Liputan6.com, Jambi - Menempuh perjalanan darat sekitar seratus kilometer dari kampungnya di Lubuk Mandarsah, Kabupaten Tebo, Jambi, Halim (60) tiba di Kota Jambi pukul 03.00 WIB. Selasa (24/9/2024) dini hari itu, ia bertemu dengan para petani lainnya yang datang dari berbagai daerah untuk menunaikan hajat peringatan Hari Tani Nasional (HTN) 2024.
Datang ke peringatan di Kota Jambi, Halim masih sama seperti yang dulu. Dia masih dirundung kesengsaraan akibat konflik agraria yang didera. Penggusuran bisa saja terjadi pada lahan yang digarap kelompok tani di kampungnya yang bernama Bukit Rinting.
Advertisement
"Kondisi (sekarang) petani masih dibayangi konflik. Enggak ada berhentinya," kata Halim membuka percakapan kepada Liputan6.com ketika ditemui di tengah massa aksi yang berkumpul di Kantor Gubernur Jambi.
Halim telah mengikuti aksi peringatan HTN sejak 2007 yang menjadi awal konflik agraria mendera kelompoknya. Bertahun-tahun mengikuti aksi ini, ia dan petani lainnya tak kunjung mendapatkan keadilan.
Padahal, masyarakat tani yang datang ini berharap konflik agraria dapat segera terselesaikan. Mereka minta pemerintah bisa melindungi keberadaan petani supaya mereka dapat memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
"Saya punya lahan tidak banyak, kurang dari 5 hektare untuk ditanam ubi, sayur. Kami bertani hanya untuk menyambung hidup, syukur-syukur bisa menyekolahkan anak," kata Halim.
Halim di kampungnya tergabung dalam Kelompok Tani Sekato Jayo. Kelompok tani ini diberi mandat oleh lembaga adat desa setempat untuk mengelola tanah adat seluas 1.500 hektare. Kelompok tani ini punya anggota aktif sebanyak 380 orang warga Lubuk Mandarsah.
Namun, tanah ulayat yang diamanatkan untuk mereka itu, masuk areal yang diklaim PT Wira Karya Sakti (WKS)--kelompok usaha APP Sinar Mas. Meski masih dilanda konflik, kini di lokasi yang digarap kelompok tani telah diakui secara administratif dan dimekarkan menjadi RT 06 Dusun Pelayang Tebat, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo.
"Datang ke sini untuk mencari keadilan. Meski keadilan sulit didapat petani, setidaknya saya bisa berkumpul dengan petani lainnya yang bernasib sama," ujar Halim.
Aksi peringatan HTN di Jambi ini diprakarsai oleh Gerakan Suara Tuntutan Rakyat (Gestur) Jambi. Gerakan ini koalisi lembaga nirlaba di Jambi yang aktif pada perjuangan petani. Setelah serangkaian orasi dari pagi hingga tengah hari, baru kemudian massa petani diterima audiensi dengan Pemerintah Provinsi Jambi.
Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kemasyarakatan Setda Pemprov Jambi Arif Munandar yang menemusi perwakilan massa aksi mengatakan, pemerintah telah berusaha menyelesaikan konflik agraria yang terjadi, baik sektor perkebunan dan kehutanan. Bahkan beberapa kasus konflik telah masuk ke panitia khusus DPRD setempat untuk diselesaikan.
"Dan juga yang selesai baru-baru ini ada dua kasus, meski sudah selesai ini muncul konflik baru yang muncul. Jadi mohon dimaklumi kami dari Pemprov ini bukan buang badan, misalnya untuk konflik di kawasan hutan itu ada di ranah pemerintah pusat," kata Arif Munandar.
Dalam audiensi dengan perwakilan petani itu juga dihadiri dinas terkait, termasuk pula dari perwakilan Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jambi.
Petani Bagai Anak Tiri Negeri Sendiri
Setiap tanggal 24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Peringatan ini dimulai sejak 1963 yang lahir di masa pemerintahan Orde Lama. Hari tani ditetapkan oleh Presiden Soekarno dengan Keppres Nomor 169 Tahun 1963 tentang Hari Tani.
Tanggal tersebut dipilih karena bertepatan dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Lahirnya UUPA ini sebagai bukti bahwa tidak boleh ada ketimpangan penguasaan dan peruntukan hak atas tanah di Indon.
Namun, setelah 64 tahun UU Pokok Agraria diundangkan, ketimpangan struktur agraria dan konflik agraria masih terus terjadi. Hampir seluruh sektor telah terjadi penguasaan secara besar-besaran atas sumber agraria.
Peringatan Hari Tani yang seharusnya menjadi peringatan kemerdekaan bagi para petani, namun kondisi berbalik. Peringatan ini selalu menjadi duka cita, sebab menurut massa aksi, petani masih dihadapkan pada persoalan ketimpangan penguasaan tanah.
"Petani ini seperti anak tiri di negeri sendiri. Kita tidak pernah dihargai oleh negara," teriak orator dari Persatuan Petani Jambi (PPJ).
Ketimpangan penguasaan tanah serta lemahnya upaya penyelesaian konflik agraria makin menciptakan keterpurukan terhadap keadaan kaum di pelosok negeri saat ini. Provinsi Jambi pun menjadi salah satu penyumbang konflik agraria terbesar di Indonesia.
Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Jambi, sebanyak 17 letusan konflik agraria terjadi di Jambi sepanjang 2023, dengan luasan 23.120 hektare. Konflik ini berdampak langsung terhadap 6.247 kepala keluarga petani.
"Letusan konflik masih didominasi oleh sektor perkebunan dengan 13 konflik. Sektor kehutanan 2 konflik, dan sektor properti 2 konflik," ujar Koordinator KPA Wilayah Jambi Fran Dodi.
Sementara itu, kebijakan pemerintah di bawah rezim Joko Widodo menurut massa aksi, telah memberi ruang kepada investasi. Kondisi ini semakin menghilangkan sumber penghidupan masyarakat, termasuk hak atas tanah.
Kebijakan pertanian yang tidak pro terhadap petani turut memperparah kemiskinan pedesaan. Catatan Aliansi Petani Indonesia (API) rata-rata terdapat 59 rumah tangga tani yang keluar dari sektor pertanian/jam.
Kondisi yang terjadi itu adalah tak bisa dilepaskan dari dampak penguasaan lahan secara-besaran oleh korporasi sehingga berdampak pada konflik agraria yang tak berujung.
"Kedaulatan harus dikembalikan kepada rakyat banyak. Selesaikan seluruh persoalan rakyat, tata kelola sumber-sumber kehidupan. Baru kemudian kita bicara soal kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi Abdullah.
Advertisement