Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, buka suara terkait kabar terbaru mengenai perkembangan perjanjian dagang antara Indonesia dengan Eropa atau Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA) yang hingga kini belum jelas keberlanjutannya.
Airlangga menuturkan, sebenarnya I-EU CEPA telah memasuki tahap finalisasi. Kendati begitu, masih terdapat kendala dalam penyelesaian perjanjian tersebut lantaran adanya pergantian kepengurusan.
Advertisement
"Perundingan I-EU CEPA juga sedang difinalisasi walaupun tidak mudah, karena kabinet di I-EU CEPA-nya berubah. Jadi, dulu negosiator kita itu sekarang sudah tidak menjabat lagi," kata Airlangga dalam acara Rapat Koordinasi Nasional Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (P2DD), di Jakarta, Senin (23/9/2024).
I-EU CEPA merupakan perjanjian dagang bilateral paling komprehensif yang dilakukan Indonesia dengan negara mitranya. Perundingan ini telah berlangsung 9 tahun.
Lebih lanjut, kata Airlangga, akibat pergantian kepengurusan tersebut menimbulkan beberapa permintaan baru dari Uni Eropa, maka Pemerintah Indonesia harus kembali melakukan penyesuaian. Adapun terdapat tiga isu utama yang menyebabkan perundingan I-EU CEPA hingga kini belum selesai.
Pertama, Uni Eropa ingin masalah impor segera dipermudah di Indonesia. Kedua, Uni Eropa masih bersikeras mengenai bea keluar. Ketiga, Uni Eropa juga masih bersikeras mengenai perpajakan digital.
"Kita minta menunggu WTO (World Trade Organization), mereka tidak mau. Jadi tiga isu itu menjadi isu yang masih menggantung dalam perundingan I-EU CEPA," ujarnya.
Peluang Pasar ke Eropa Makin Lebar
Alhasil, melihat kondisi ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Menko Perekonomian agar Indonesia segera memulai aksesi keanggotaan OECD dengan bergabung dalam Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik atau Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP).
"Jadi, CPTPP kemarin saya sudah sampaikan juga kepada Presiden Terpilih, Pak Prabowo, dan minta untuk tidak perlu menunggu," ujarnya.
Sejalan dengan hal itu, kata Airlangga negara ASEAN yang telah bergabung dalam CPTPP di antaranya, Singapura, Vietnam, Brunei, dan Malaysia.
Dia menuturkan, jika apabila Indonesia berhasil bergabung dalam CPTPP, peluang pasar ke Eropa akan semakin terbuka lebar, seperti pasar Inggris, Kanada, Meksiko, Sili, dan Peru.
"Berdasarkan pengalaman memang perundingan I-EU CEPA itu, setiap perunding itu ada saja yang baru, tetapi kalau CPTPP ataupun kepada OECD diharapkan sudah play by the book, sudah ada standar manualnya, sehingga lebih sederhana," pungkasnya.
Advertisement
Perundingan Perdana Indonesia-Peru CEPA Dimulai, Target Selesai November 2024
Sebelumnya, Indonesia dan Peru memulai Perundingan Pertama Indonesia-Peru Comprehensive Economic Patnership Agreement (IP-CEPA) di Lima, Peru, pada Senin (27/5/2024). Perundingan dijadwalkan berlangsung pada 27—30 Mei 2024.
Indonesia dan Peru menargetkan penyelesaian perundingan IP-CEPA pada November 2024. Perundingan dibuka secara resmi oleh Menteri Perdagangan Luar Negeri dan Pariwisata Peru, Elizabeth Galdo, dan Duta Besar RI untuk Republik Peru, Ricky Suhendar.
Pada perundingan tersebut, Delegasi Indonesia dipimpin oleh Direktur Perundingan Bilateral selaku Ketua Tim Perunding Indonesia Johni Martha, sedangkan delegasi Peru dipimpin oleh Direktur Asia, Oseania, dan Afrika Kementerian Perdagangan Luar Negeri dan Pariwisata Peru selaku Ketua Tim Perunding Peru Gerardo Meza.
Menteri Galdo dalam sambutannya mengungkapkan, IP-CEPA diharapkan dapat memberikan manfaat perdagangan bagi Indonesia dan Peru. “Perjanjian IP-CEPA bukan hanya sekedar perdagangan, tetapi juga akan memperluas kehadiran Peru di Asia Tenggara dan Indonesia di Amerika Latin. IP-CEPA diharapkan akan memberikan manfaat bagi kedua negara,” ungkap Menteri Galdo.
Potensi Perdagangan
Hal yang sama juga disampaikan Johni. Menurutnya, potensi perdagangan kedua negara masih cukup besar. Hal ini mengingat total populasi di Peru sebesar 34 juta jiwa dengan nilai produk domestik bruto (PDB) mencapai USD 239,3 miliar. Selain itu, IP-CEPA dapat membuka peluang perdagangan kedua negara yang lebih luas lagi.
“Peru merupakan mitra dagang nontradisional Indonesia yang memiliki potensi cukup besar. Peru dapat menjadi penghubung produk-produk Indonesia di kawasan Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Oleh sebab itu, perundingan IP–CEPA berperan penting sebagai pembuka jalan dan peluang bagi perdagangan yang lebih luas antara pelaku bisnis Indonesia dan Peru,” imbuh Johni.
Dalam putaran pertama ini, kedua pihak memulai perundingan sektor barang terlebih dahulu. Sektor barang tersebut meliputi akses pasar perdagangan barang, aturan asal barang, kepabeanan dan fasilitasi perdagangan, kerja sama ekonomi, hambatan teknis perdagangan, pengamanan perdagangan; perlindungan atas kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan; penyelesaian sengketa; serta kerangka hukum dan kelembagaan.
Advertisement
Sekilas Perdagangan Indonesia-Peru
Pada periode Januari-Maret 2024, total perdagangan Indonesia dan Peru mencapai USD 97,4 juta. Pada periode ini, ekspor Indonesia ke Peru tercatat sebesar USD 63,9 juta, sedangkan impor Indonesia dari Peru tercatat USD 33,5 juta sehingga Indonesia menikmati surplus perdagangan sebesar USD 30,43 juta.
Sementara pada 2023, total perdagangan kedua negara mencapai USD 444,4 juta dengan nilai ekspor Indonesia ke Peru sebesar USD 367,4 juta dan impor Indonesia dari Peru sebesar USD 77 juta. Dengan demikian, Indonesia menikmati surplus perdagangan dengan Peru sebesar USD 290,4 juta.
Total nilai perdagangan Indonesia-Peru pada periode lima tahun terakhir (2019—2023) mengalami tren positif sebesar 19,9 persen. Peru merupakan negara tujuan ekspor nonmigas ke-45 Indonesia dan urutan ke-62 asal impor Indonesia.
Pada 2023, ekspor utama Indonesia ke Peru, di antaranya kendaraan bermotor dan mobil (USD 144 juta), biodiesel (USD 31,8 juta), alas kaki (USD 44,9 juta), dan kertas (USD 13,2 juta). Sedangkan impor utama Indonesia dari Peru, di antaranya biji kakao (USD 33,1 juta), anggur segar/kering (USD 19,7 juta), pupuk mineral atau kimia fosfat (USD 8,5 juta), seng tidak ditempa (USD 5,3 juta), dan terak ampas logam (USD 2,5 juta).