Penusukan Anak Sekolah di China Picu Keresahan Jepang

Sejumlah perusahaan Jepang ikut merespons insiden penusukan pada Rabu.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 21 Sep 2024, 19:45 WIB
Ilustrasi Penusukan (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Beijing - Penusukan seorang anak sekolah Jepang di Kota Shenzhen, China, telah memicu kekhawatiran di kalangan ekspatriat Jepang yang tinggal di Negeri Tirai Bambu. 

Toshiba dan Toyota telah memberi tahu staf mereka untuk mengambil tindakan pencegahan terhadap segala kemungkinan kekerasan, sementara Panasonic menawarkan penerbangan gratis bagi para karyawannya untuk pulang.

Pihak berwenang Jepang telah mengulangi kecaman mereka atas tragedi penusukan sambil mendesak pemerintah China untuk menjamin keselamatan warga negara mereka.

Penusukan terhadap anak laki-laki Jepang berusia 10 tahun pada hari Rabu (18/9/2024) adalah serangan ketiga yang melibatkan orang asing di China dalam beberapa bulan terakhir.

Dalam pernyataan yang dikeluarkan untuk BBC seperti dikutip pada Sabtu (21/9), raksasa elektronik Panasonic mengatakan akan memprioritaskan keselamatan dan kesehatan karyawan di China daratan setelah serangan terbaru tersebut.

Panasonic mengizinkan karyawan dan keluarga mereka untuk kembali sementara ke Jepang dengan biaya perusahaan, serta menawarkan layanan konseling.

Toshiba, yang memiliki sekitar 100 karyawan di China, telah mendesak para pekerjanya untuk berhati-hati terhadap keselamatan mereka.

Sementara itu, produsen mobil terbesar di dunia, Toyota, mengungkapkan kepada BBC bahwa mereka "mendukung ekspatriat Jepang" dengan memberi mereka informasi apa pun yang mungkin mereka perlukan mengenai situasi tersebut.

Duta besar Jepang untuk China mendesak pemerintah setempat untuk "melakukan yang terbaik" guna memastikan keselamatan warganya.

Sementara itu, pada hari Kamis (19/9) Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menyebut serangan itu "sangat tercela" dan mengatakan Tokyo telah sangat mendesak Beijing memberikan penjelasan secepatnya.

Beberapa sekolah Jepang di China telah menghubungi orang tua, membuat mereka waspada tinggi pasca penusukan terbaru.

Japanese School of Guangzhou membatalkan beberapa kegiatan dan memperingatkan agar tidak berbicara bahasa Jepang dengan suara keras di depan umum.

Beberapa anggota komunitas ekspatriat Jepang di China menuturkan kepada BBC bahwa mereka khawatir akan keselamatan anak-anak mereka.

Seorang pria, seorang pengusaha berusia 53 tahun yang telah tinggal di Shenzhen selama hampir satu dekade, mengungkapkan bahwa dia akan mengirim putrinya kembali ke luar negeri untuk kuliah lebih awal dari biasanya.

"Kami selalu menganggap Shenzhen sebagai tempat yang aman untuk ditinggali karena relatif terbuka bagi orang asing, tetapi sekarang kami semua lebih berhati-hati tentang keselamatan kami," kata dia.

"Banyak orang Jepang yang sangat khawatir dan banyak saudara serta teman telah menghubungi untuk mengecek keselamatan saya."

Pejabat China di Shenzhen menyatakan mereka sangat sedih oleh insiden tersebut dan telah mulai memasang kamera keamanan di dekat sekolah pada Kamis pagi.

"Kami akan terus mengambil langkah-langkah efektif untuk melindungi kehidupan, harta benda, keselamatan, dan hak hukum setiap orang di Shenzhen, termasuk warga asing," kata mereka seperti dikutip Shenzhen Special Zone Daily pada hari Jumat (20/9).

Sebuah tajuk rencana di surat kabar yang berafiliasi dengan pemerintah mengecam tersangka pembunuh, dengan mengatakan perilaku kekerasan ini tidak mencerminkan kualitas orang Tionghoa bisa.

Pada hari Jumat, penduduk setempat mulai meletakkan bunga di gerbang The Shenzhen Japanese School.

"Ini benar-benar menyedihkan. Seharusnya tidak seperti itu," kata seorang penduduk Shenzhen kepada kantor berita Singapura The Straits Times.

Yang lain, seorang guru pensiunan, menuturkan, "Anak ini, tidak peduli dari negara mana dia berasal, adalah harapan keluarga, dan bangsa."


Insiden Terisolasi

Ilustrasi penusukan. (Unsplash)

Saat Shenzhen terguncang oleh pembunuhan tersebut, berbagai laporan berita dan sumber resmi telah mengungkap lebih banyak detail.

Insiden terjadi sekitar pukul 08.00 waktu setempat pada hari Rabu di luar sekolah anak laki-laki, The Shenzhen Japanese School.

Anak laki-laki - yang oleh polisi China disebut sebagai Shen - ditikam di bagian perut. Dia kemudian meninggal karena luka-lukanya pada Kamis dini hari.

Penyerang, seorang pria berusia 44 tahun bermarga Zhong, ditangkap di tempat kejadian.

Menurut media yang dikendalikan pemerintah di Shenzhen, dia memiliki catatan kriminal, pernah ditangkap karena merusak infrastruktur publik pada tahun 2015 dan mengganggu ketertiban umum pada tahun 2019.

Seorang saksi mata mengatakan tersangka tidak berusaha menyembunyikan wajahnya saat melakukan penyerangan.

"Dia tidak melarikan diri, tetapi hanya berdiri di sana dan ditangkap oleh polisi setempat yang menjaga sekolah," kata saksi mata kepada penyiar publik Jepang NHK.

Pihak berwenang China belum mengungkapkan motif pastinya, namun telah berulang kali menyebut penusukan itu sebagai "insiden terisolasi", seperti yang mereka lakukan untuk dua insiden sebelumnya tahun ini.

Pada bulan Juni, seorang pria menargetkan seorang ibu Jepang dan anaknya di Kota Suzhou. Serangan itu juga terjadi di dekat sekolah Jepang dan menyebabkan kematian seorang warga negara China yang telah mencoba melindungi ibu dan anak itu.

Hal itu mendorong pemerintah Jepang menggelontorkan sekitar USD 2,5 juta untuk menyewa penjaga keamanan untuk bus sekolah di China.


Pengaruhi Hubungan Ekonomi China-Jepang?

Ilustrasi Bendera China (AFP/STR)

Sekarang perhatian tertuju pada pihak berwenang China dan bagaimana mereka akan meyakinkan masyarakat Jepang bahwa mereka aman di negara itu, sambil memastikan hal ini tidak berubah menjadi krisis diplomatik besar.

Hubungan antara kedua negara telah lama sengit. Selama beberapa dekade kedua belah pihak telah berselisih dalam sejumlah isu, mulai dari isu historis hingga sengketa teritorial.

Beberapa pihak menunjukkan bahwa penusukan itu terjadi pada hari peringatan Insiden Mukden, yakni ketika Jepang memalsukan ledakan untuk membenarkan invasinya ke Manchuria pada tahun 1931, yang memicu perang selama 14 tahun dengan China.

Seorang mantan diplomat Jepang mengatakan serangan hari Rabu di Shenzhen adalah hasil dari pendidikan anti-Jepang selama bertahun-tahun di sekolah-sekolah China.

Meskipun hubungan diplomatik mungkin sering kali tegang, menurut diplomat Jepang yang telah berbicara kepada BBC, kerja sama ekonomi selalu memiliki keberadaan yang stabil.

Namun, fakta bahwa serangan itu terjadi di pusat teknologi kosmopolitan Shenzhen mungkin dapat membuat kedua belah pihak gelisah.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya