Liputan6.com, Jakarta - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berencana mengundang keluarga Presiden Soeharto dan Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Undangan itu berkaitan dengan dua Ketetapan atau TAP MPR yang menyangkut nama baik kedua mantan presiden tersebut.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan pihaknya merasa perlu mengundang keluarga Soeharto dan Gus Dur karena akan segera menyusun draf surat penjelasan administratif untuk mengkaji kembali dua TAP MPR tersebut. Di mana pada Pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme secara eksplisit menyebutkan nama Presiden Soeharto.
Advertisement
Diketahui bunyi Pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tersebut adalah: "Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglemerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia."
Bamsoet menyebut Fraksi Golkar meminta penjelasan khusus pada Pasal 4 agar dinyatakan sudah dilaksanakan, tanpa mencabut TAP tersebut maupun mengurangi maknanya. "Kami segera menyusun draf surat penjelasan administratif untuk disepakati secara bersama-sama jajaran Pimpinan MPR RI," kata Bamsoet dalam keterangannya, Selasa (24/9/2024).
Sementara TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid akan dinyatakan sudah tidak berlaku lagi atas permintaan Fraksi PKB.
Diketahui, melalui TAP MPR tersebut Gus Dur diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden karena di anggap telah melanggar Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Putusan itu diambil setelah Presiden Gus Dur tidak hadir dan menolak untuk memberikan pertangungjawaban dalam sidang istimewa MPR 2001. Saat itu Gus Dur diguncang sekandal Buloggate 1 dan II.
Bamsoet mengatakan surat penjelasan soal dua TAP MPR tersebut hanya bersifat administratif dan bukan sebagai produk hukum. "Saya bisa menyadari bahwa dua-duanya adalah kebutuhan untuk gelar pahlawan yang selama ini dua tokoh ini terganjal," kata Bamsoet.
MPR juga mendorong agar Presiden Suharto dan Presiden Gus Dur diberikan penghargaan yang layak atas jasa dan pengabdiannya.
"Selaras dengan pemikiran tersebut dalam semangat persatuan dan kesatuan, serta bersandar pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersumber dari ajaran agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa, yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa, pimpinan MPR juga mendorong agar jasa dan pengabdian dari para mantan Presiden seperti presiden Sukarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid dapat diberikan penghargaan yang layak sesuai peraturan perundang-undangan," pungkasnya.
Menurut Sejarahwan dari Universitas Indonesia Bondan Kanumayo, surat penjelasan administratif yang dikeluarkan MPR tersebut tidak akan menghapus perbuatan Soeharto dan Gus Dur di masa lalu.
"Pernyataan MPR itu kan politis, tidak ada fakta hukum. Saya kira tetap bermasalah, kalau ingin melepaskan mereka dari semua belenggu seperti KKN dan Buloggate itu harusnya ada klarifikasi secara hukum bukan keputusan politik oleh MPR," kata Bondan kepada Liputan6.com.
Bondan mengatakan pernyataan politis yang dikeluarkan MPR tersebut belum bisa membersihkan nama Presiden Soeharto dan Gus Dur.
"Belum bisa membersihkan nama-nama beliau karena itu baru sebatas pernyataan politik, kalau ingin membersihkan nama itu ya harus dilakukan secara komprehensif bukan setengah-setengah seperti ini. Kan justru jadi kontroversi," ujarnya.
Meski Kejaksaan Agung sudah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus yang menjerat Presiden Soeharto, kata dia, hal itu belum cukup untuk menghapus jejak kasus hukumnya.
"Kan harus ada pembuktian secara fakta-fakta bukan berdasarkan waktu," tandas Bondan.
Jangan Samakan Soeharto dan Gus Dur
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari meminta agar MPR tak menyamakan antara Presiden Soeharto dan Presiden Gus Dur. Menurutnya, Presiden Soeharto memiliki rekam jejak kasus yang panjang. Di mana selama 32 tahun berkuasa ia menimbulkan kontroversi yang luar biasa. Sementara Presiden Gus Dur dalam sejarah tidak pernah ada upaya dia untuk mengkhianati negara dan tidak berlaku otorioter.
"Menyandingkan dua tokoh ini seolah-olah mau menyembuhkan Soeharto dengan menggunakan obat Gus Dur. Gus Dur tidak banyak masalah. Kalau mau memperbaiki nama baik Gus Dur saya kira ok saja," ujar Feri kepada Liputan6.com di Jakarta.
Selain itu, dengan memulihkan nama baik Soeharto maka sama saja mengkhianati cita-cita reformasi. "Saat ini orang-orang yang dulu bagian kekuasaan hendak mengembalikan tanah air ini menjadi era rezim otoriter," ujarnya.
Feri pun mengingatkan bahwa kewenangan MPR saat ini tidak seperti dulu lagi. MPR kini bukan lagi pemegang mandat dari rakyat.
"MPR tidak bisa mengatasnamakan berbagai hal di masa lalu untuk mengembalikan hal-hal sensitif bagi publik. MPR terkesan berlebihan dan mencoba mencuri kesempatan diakhir-akhir masa jabatannya," kata Feri.
Feri pun mendorong agar mekanisme hukum dikedepankan sebelum upaya mengembalikan nama baik tokoh politik.
"Memang harus ada kesepakatan untuk membersihkjan nama mantan presiden tersebut, kan bisa dilakukan dengan pembentukan UU oleh DPR bagaimana tata cara agar nama baik tokoh-tokoh tertentu bisa dibersihkan. Tentu harus ada mekanisme dan proses hukum yang dikedepankan dibandingkan sekedar proses politik karena proses politik bisa diubah-ubah tapi kalau proses hukum akan ada kepastian hukum," tandasnya.
Pulihkan Nama Baik Soeharto dan Gus Dur Demi Gelar Pahlawan Nasional
Ketua Fraksi Golkar MPR RI Dr Ir HM Idris Laena MH sebelumnya mengusulkan agar TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang penyelenggara negara yang bersih, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme juga harus dicabut, karena TAP MPR tersebut secara explisit juga ditujukan kepada Soeharto.
"Bukankah kasus yang menimpa Presiden Kedua RI Jenderal Besar Soeharto pada bulan Mei 2006 sudah ditutup paska diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus dugaan korupsinya oleh Kejaksaan Agung," katanya.
Ditambahkan bahwa menurut pasal 140 ayat 1 KUHAP bahwa Jaksa Agung diperbolehkan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kalau ada alasan tertentu.
"Maka menindaklanjuti pandangan tersebut maka Fraksi Golkar MPR RI pada tanggal hari ini Selasa, 10 September 2024 telah melaksanakan rapat yang kesimpulannya akan dikonsultasikan kepada DPP Partai Golkar," kata Idris Laena.
Sementara Ketua Fraksi PKB MPR RI Jazilul Fawaid alias Gus Jazil mengatakan, surat penegasan dari pimpinan MPR terkait TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid tersebut diperlukan untuk memulihkan nama baik Gus Dur.
Sebab, TAP MPR tersebut secara otomatis tidak berlaku lagi dengan adanya TAP MPR RI Nomor I/MPR/2003 mengenai Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
”Kami meminta kepada Pimpinan MPR RI untuk memberikan surat penegasan administratif untuk menjelaskan kepada publik bahwa memang TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tersebut memang sudah tidak berlaku," kata Gus Jazil dalam Rapat Gabungan Pimpinan dan Fraksi MPR RI di Kota Tangerang, Banten, Senin (23/9/2024).
"Dengan adanya surat penegasan dari Pimpinan MPR tersebut, bisa memulihkan nama baik Gus Dur sebagai mantan Presiden yang sudah banyak memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara ini,” sambung dia.
Gus Jazil mengatakan, rapat gabungan MPR RI telah memberikan kesimpulan untuk segera menindaklanjuti dan menjawab permohonan yang diajukan Fraksi PKB MPR tersebut. Langkah ini menjadi bagian dari upaya lanjutan PKB untuk mengajukan gelar Pahlawan Nasional kepada Gus Dur.
"Surat yang nantinya akan dikeluarkan MPR ini menjadi salah satu penguat bagi KH Abdurrahman Wahid untuk diberikan gelar Pahlawan Nasional," tuturnya.
Langkah ini juga bagian dari semangat MPR RI untuk melakukan rekonsiliasi nasional.
Advertisement
Pencabutan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 Untuk Soekarno
Pada September 2024 lalu, MPR RI telah mencabut TAP MPR 33/1967 tentang Kekuasaan Negara dari Presiden Soekarno.
Keputusan politik untuk mencabut TAP MPR ini, otomatis tuduhan kepada Sang Proklamator Ir Soekarno atas keberpihakannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dinyatakan resmi dicabut.
"Saat ini juga waktu yang tepat untuk menghapus luka sejarah masa lalu yang mendeskreditkan Bung Karno demi kemajuan bangsa Indonesia," kata Ketua Fraksi Golkar MPR RI Dr Ir HM Idris Laena MH.
Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri yang juga putri dari Presiden Soekarno pun menghadiri penyerahan surat Pimpinan MPR kepada keluarga Bung Karno tentang tidak berlakunya lagi TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967.
Acara tersebut diselenggarakan pimpinan MPR RI di Ruang Delegasi Lantai 2 Gedung Nusantara V MPR RI, Jakarta, Senin (9/9/2024).
"Dapat dipastikan Bung Karno adalah pahlawan nasional yang bersih dari cacat hukum," kata Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dalam sambutannya, Senin (9/9/2024).
Turut hadir keluarga besar Proklamator RI Bung Karno, antara lain Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra. Ada juga cucu Bung Karno, antara lain Tatam Soekarnoputra dan M. Prananda Prabowo.
Dalam acara itu, hadir juga sejumlah pengurus DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan anggota Fraksi PDIP di DPR RI, seperti Sekjen Hasto Kristiyanto, Ketua DPP Ganjar Pranowo, Yasonna H. Laoly, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, Djarot Saiful Hidayat, dan Komarudin Watubun.
Megawati duduk di kursi barisan depan didampingi oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo.
Infografis TAP MPR Terkait Presiden Soeharto dan Presiden Abdurrahman Wahid
Advertisement