Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengaku sudah melibatkan kelompok pelaku usaha guna membahas rencana aturan rokok terbaru. Itu tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan regulasi turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Meskipun tengah terjadi huru-hara di kelompok pengusaha yang tergabung dalam Kadin Indonesia, Menkes tetap mengajak mereka berdiskusi. Khususnya untuk beberapa poin yang menuai kecaman seperti penerapan zonasi larangan penjualan produk tembakau radius 200 meter dari satuan pendidikan, dan wacana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek
Advertisement
"Memang itu sedang dikaji. Kita ajak diskusi kok mitra-mitra bisnis kita. Walaupun agak sibuk dengan isu Kadin ya, tapi kita jaga terus di situ," ujar Menkes Budi Gunadi Sadikin saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (20/9/2024) malam.
Menurut dia, perbincangannya dengan kelompok pelaku usaha sejauh ini positif. "Bagus perkembangannya. Saya tetap panggil teman-teman pengusaha untuk berdiskusi mengenai penerapan aturan rokok," imbuhnya.
Adapun rencana aturan baru untuk industri tembakau ini menuai kritikan dari berbagai pihak. Seperti disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey, yang menyoroti dampak negatif dari peraturan tersebut terhadap pedagang kecil dan pekerja.
Roy menganggap, jika peraturan hanya berfokus pada kesehatan tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi, maka itu dapat menghancurkan usaha kecil hingga mengurangi omzet secara signifikan.
"Kami berharap ada keseimbangan antara aspek kesehatan dan ekonomi dalam regulasi ini," pintanya.
Shifting ke Rokok Illegal
Kekhawatiran hilangnya omzet pedagang kecil dan peritel nantinya dapat berimbas pada negara. Dengan begitu, tujuan pemerintah untuk menekan prevalensi perokok menjadi rancu dan salah sasaran.
Imbasnya, para pedagang dan peritel yang selama ini telah mematuhi aturan malah tertekan.
"Pemerintah perlu menyoroti dari sisi hulu ke hilirnya, lalu imbasnya seperti PHK dan kemiskinan yang makin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, kondisi kesehatan ini semestinya tidak dikait-kaitkan dengan ekonomi," tegas Roy.
Menurut dia, kombinasi kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dan penerapan zonasi larangan penjualan produk tembakau berpotensi meningkatkan konsumsi dari rokok illegal yang semakin mengkhawatirkan.
Sulitnya akses konsumen dewasa untuk membeli produk tembakau dan kurangnya informasi terhadap produk tembakau legal, dikhawatirkan memicu terjadinya shifting ke rokok illegal.
Senada, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi khawatir implementasi kebijakan ini bisa menjadi pintu masuk bagi peningkatan rokok ilegal. Kasus terbaru menunjukkan bahwa rokok ilegal dapat dengan mudah dijual dan didistribusikan meskipun ada penangkapan dan denda.
"Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa regulasi yang ada malah mempermudah peredaran rokok ilegal dan merugikan industri yang mematuhi hukum," tegas dia.
Advertisement
Kemenperin Cemas Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Rugikan Masyarakat
Sebelumnya, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Merrijantij Punguan Pintaria, menegaskan bahwa kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang sedang dirumuskan dalam Rencana Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) perlu diperhatikan dengan seksama.
Mengingat dampaknya terhadap perekonomian nasional dan masyarakat luas, khususnya bagi industri hasil tembakau. Dalam diskusi yang diadakan dalam dua bulan terakhir, Merri menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan keberlangsungan industri.
"Kami semua sepakat untuk menciptakan masyarakat yang sehat, tetapi kita juga harus mempertimbangkan keberadaan lebih dari 1.300 industri yang mempekerjakan sekitar 537 ribu orang," ujarnya, Jumat (20/9/2024).
Angka tersebut menunjukkan tenaga kerja langsung yang diserap pabrikan pada industri tersebut.
Kejadian Berulang
Lebih dari itu, industri hasil tembakau juga menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 6 juta tenaga kerja, termasuk petani tembakau dan cengkih hingga peritel. Menurut dia, dalam 5 tahun terakhir industri tembakau mengalami penurunan signifikan, terutama di golongan rokok yang lebih mahal.
Penurunan sebesar 8,02 persen menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sensitif terhadap harga, yang mengarah pada pergeseran konsumsi ke rokok yang lebih murah. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya strategi kebijakan yang mempertimbangkan daya beli masyarakat.
Merri juga mencatat implementasi Pasal 435 PP 28/2024 mengenai standardisasi kemasan dan desain produk tembakau seharusnya melibatkan masukan dari Kemenperin. Sayangnya, Kemenperin tidak dilibatkan dalam proses public hearing yang digelar oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sehingga suara mereka terabaikan.
"Kejadian ini berulang, dan kami berharap untuk diikutsertakan dalam diskusi kebijakan yang berpengaruh besar terhadap industri kami," ungkapnya.
Advertisement