Liputan6.com, Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkap sejumlah trik baru yang kerap dipakai oknum pemerintah daerah (pemda) untuk menyamarkan angka inflasi.
Mulanya, ia mengatakan, oknum daerah bersangkutan coba memilih jalan singkat dengan melakukan sogok kepada Badan Pusat Statistik (BPS) daerah.
Advertisement
"Sekarang saya mendapat modus baru. Modus barunya, rekan-rekan kepala daerah langsung datangin Kantor BPS di kabupaten/kota masing-masing. Tolong dong bikin angkanya kami bagus, begitu," ujar Mendagri dalam acara Anugerah Hari Statistik Nasional 2024 di Grand Mercure Jakarta Kemayoran, Kamis (26/9/2024).
Jika cara itu gagal, lanjutnya, oknum pemda tersebut mencermati data bulanan BPS. Untuk mengetahui pasar mana saja yang dipakai BPS guna mengambil sampel data harga.
"Begitu dia tahu BPS mau masuk, cepat-cepat dia buat gerakan pasar murah di daerah itu, supaya harganya turun. Karena BPS kan mengambil data dalam jumlah masif, pasti menggunakan random sampling. Dia tahu random-nya di mana, sampelnya yang mana," paparnya.
Menindaki kasus ini, Tito memohon kepada BPS untuk ikut mengakalinya. Dengan cara menyiapkan opsi beberapa pasar untuk pengambilan sampel.
"Tolong untuk modus-modus seperti ini teman-teman BPS harus mulai akalin juga. Pak, saya biasa ambil data di situ. Tapi nanti tolong ambil data di tempat lain, gitu. Karena kami ingin dapat data yang betul-betul akurat. Supaya jangan sampai nanti salah," pintanya.
Diketahui Jokowi
Modus baru ini pun telah diketahui oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tito menyebut RI 1 kerap mendatangi langsung sejumlah pasar, lantaran sering tidak percaya dengan angka inflasi pada suatu daerah.
"Pak Jokowi kadang-kadang enggak percaya. Beliau ngecek sendiri, setalah itu telepon. Betul pak Tito, harga berasnya segini," kata Tito.
Namun, Jokowi kerap menciduk harga barang di suatu pasar dijual jauh lebih tinggi dari data yang ada. Tito lantas beralasan bahwa temuan itu mungkin belum menyeluruh.
"Saya punya trik yang lain juga. Angka itu mungkin di daerah itu, tapi daerah lain enggak. Cuman dalam hati saya, jangan-jangan yang daerah dicek itu yang kepala daerahnya sudah membuat gerakan pasar sebelum Presiden datang," ungkapnya diikuti gelak tawa seisi ruangan.
Advertisement
Inflasi Indonesia Pernah Nyaris 6%, Begini Kondisinya
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengungkapkan langkah strategis dalam menangani inflasi Indonesia yang sempat di angka 5,9 persen saat pandemi Covid-19.
Tito menceritakan pada September 2022 dirinya dipanggil oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menangani inflasi yang mendekati angka 6 persen itu.
Menurut dia, penanganan inflasi umumnya menggunakan instrumen perbankan, terutama melalui penyesuaian suku bunga dan stabilisasi nilai tukar mata uang.
"Di bulan September tahun 2022, saya dipanggil oleh Bapak Presiden Jokowi. Saat itu, inflasi kita 5,9 persen. Kemudian Pak Jokowi diskusi, menyampaikan Pak Tito, ilmunya menangani inflasi. Kalau pelajaran kampus, termasuk di Harvard pun, dimanapun, itu hanya menggunakan satu instrumen, yaitu instrumen dari perbankan," kata Tito dalam acara Anugrah Hari Statistik Nasional 2024, BPS, Jakarta, Rabu (26/9/2024).
Tito menjelaskan jika inflasi meningkat, suku bunga perlu dinaikkan untuk menurunkan permintaan. Sebaliknya, ketika inflasi rendah, penurunan suku bunga dapat mendorong permintaan. Keseimbangan antara permintaan dan penawaran menjadi kunci dalam stabilitas harga.
"Supply dan demand, itu kunci tangan dari penanganan inflasi. Kalau cukup supply, sesuai dengan kebutuhan demand, makanya harga akan stabil. Kalau demand yang tinggi, supply-nya kurang, harga pasti akan naik," papar Tito.
Inflasi di Berbagai Negara
Dalam konteks global, Tito mengamati inflasi di berbagai negara, seperti Zimbabwe dan Turki, telah mencapai angka yang sangat tinggi, bahkan hingga ratusan persen. Hal ini membuat pemerintah Indonesia harus sangat berhati-hati agar inflasi tetap terjaga, terutama karena sebagian besar masyarakat Indonesia lebih fokus pada kebutuhan dasar.
"Inflasi saat itu banyak negara yang sudah sangat tinggi. Zimbabwae itu sudah ratusan persen. Kemudian, inflasi di Turki Inflasinya 60-70 persen. Libanon yang sekarang sedang konflik itu sudah kembali kepada manual. Banknya nggak hidup, sekarang orang gak percaya mata uang lokal, terjadi dolarisasi," jelasnya.
Penanganan Inflasi
Tito juga mencatat pentingnya data dalam penanganan inflasi. Dalam upayanya, ia meminta Badan Pusat Statistik (BPS) untuk aktif memantau inflasi di tingkat daerah.
Dengan menciptakan Indeks Perkembangan Harga (IPH) secara mingguan, BPS dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk mengidentifikasi daerah-daerah dengan inflasi tinggi atau rendah. Data ini menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan intervensi yang tepat.
"Nah belajar dari situ kemudian bagaimana kalau kita menangani inflasi yang sudah merangkak 6 persen berbasis daerah. Saya sampaikan Pak (Jokowi) kalau sudah begini kita harus punya data tiap-tiap daerah. Kalau untuk yang kemarin yang Covid itu kita mengandalkan dari Pemerintah Kesehatan, datanya," terang dia.
"Nah kalau ini saran saya Pak (Jokowi) dari BPS karena dia punya cabang sampai kabupaten, kota semuanya Pak. Nah akhirnya itulah intinya rapatlah kita beliau sepakat dan kemudian rapat kita meminta BPS untuk menggerakkan semua jejaringnya," sambungnya.
Advertisement
Pendekatan Berbasis Daerah
Melalui pendekatan berbasis daerah, Tito berharap penanganan inflasi dapat dilakukan dengan lebih efektif, mengingat tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai negara kepulauan dan demokrasi.
"BPS ibaratnya dokter untuk memberikan terapi yang benar yang pas harus didasarkan perdiagnosa yang benar. Nah BPS adalah dokter yang memberikan didiagnosa. Ini lho Pak (Jokowu) daerahnya yang tinggi yang 7 persen, ini lho yang paling rendah terjadi deflasi minus 2 persen dan seterusnya, sehingga kita bisa melakukan terapi di mana kita melakukan inflasi," pungkasnya.
Reporter: Siti Ayu Rachma
Sumber: Merdeka.com