Liputan6.com, Jakarta - Ustadz Adi Hidayat (UAH) mengungkapkan kisah inspiratif tentang cara makan Imam Nawawi yang sangat sederhana dan penuh makna.
Dalam penjelasannya, ia menekankan betapa pentingnya menjaga hubungan dengan Allah melalui setiap aspek kehidupan, termasuk dalam hal makan.
Mengutip dari tayangan video yang tayang di kanal YouTube @Shandy_febry04, UAH membagikan cerita mengenai Imam Nawawi dan pola makan yang dijalaninya selama hidup.
Kisah ini menjadi pengingat bagi umat untuk lebih menghargai setiap makanan yang diberikan oleh Allah.
Ustadz Adi Hidayat menjelaskan bahwa Imam Nawawi selama hidupnya mengonsumsi makanan yang diantarkan langsung oleh ayahnya. Sungguh luar biasa, 99% dari asupan makannya adalah hasil dari perhatian dan kasih sayang sang ayah.
"Makanan yang dimakan Imam Nawawi 99 persen dibawakan dan diketahui proses dan dipastikan halal oleh ayahnya," sebut UAH.
"Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran orang tua dalam mendidik dan menjaga anak-anaknya," katanya.
Baca Juga
Advertisement
Simak Video Pilihan Ini:
Begini Kisah Imam Nawawi Selengkapnya
Makanan yang dimakan oleh Imam Nawawi sangat sederhana. Ia hanya makan sekali di malam hari setelah sholat Isya, dengan menu berupa kue kering dan zaitun. Minumannya pun sangat spesifik, yaitu sebelum subuh, menunjukkan bahwa pola makannya sangat teratur dan sesuai dengan ajaran agama.
Ustadz Adi juga menyebutkan bahwa Imam Nawawi meninggal sebelum ayahnya. Sang ayah baru meninggal tujuh tahun setelah Imam Nawawi, yang menunjukkan betapa besar hubungan antara keduanya.
Ayahnya berusaha untuk menjaga agar anaknya tetap terhubung dengan Allah SWT melalui makanan yang sehat dan halal.
Seperti disebut di atas, 99 persen makanan Imam Nawawi diketahui ayahnya. Sedangkan untuk yang satu persen, Imam Nawawi sangat selektif terhadap makanan yang dikonsumsinya.
"Satu persennya, Imam Nawawi makan Ketika ada undangan atau jamuan, itupun harus dipastikan kehalalannya, dan biasanya mengajak orang lain untuk makan," jelasnya.
Ia hanya mau menerima makanan yang halal, terutama ketika diundang dalam suatu jamuan. Hal ini menunjukkan keteladanan dalam menjaga prinsip dan nilai-nilai agama meskipun dalam situasi sosial.
Ustadz Adi menambahkan bahwa Imam Nawawi selalu mengajak orang lain untuk makan bersama. Ia tidak suka makan sendiri dan lebih memilih untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain.
Sikap ini mencerminkan karakter mulia Imam Nawawi sebagai sosok yang peduli dan peka terhadap orang di sekitarnya.
Apa efek dari akan makanan halal sejak lahir hingga wafatnya mam Nawawi? Ia selalu dekat dengan llah SWT, seperti harapann ayahnya.
Hingga saat ini, berkah dari kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Nawawi masih dapat dirasakan. Karya-karyanya terus dipelajari dan dikaji oleh banyak orang, menjadi sumber ilmu yang tak lekang oleh waktu. Ini semua berkat upaya dan niatnya yang tulus dalam menjaga hubungan dengan Allah.
Ustadz Adi mengajak umat untuk meneladani sikap dan cara makan Imam Nawawi. Ia mendorong agar setiap orang menjaga asupan makanan dengan baik, tidak hanya dari segi kesehatan tetapi juga dari segi kehalalan. Makanan yang baik adalah cerminan dari iman dan ketakwaan seseorang.
Dengan mengisahkan kehidupan Imam Nawawi, Ustadz Adi berharap agar semua orang dapat terinspirasi untuk menjalani hidup yang lebih bermakna dan penuh berkah. Kesederhanaan dalam makanan dan perhatian terhadap halal haram menjadi kunci untuk mencapai kebahagiaan dan kedekatan dengan Allah.
Advertisement
Biografi Singkat Imam Nawawi
Sementara dikutip dari Muslim.or.id, Imam Nawawi adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah.
Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut.
Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilmi-nya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah-halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut.
Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama.
Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli teman-temannya yang lain.
Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul