Liputan6.com, Kyiv - Ukraina melarang penggunaan platform pengiriman pesan Telegram pada perangkat resmi yang dikeluarkan untuk personel pemerintah dan militer, serta karyawan sektor pertahanan dan infrastruktur penting.
Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional (Rnbo) yang berpengaruh di negara itu mengatakan hal ini dilakukan untuk "meminimalkan" ancaman yang ditimbulkan oleh Rusia, yang melancarkan invasi ke Ukraina pada tahun 2022.
Advertisement
"Telegram secara aktif digunakan oleh musuh untuk serangan siber, distribusi phishing dan perangkat lunak berbahaya, geolokasi pengguna, dan koreksi serangan rudal," kata Rnbo pada hari Jumat (20/9/2024), seperti dilansir BBC, Sabtu (21/9).
Phising adalah upaya untuk mendapatkan informasi data seseorang dengan teknik pengelabuan.
Telegram banyak digunakan oleh pemerintah dan militer di Ukraina dan Rusia.
Dalam pernyataannya, Rnbo mengatakan larangan telah disetujui pada pertemuan pejabat keamanan informasi tinggi Ukraina, militer, serta anggota parlemen.
Disebutkan kepala badan intelijen militer Ukraina, GUR, Kyrylo Budanov telah memberikan bukti yang kredibel tentang kemampuan layanan khusus Rusia untuk mengakses korespondensi pribadi pengguna Telegram, bahkan pesan mereka yang dihapus.
"Saya selalu mendukung dan terus mendukung kebebasan berbicara, tetapi masalah Telegram bukanlah masalah kebebasan berbicara, melainkan masalah keamanan nasional," ujar Budanov.
Rnbo mengatakan bahwa para pejabat yang menggunakan Telegram sebagai bagian dari tugas pekerjaan mereka akan dikecualikan dari larangan tersebut.
Secara terpisah, Andriy Kovalenko, kepala pusat Rnbo untuk melawan disinformasi, menekankan larangan tersebut hanya berlaku untuk perangkat resmi - bukan telepon pintar pribadi.
Kontroversi Telegram
Tahun lalu, survei USAID-Internews menemukan bahwa Telegram adalah platform sosial teratas di Ukraina untuk konsumsi berita, di mana 72 persen warga Ukraina menggunakannya.
Telegram - yang menawarkan enkripsi ujung ke ujung - didirikan bersama oleh Pavel Durov kelahiran Rusia dan saudaranya pada tahun 2013.
Setahun kemudian, Durov meninggalkan Rusia setelah menolak untuk mematuhi tuntutan pemerintah untuk menutup komunitas oposisi di platform tersebut.
Bulan lalu, Durov, yang juga warga negara Prancis, ditempatkan di bawah penyelidikan formal di Prancis sebagai bagian dari penyelidikan terhadap kejahatan terorganisasi.
Kasusnya telah memicu perdebatan tentang kebebasan berbicara, akuntabilitas, dan bagaimana platform memoderasi konten.
Pada bulan Juli, Durov mengklaim bahwa Telegram mencapai 950 juta pengguna aktif bulanan.
Advertisement