Liputan6.com, Jakarta - Bursa Efek Indonesia (BEI) sedang mengembangkan Jakarta Automated Trading System (JATS) generasi terbaru. Direktur Teknologi Informasi dan Manajemen Risiko BEI Sunandar memperkirakan, anggaran yang disiapkan sekitar 11-12 persen dari kas.
"Investasi kita kalau dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, investasi itu ada di kisaran 11-12 persen dari kas,” ujar Sunandar di Gedung BEI, Selasa (24/9/2024).
Advertisement
Informasi saja, BEI mencatatkan kas dan setara kas senilai Rp 881,54 miliar per akhir 2023. Jika tak ada aral melintang, pembaruan JATS ini akan dilangsungkan pada 2026.
Sunandar menjelaskan, kemampuan JATS generasi baru nantinya akan lebih dari sistem JATS saat ini, di antaranya kemampuan proses penawaran jual beli yang mencapai 50 ribu-100 ribu per detik, yang mana saat ini hanya 12 ribu- 15 ribu per detik.
"Kalau kapasitas itu, outputnya kita bisa naikin sampai 100 ribu per second. Kemampuan untuk pertemuan harga atau match trade akan meningkat empat kali lipat dari 15 juta per detik saat ini. Kemampuan order-nya lebih naik lagi nanti, lebih tinggi lagi dari itu,” ujar Sunandar.
JATS sendiri merupakan sistem terkomputerisasi di BEI sejak 22 Mei 1995. Pembaruan dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi lonjakan volume perdagangan dan semakin banyaknya investor di pasar modal Indonesia.
Go Green, BEI Godok Indeks Saham Berbasis Iklim
Sebelumnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) berencana meluncurkan indeks baru sebagai alternatif investasi. Kepala Unit Pengembangan Bisnis Indeks dan ESG BEI, Rony Suniyanto Djojomartono mengatakan, jika ada tematik indeks saham yang akan dirilis, kemungkinan besar terkait ESG.
"Indeks (tematik) ESG) itu salah satu yang sedang kita coba kaji. Karena memang sekarang sedang melakukan edukasi ke perusahaan-perusahaan tercatat terkait dengan perubahan iklim dan membantu memberikan edukasi ke perusahaan-perusahaan terkait dengan penghitungan emisi untuk mencapai target zero emission," kata Rony dalam edukasi wartawan pasar modal, Kamis (13/9/2024).
Menurut Rony, saat ini investor mulai memburu produk-produk yang berkaitan dengan aspek ESG. Sehingga Bursa merasa perlu untuk akomodasi kebutuhan investor akan investasi hijau atau investasi berkelanjutan berbasis ESG.
"Kita masih ada beberapa concept index di pipeline. Kita ada beberapa pilihan seperti indeks yang mendukung sustainability ataupun climate. Atau mungkin indeks yang mengacu pada sisi governance indeks gitu mungkin. Tapi itu masih menjadi kajian," jelas Rony.
Produk investasi pasif bisa menjadi pilihan untuk berburu cuan. Gambaran saja, investasi pasif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meniru kinerja indeks pasar. Strategi ini berdasarkan teori bahwa dalam jangka panjang, pasar cenderung menghasilkan imbal hasil yang positif, sehingga lebih menguntungkan untuk mengikuti pasar daripada mencoba mengunggulinya.
Advertisement
2024 Segera Berakhir, Mampukah BEI Capai Target 62 IPO?
Tren pencatatan saham melalui penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun ini tampak sepi. Hingga paruh pertama tahun ini, Bursa kedatangan 32 emiten baru dari target Bursa sebanyak 62 IPO hingga akhir tahun.
Angka itu tak banyak mengalami perubahan pada kuartal III 2024. Sampai dengan 5 September 2024, terdapat 34 perusahaan tercatat saham baru, dan masih ada 25 perusahaan dalam pipeline. Total dana dihimpun adalah sebesar Rp 5,2 triliun, jumlah tersebut terlihat mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.
Pengamat Pasar Modal Desmond Wira menilai target IPO BEI tahun ini tidak akan tercapai. Selain memperhitungkan sisa waktu yang tak banyak, saat ini tampaknya juga terjadi ketidakpastian ekonomi.
"Tinggal tiga bulan lebih sedikit, target 62 IPO menurut saya tidak akan tercapai. Banyak emiten yang menunda IPO, termasuk beberapa yang sudah masuk pipeline IPO BEI malah mundur," kata Desmond kepada Liputan6.com, Jumat (13/9/2024)
Faktor Utama Perusahaan Tunda IPO
Beberapa faktor utama perusahaan menunda IPO, yang pertama adalah kondisi ekonomi yang stagnan. menurut Desmond, ekonomi Indonesia kurang cerah tahun ini, mengakibatkan banyak perusahaan menunda IPO. Kedua, adanya ketidakpastian misalnya seperti pemilu yang tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga banyak negara lain termasuk Amerika Serikat. Di dalam negeri sendiri, pesta demokrasi belum usai lantaran masih ada pilkada.
"Jadi ada banyak faktor yang menyebabkan ketidakpastian, misalnya tahun pemilu, lanjut dengan pilkada. Hal ini membuat perusahaan menunda IPO. Juga kondisi eksternal, di mana ekonomi dunia yang kurang kondusif, kondisi geopolitik potensi perang Nato - Rusia. Semua berpengaruh," kata Desmond.
Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia Miftahul Khaer memperkirakan IPO pada paruh kedua tahun ini tidak akan jauh berbeda dengan paruh pertama 2024. Secara keseluruhan, IPO tahun ini memang relatif lebih lesu dibandingkan IPO beberapa tahun belakangan.
"Terlebih lagi dengan adanya seleksi ketat oleh BEI bisa jadi penghimpunan dana lewat IPO tidak begitu banyak dibandingkan tahun lalu," kata Khaer dalam pemberitaan Liputan6.com sebelumnya.
Advertisement