Liputan6.com, Jakarta - "Saya terkejut dengan luas dan dampak serangan pada tanggal 17 dan 18 September di Lebanon terhadap warga sipil, di mana ledakan pager, radio dua arah (walkie talkie), dan perangkat elektronik lainnya dilaporkan telah menewaskan sedikitnya 37 orang, termasuk dua anak-anak, serta melukai lebih dari 3.400 orang di Lebanon saja, menyebabkan banyak orang cacat permanen dan fasilitas kesehatan berjuang mengatasi besarnya dampak pada masyarakat" - Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Turk saat memberikan pengarahan kepada Dewan Keamanan (DK) PBB pada Jumat (20/9/2024).
Serangan-serangan itu, kata Turk, merupakan perkembangan baru dalam perang, di mana alat komunikasi menjadi senjata yang secara bersamaan meledak di pasar-pasar, jalan-jalan, dan rumah-rumah di tengah rutinitas sehari-hari. Pihak berwenang dilaporkan telah membongkar perangkat yang tidak meledak di sejumlah universitas, bank, dan rumah sakit.
Advertisement
"Hal ini menimbulkan ketakutan, kepanikan, dan kengerian di antara orang-orang di Lebanon, yang telah menderita dalam situasi yang semakin tidak stabil sejak Oktober 2023 dan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Ini tidak bisa menjadi kenormalan baru. Perang punya aturan," ujar Turk seperti dikutip dari laman Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), Rabu (25/9/2024).
Turk menjelaskan bahwa kekuatan bersenjata hanya dapat digunakan jika diperlukan untuk mencapai tujuan militer yang sah. Dalam melakukannya, perbedaan mendasar antara sasaran sipil dan militer harus diutamakan.
Semua tindakan pencegahan yang layak harus diambil untuk menyelamatkan warga sipil. Orang-orang yang tidak menjalankan fungsi tempur dalam kelompok bersenjata hanya dapat menjadi sasaran ketika ambil bagian langsung dalam pertempuran.
"Pada intinya, aturan-aturan tersebut memiliki tujuan untuk melindungi warga sipil secara efektif," tegas Turk. "Hukum hak asasi manusia (HAM) internasional ada untuk melindungi kesetaraan dan martabat setiap manusia, bahkan di masa perang. Hukum ada untuk mempertahankan nilai-nilai yang penting bagi masyarakat kita dan bagi dunia kita."
"Penargetan serentak terhadap ribuan orang, baik warga sipil maupun anggota kelompok bersenjata, tanpa mengetahui siapa yang memiliki perangkat yang menjadi sasaran, lokasi mereka, dan lingkungan mereka pada saat serangan, melanggar hukum HAM internasional dan, jika berlaku, hukum humaniter internasional."
Turk menekankan, "Sulit untuk membayangkan bagaimana ... serangan semacam itu dapat sesuai dengan prinsip-prinsip utama pembedaan, proporsionalitas, dan tindakan pencegahan dalam serangan menurut hukum humaniter internasional. Jika penyerang tidak dapat menilai kepatuhan serangan terhadap aturan hukum internasional yang mengikat, terutama kemungkinan dampaknya terhadap warga sipil, maka serangan tidak boleh dilakukan."
Hukum humaniter internasional, sebut Turk, melarang penggunaan alat perangkap dalam bentuk benda portabel yang tampaknya tidak berbahaya, namun secara khusus dirancang dan dibuat untuk menampung bahan peledak.
"Melakukan kekerasan yang dimaksudkan untuk menyebarkan teror di antara warga sipil merupakan kejahatan perang," tutur pria usia 59 tahun kelahiran Austria itu.
"Saya menyerukan, sekali lagi, atas penyelidikan yang independen, menyeluruh, dan transparan terhadap ledakan ini. Mereka yang memerintahkan dan melakukan serangan ini harus dimintai pertanggungjawaban. Saya tegaskan – metode peperangan ini mungkin baru dan tidak dikenal. Namun, hukum humaniter dan HAM internasional tetap berlaku dan harus ditegakkan."
Ledakan pager dan ledakan walkie talkie terjadi di tengah permusuhan antara Israel dan Hizbullah, yang sejak 8 Oktober 2023 telah menimbulkan korban sipil di kedua belah pihak. Sejak saat itu, ratusan orang tewas di sisi Lebanon, dengan ratusan ribu lainnya mengungsi.
Di sisi Israel, puluhan orang dilaporkan tewas, dengan lebih dari 63 ribu lainnya mengungsi. Dalam beberapa hari terakhir, aksi militer lintas batas antar Hizbullah dan Israel semakin intensif.
Aksi Terorisme
Mantan Direktur Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) Leon Panetta menyebut ledakan pager di Lebanon sebagai bentuk terorisme.
"Saya kira tidak perlu diragukan lagi bahwa itu adalah bentuk terorisme," kata Panetta di program 'CBS News Sunday Morning'.
Panetta menuturkan bahwa Timur Tengah sekarang memerlukan perhatian internasional.
"Saya pikir akan sangat penting bagi negara-negara di dunia untuk mengadakan diskusi serius mengenai apakah ini merupakan area yang harus menjadi fokus semua orang karena jika mereka tidak mencoba mengatasinya sekarang, catat kata-kata saya, ini akan menjadi medan perang masa depan," ujarnya.
Siapa Dalangnya?
Pemerintah Lebanon dan Hizbullah menyalahkan Israel atas ledakan pager dan ledakan walkie talkie. Sementara itu, militer Israel, yang memiliki sejarah panjang operasi canggih di belakang garis musuh, menolak berkomentar.
Sebelum pertemuan DK PBB, Duta Besar Israel untuk PBB Danny Danon ditanya wartawan tentang spekulasi Israel berada di balik ledakan pager dan walkie talkie.
Melansir kantor berita AP, Danon menjawab, "Kami tidak mengomentari serangan spesifik yang Anda sebutkan, tetapi saya dapat memberi tahu Anda bahwa kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk menargetkan para teroris dengan meminimalkan korban jiwa bagi warga sipil."
Menteri Luar Negeri Lebanon Abdallah Bouhabib menegaskan Israel tidak hanya melancarkan serangan, namun juga memberikan "deklarasi resmi". Cuitan dari penasihat Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang baru-baru ini dihapus, kata Bouhabib, menekankan tanggung jawab Israel dengan memuji hasil positif dari serangan ini.
Bouhabib diyakini merujuk pada cuitan penasihat Netanyahu, Topaz Luke, yang dilaporkan me-retweet sebuah unggahan yang mengindikasikan Israel berada di balik serangan pager di Lebanon dan Suriah.
Ledakan pager di Suriah tidak menyebabkan korban tewas. Mengutip BBC, menurut kelompok Observatorium Suriah untuk HAM, 14 orang terluka.
Danon kemudian mengkritik Bouhabib karena tidak pernah menyinggung Hizbullah dan mengatakan bahwa rakyat Lebanon terjebak dalam cengkeraman organisasi teroris.
"Meskipun Israel tidak menginginkan konflik yang lebih luas, saya tegaskan: Kami tidak akan membiarkan Hizbullah melanjutkan provokasinya," kata Danon.
"Israel akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk memulangkan 60.000 warganya yang meninggalkan rumah mereka di utara karena serangan dan kami tidak akan membiarkan teror Hizbullah menentukan masa depan bangsa kami."
Bouhabib sendiri memperingatkan DK PBB bahwa jika DK PBB tidak mengutuk ledakan pager dan walkie talkie serta menyebut Israel sebagai pelakunya maka kotak pandora akan terbuka dan penargetan, teror, dan pembunuhan warga sipil dengan perangkat komunikasi serupa dapat terjadi di kereta api, pesawat, dan tempat lainnya.
Iran ikut mengomentari ledakan pager menyusul duta besarnya untuk Lebanon menjadi salah satu korban luka.
"Israel memikul tanggung jawab penuh atas kejahatan mengerikan tersebut," kata Duta Besar Iran untuk PBB Amir Saeid Iravani, seraya menambahkan pemerintahnya akan meminta pertanggungjawaban atas serangan terhadap duta besarnya, yang matanya terluka.
Adapun sekutu utama Israel, Amerika Serikat (AS), mengaku tidak mengetahui dan tidak terlibat dalam ledakan pager. AS mendesak semua pihak untuk menahan diri guna menghindari eskalasi konflik.
"Sehubungan dengan Lebanon, AS tidak mengetahui dan tidak terlibat insiden ini. Kami masih mengumpulkan informasi, fakta," ujar Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken seperti dikutip dari The Hill.
AS meyakini bahwa gencatan senjata di Jalur Gaza dapat menurunkan tensi tinggi di Timur Tengah. Hizbullah memang telah menyatakan bahwa kelompok itu tidak akan berhenti menyerang Israel sampai mereka stop menyerang Jalur Gaza.
"Kami fokus mewujudkan gencatan senjata ... yang meningkatkan prospek untuk benar-benar meredakan situasi di Israel utara dan Lebanon selatan," kata Blinken.
Dua perusahaan yang berbasis di Taiwan dan Hungaria yang diduga memproduksi pager yang meledak membantah bertanggung jawab, sementara pemerintah Taiwan mengatakan bahwa berbagai bagian pager tersebut bukan dari Taiwan.
"Saya dapat mengatakan dengan pasti bahwa komponen-komponen tersebut tidak dibuat di Taiwan," kata Menteri Ekonomi Taiwan Kuo Jyh-huei seperti dikutip dari BBC.
Sebuah perusahaan Jepang yang diduga membuat walkie talkie mengatakan mereka telah berhenti memproduksi model tersebut 10 tahun lalu.
Bagaimana atau kapan pager dan walkie talkie dijadikan senjata dan diledakkan dari jarak jauh masih menjadi misteri dan perburuan untuk mendapatkan jawabannya telah melibatkan Taiwan, Bulgaria, Norwegia, dan Rumania.
Laporan BBC menyebutkan bahwa pager menerima pesan pada pukul 15.30 waktu setempat dari pemimpin Hizbullah, perangkat tersebut berbunyi menandakan pesan masuk, sebelum beberapa detik kemudian ribuan pager meledak. Sejumlah kecil bahan peledak diyakini telah disembunyikan di dalamnya.
Advertisement
Stop Serangan
Turk menggarisbawahi bahwa dua ledakan perangkat komunikasi di Lebanon tidak dapat dilihat secara terpisah, melainkan terkait erat dengan perang di Jalur Gaza, meningkatnya kekerasan di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur dan pendudukan Israel yang terus berlanjut atas wilayah Palestina.
Mengakhiri perang di Jalur Gaza dan mencegah konflik regional yang meluas, tegas Turk, adalah prioritas mutlak dan mendesak.
"Saya menyerukan gencatan senjata segera dan akses kemanusiaan berkelanjutan harus dipastikan di seluruh Jalur Gaza. Saya mendesak pembebasan segera dan tanpa syarat semua sandera yang ditawan di Jalur Gaza. Penahanan sewenang-wenang oleh Israel terhadap ribuan warga Palestina harus diakhiri. Situasi ilegalitas yang lebih luas di seluruh wilayah Palestina yang diduduki yang berasal dari kebijakan dan praktik Israel, sebagaimana dijabarkan dengan jelas oleh Mahkamah Internasional dalam Pendapat Penasihatnya pada bulan Juli, harus ditangani secara komprehensif," ungkap Turk.
Semua negara, khususnya yang memiliki pengaruh, minta Turk, harus melakukan segala yang mereka bisa untuk memastikan penghormatan penuh terhadap hukum internasional.
"Peringatan dari berbagai aktor terhadap perang habis-habisan di kawasan tersebut sudah jelas dan konsisten. Tidak akan menguntungkan siapa pun. Melanjutkan jalur retorika perang yang berkobar di semua pihak dan eskalasi militer yang gegabah hanya akan menyebabkan kehancuran lebih lanjut. Saya mendesak Israel dan Hizbullah untuk segera menghentikan permusuhan ... Krisis ini membutuhkan keberanian dan kepemimpinan politik," ujarnya.
Adakah yang Bisa Diupayakan Indonesia untuk Meredakan Situasi Panas di Timur Tengah?
"Yang pasti Indonesia harus mengupayakan sebuah resolusi Majelis Umum PBB yang intinya adalah meminta semua negara, semua pihak, untuk menghentikan serangan-serangan. Karena ini semua kan bermula dari tindakan Israel ketika, sebenarnya bukan ke Lebanon, tapi ke Hizbullah terkait dengan pager dan walkie talkie dan kemudian Hizbullah menyerang Israel dan serangan itu sudah sampai ke pemukiman. Nah, Israel sekarang membalas serangan Hizbullah ... yang jadi collateral damage adalah rakyat sipil," ungkap Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana pada Selasa (24/9).
"Jadi, kalau menurut saya, pemerintah Indonesia harus membuat draf resolusi yang intinya adalah harus menghentikan semua pihak. Dan itu tidak perlu kemudian kita berpihak ke salah satu pihak. Tapi kita minta supaya serangan-serangan dihentikan. Kita sudah melihat apa yang terjadi di Gaza, kita tidak mau melihat itu terjadi di Lebanon. Karena apa? Karena yang kita khawatirkan adalah negara-negara seperti AS dan sekutunya akan membenarkan tindakan yang dilakukan oleh Israel bahwa ini merupakan hak untuk dia (Israel) membela diri berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB."
Imbauan bagi WNI
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) dan KBRI Beirut terus memantau dari dekat situasi yang ada di Lebanon.
"Sejak bulan Agustus 2024, KBRI Beirut telah meningkatkan status menjadi Siaga 1 untuk seluruh Lebanon. Sebelumnya, Siaga 1 ditetapkan KBRI untuk wilayah Lebanon selatan sejak Oktober 2023," demikian disampaikan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kemlu RI Judha Nugraha melalui pesan tertulisnya, Selasa.
Jumlah WNI di Lebanon saat ini berjumlah 159 orang.
"Sejak penetapan Siaga 1, Kemlu dan KBRI Beirut telah memfasilitasi evakuasi WNI dari Lebanon sebanyak 25 orang. Sedangkan mayoritas lainnya memilih utk tetap tinggal di Lebanon karena alasan pribadi. Mereka mayoritas adalah mahasiswa dan WNI yang menikah dengan warga setempat," tutur Judha.
"Kemlu dan KBRI kembali menyampaikan imbauan agar WNI meningkatkan kewaspadaan, menjauhi lokasi-lokasi rawan, dan membatasi bepergian non-esensial. Bagi WNI yang memiliki rencana bepergian ke Lebanon, Iran, Israel, dan Palestina agar menunda perjalanan hingga situasi aman."
Advertisement