mengandung etil alkohol (MMEA) ilegal di Malang dan Bogor dalam gelar patroli yang dilakukan pada 5 hingga 6 Maret 2024. (Istimewa)

Sejumlah perwakilan ekosistem pertembakauan menilai aturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah, mulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, rencana kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), hingga rencana kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2025, merupakan beban tambahan yang dapat mematikan keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).

Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman Mudhara, mengatakan rencana kenaikan tarif cukai rokok akan jadi beban tambahan IHT.

“Beban cukai kita saat ini sudah sangat berat. Jadi, jangan dinaikkan lagi (pada tahun 2025) karena akan bertambah lagi bebannya. Sekarang sudah berat, kalau ditambahkan kenaikan sedikit saja, maka semakin berat (bebannya),” katanya.

Menurutnya, dengan fakta bahwa penerimaan negara (dari cukai) yang terus turun, maka sebenarnya menunjukkan beban kenaikan CHT yang sudah terlampau tinggi. “Kenaikan cukai ini saya rasa sudah sampai di limit, sehingga kinerja IHT jadi terganggu. Harapannya, cukai tidak akan naik lagi,” terangnya.

Budhyman menambahkan saat ini beban yang dipikul industri juga terasa semakin berat dengan terbitnya PP 28/2024 dan rencana kemasan rokok polos tanpa merek pada RPMK. Kebijakan pemerintah ini, kata Budhyman, sangat menggangu subsistem dan komponen ekosistem pertembakauan.

“Nah, seperti di case PP 28/2024 dan RPMK ini kan banyak pelarangan-pelarangan yang nanti akan menyebabkan hilir terganggu, membuat produksi menurun, sehingga otomatis hulunya akan terganggu juga. Tidak hanya itu, tenaga kerja juga akan turun, termasuk petani tembakau dan cengkih. Semuanya akan rugi,” imbuhnya.

Ancaman dari RPMK terkait kemasan rokok polos tanpa merek, kata Budhyman, juga semakin memberatkan IHT.

“Kami melihat PP28/2024 dan RPMK ini dari awal memang tidak inklusif. Padahal IHT merupakan satu-satunya industri nasional yang terlengkap dan terintegrasi dari hulu ke hilir, yang kontribusinya luar biasa signifikan. Justru kalau Kemenkes membuat aturan ini, seperti menempatkan IHT di ruang hampa dan kontribusi kami diabaikan. Kami jelas menolak pasal bermasalah dan diskriminatif dalam PP Kesehatan, termasuk kemasan rokok polos tanpa merek,” tegasnya.

 


Tolak Rencana Kenaikan CHT

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Di kesempatan berbeda, Ketua Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (PD FSP RTMM-SPSI DIY), Waljid Budi Lestarianto, mengatakan pihaknya menolak tegas rencana kenaikan CHT pada tahun 2025, khususnya saat ini IHT tengah ditekan regulasi PP 28/2024 dan aturan turunannya.

“Menurut kami, sebaiknya tidak ada kenaikan, dan 0% adalah pilihan yang tepat dan terbaik. Kami tidak akan berandai-andai atau membuka ruang negosiasi mengenai presentase. Kami khawatir kebijakan (kenaikan cukai) ini dapat mengakibatkan penurunan kesejahteraan, bahkan risiko terburuknya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK). Setiap tahun, kami selalu merasa was-was akan nasib kami,” ujarnya.

Waljid juga menyoroti kenaikan cukai yang terlalu tinggi berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. “Kami melihat bahwa keseriusan pemerintah dalam pengawasan dan pemberantasan peredaran rokok ilegal belum maksimal. Oleh karena itu, daripada membuat aturan pembatasan peredaran dan pengenaan tarif cukai yang tinggi terhadap industri yang legal, sebaiknya pemerintah lebih serius dalam memberantas rokok ilegal,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa pemerintah bersikap tidak adil dan bertindak setengah hati dalam upaya pemberantasan rokok ilegal, sedangkan di sisi lain, pemerintah dinilai sangat serius dalam membatasi peredaran dan mengeruk cukai dari rokok legal. “Ini kan lucu. Pemerintah membatasi peredaran rokok legal melalui PP 28/2024 (dan aturan turunannya) dan kenaikan cukai, tetapi peredaran rokok ilegal yang terus marak seolah dianggap remeh dan tidak ditindak. Menurut kami, ini sangat tidak adil,” pungkasnya.

Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya