Amnesty International Kritik Dihapusnya Nama Soeharto di TAP MPR 11/1998: Langkah Mundur Reformasi

Amnesty International mengkritik Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mencabut nama Presiden Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

oleh Winda Nelfira diperbarui 26 Sep 2024, 17:05 WIB
Soeharto, lahir 8 Juni 1921, sosok presiden yang mendapat julukan bapak pembangunan itu tak lepas dari kontroversi. Dimasa kejayaannya Soeharto begitu disegani di ASEAN (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Amnesty International mengkritik Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mencabut nama Presiden Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Penghapusan nama Soeharto itu dinilai sebagai langkah mundur perjalanan reformasi. Pasalnya, jalan pengusutan kejahatan korupsi, kerusakan lingkungan maupun pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun berkuasa belum selesai diungkap.

"MPR menciptakan preseden buruk yang membuka jalan pemutihan dosa-dosa penguasa masa lalu. Ini akan berdampak pada kian menyempitnya ruang gerak masyarakat sipil," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam keterangan tertulis, diterima Kamis (26/9/2024).

Usman menilai kebijakan itu juga akan mempersempit ruang sipil bagi masyarakat sipil yang bergerak di sektor anti korupsi dan korban pelanggaran HAM masa lalu. Apalagi, kata dia, keputusan MPR beriringan dengan gagasan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.

"Ini jelas melecehkan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM selama rezim Soeharto yang terus menuntut keadilan. Jika itu diambil, ini jelas berpotensi mengkhianati reformasi 1998, yang berusaha menjamin tegaknya kebebasan politik dan keadilan sosial," jelas Usman.

Sebelumnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut nama Presiden kedua RI Soeharto, dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).

Hal itu disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) pada sidang akhir masa jabatan MPR periode 2019-2024. Menurutnya, usulan penghapusan diajukan oleh fraksi Partai Golkar pada 18 September 2024.

"Surat dari fraksi Partai Golkar, tanggal 18 September 2024, perihal kedudukan Pasal 4 TAP MPR Nomor 11/MPR 1998," kata Bamsoet dalam sidang akhir masa jabatan MPR, Rabu (25/9/2024).

Bamsoet menyatakan, pimpinan MPR sepakat menjawab usulan Golkar pada Rapat Pimpinan MPR rapat bersama pimpinan fraksi dan DPD pada 23 September.

"Namun terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998 tersebut secara diri pribadi, bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan, karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," ujar Bamsoet.

Diketahui, TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 ditetapkan pada 13 November 1998. Pada pasal 4 TAP MPR tersebut menyebutkan, upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas tanpa pandang bulu, termasuk ada Soeharto dan kroninya.

 


MPR Akan Undang Keluarga Soeharto dan Gus Dur untuk Bahas Pemulihan Nama Baik

Banner Infografis MPR Akan Undang Keluarga Soeharto dan Gus Dur Bahas Pemulihan Nama Baik. (Foto: Wikimedia Commons)

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, pihaknya segera menyusun draf surat penjelasan administratif yang diajukan Fraksi Partai Golkar agar MPR RI mengkaji kembali Pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Bamsoet menyebut Fraksi Golkar meminta penjelasan khusus yang secara eksplisit menyebutkan nama Presiden Soeharto agar dinyatakan sudah dilaksanakan, tanpa mencabut TAP tersebut maupun mengurangi maknanya.

"Kami segera menyusun draf surat penjelasan administratif untuk disepakati secara bersama-sama jajaran pimpinan MPR RI," kata Bamsoet dalam keterangannya, Selasa (24/9/2024).

Bamsoet mengatakan, sebelum mengakhiri masa jabatan, pimpinan MPR RI akan mengundang keluarga Gus Dur dan Soeharto untuk menerima surat jawaban yang diajukan Fraksi PKB dan Fraksi Partai Golkar MPR RI.

"Setelah kita mengundang keluarga Bung Karno dengan luar biasa kemarin, seluruh rakyat terharu dalam suasana yang sangat hikmat, maka tanggal 28 dan 29 kita akan mengundang juga keluarga Pak Harto dan keluarga Gus Dur untuk menerima surat jawaban dari MPR. Betapa indahnya dunia ini," kata Bamsoet.

Dikatakan Bamsoet, surat yang diajukan Fraksi PKB dan Fraksi Partai Golkar sifatnya administratif dan bukan sebagai produk hukum. "Saya bisa menyadari bahwa dua-duanya adalah kebutuhan untuk gelar pahlawan yang selama ini dua tokoh ini terganjal," kata Bamsoet

Menurut Bamsoet, MPR memiliki semangat rekonsiliasi untuk membangun kebersamaan antaranak bangsa. Sehingga tidak lagi mewariskan dendam politik masa lalu kepada generasi yang akan datang.

Infografis TAP MPR Terkait Presiden Soeharto dan Presiden Abdurrahman Wahid. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya