Walhi Gorontalo Serukan Wujudkan Reforma Agraria dari Perusahaan Ekstraktif

Provinsi Gorontalo pun tak luput dari ketimpangan tersebut. Konsesi perusahaan, baik tambang, perkebunan sawit, maupun Hutan Tanaman Energi (HTE)

oleh Arfandi Ibrahim diperbarui 28 Sep 2024, 23:00 WIB
Kondisi salah satu hutan di Kabupaten Pohuwato yang menjadi konsesi perusahaan ekstraktif (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)

Liputan6.com, Gorontalo - Momentum Hari Tani Nasional (HTN) 2024, perhatian terhadap ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia kembali mencuat. Kondisi ini mencerminkan adanya ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat, lebih memprioritaskan kepentingan investor dan industri.

Di tingkat nasional, penguasaan lahan oleh korporasi mencapai 114 juta hektare atau 60 persen dari total lahan di Indonesia, sementara lahan pertanian rakyat hanya sebesar 21,6 juta hektare atau 11,4 persen.

Provinsi Gorontalo pun tak luput dari ketimpangan tersebut. Konsesi perusahaan, baik tambang, perkebunan sawit, maupun Hutan Tanaman Energi (HTE) serta proyek-proyek strategis nasional, mencakup 424.768 hektare atau 35 persen dari total luas wilayah Gorontalo. Ketimpangan ini semakin nyata jika memperhitungkan pertanian monokultur jagung yang dikelola oleh korporasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.

"Jika lahan jagung ikut dihitung, maka total penguasaan lahan oleh perusahaan mencapai 759.713,52 hektare atau 63 persen dari luas wilayah Gorontalo," kata Defri Sofyan, Dinamisator Simpul Walhi Gorontalo.

Kawasan hutan di Gorontalo juga mengalami tekanan signifikan. Dari total 764.186,76 hektare kawasan hutan, 314.300,3 hektare atau 41 persen dikuasai oleh konsesi HTE.

"Sebaliknya, perhutanan sosial yang dikelola oleh masyarakat hanya mencakup 31.293,85 hektare atau sekitar 4 persen," ujarnya.

Situasi ini diperburuk oleh aktivitas pinjam pakai dan pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dan perkebunan, yang semakin mempersempit ruang kelola rakyat.


Dampak Sosial dan Ekologis

Proses pengambilan kayu alam hutan Popayato, Pohuwato yang menjadi di wilayah konsesi perusahaan ekstraktif untuk dijadikan wood pellet. Foto: Infis (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)

Ketimpangan penguasaan lahan ini berakibat langsung pada kesejahteraan masyarakat. Banyak petani di Gorontalo hanya memiliki lahan sangat sempit. Menurut Sensus Pertanian 2013, terdapat 117.248 rumah tangga petani penggarap dan 40.959 rumah tangga petani gurem, yang mendekati jumlah rumah tangga petani dengan lahan lebih dari setengah hektare.

Sementara itu, Nilai Tukar Petani Pangan (NTP-P) Gorontalo selama 114 bulan dari 175 bulan antara Januari 2008 hingga Juli 2022 berada di bawah angka 100, menandakan bahwa petani lebih banyak mengalami kerugian. "Nah, persentase penduduk miskin di Gorontalo pun konsisten tinggi, mencapai 15,77 persen selama sembilan tahun dari 2013 hingga 2021, baru menurun menjadi 14,57 persen pada Maret 2024," tambah Defri.

Ketimpangan ini menimbulkan risiko konflik, baik vertikal maupun horizontal, ketika rakyat kehilangan ruang hidup dan sumber penghidupan mereka. Selain itu kata Defri, dampak lingkungan juga tak kalah parah. Degradasi ekosistem pesisir, seperti mangrove, terus meningkat. Pada tahun 2013, Provinsi Gorontalo memiliki 12.832 hektare mangrove, namun pada 2016 luasnya berkurang menjadi 9.298 hektare.

Penyebab utama adalah pembukaan lahan tambak, yang ironisnya diakui sebagai penyumbang pendapatan daerah, meskipun tambak-tambak tersebut berada di kawasan hutan lindung dan Cagar Alam Panua. "Konflik antara pemilik tambak dan nelayan pun tak terhindarkan akibat perebutan ruang hidup," tegasnya.


Seruan Walhi Gorontalo

Proses pengambilan kayu alam hutan Popayato, Pohuwato yang menjadi di wilayah konsesi perusahaan ekstraktif untuk dijadikan wood pellet. Foto: Infis (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)

Menghadapi situasi ini, Walhi Gorontalo menyerukan kepada calon kepala daerah yang akan bertarung dalam Pilkada 2024 untuk tidak mengabaikan persoalan ketimpangan penguasaan lahan dan degradasi lingkungan.

Komitmen politik tidak seharusnya hanya untuk mendulang suara, tetapi juga untuk memperbaiki tata kelola ruang hidup yang adil dan berkelanjutan.

Berikut adalah lima tuntutan Walhi Gorontalo:

1. Hentikan penerbitan izin usaha baru untuk korporasi di kawasan hutan.

2. Redistribusikan lahan dari konsesi korporasi kepada rakyat sesuai dengan amanat UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

3. Hentikan izin perusahaan pemegang konsesi HTE yang mengancam wilayah kelola rakyat dan menjadi solusi palsu transisi energi.

4. Calon kepala daerah harus berkomitmen pada perbaikan tata kelola ruang hidup, bukan sekadar mencari suara.

5. Wujudkan reforma agraria sejati sekarang juga.

Dengan ketimpangan yang terus terjadi, Provinsi Gorontalo membutuhkan kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada rakyat agar konflik tenurial dan bencana ekologis dapat dihindari.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya