Jokowi-Ma'ruf Amin Dianggap Mampu Menjaga Kestabilan Ekonomi Nasional

Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi bersama wakilnya, Ma'ruf Amin akan berakhir dalam hitungan bulan. Di mana kepemimpinannya akan digantikan oleh Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 26 Sep 2024, 21:20 WIB
Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin bersama sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju, termasuk Prabowo Subianto di kawasan IKN, Kalimantan Timur, Senin (12/8/2024). Momen ini terjadi sesaat menjelang rapat kabinet perdana di IKN. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi bersama wakilnya, Ma'ruf Amin akan berakhir dalam hitungan bulan. Di mana kepemimpinannya akan digantikan oleh Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Disebut, dalam 10 tahun memimpin Indonesia, Jokowi-Ma'ruf Amin mampu menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi nasional.

"Adanya pertumbuhan ekonomi (Indonesia) di level 5 itu suatu resiliensi ekonomi yang sangat luar biasa dari Presiden Jokowi hingga saat ini," kata pengamat ekonomi Athor Subroto, Kamis (26/9/2024).

Dia menuturkan, salah satu faktor utama yang mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah fondasi kebijakan yang memiliki efek berganda yang kuat.

Athor menyebut program hilirisasi sebagai salah satu langkah penting untuk menjaga agar proses ekonomi tetap terjadi di dalam negeri.

“Kita menjadi negara yang berkembang cukup baik karena adanya fondasi yang multiplier effect-nya ditarik, seperti halnya program hilirisasi untuk menjaga proses ekonomi terjadi di dalam, sehingga multiplier-nya semakin besar,” kata dia.

Namun demikian, Athor juga menekankan pentingnya percepatan realisasi berbagai rencana yang telah disusun oleh pemerintah. Menurutnya, realisasi yang cepat akan semakin memperkuat dampak positif dari kebijakan yang sudah ada.

“Hendaknya sesegera mungkin dengan langsung merealisasikan berbagai hal yang telah direncanakan,” jelasnya.

 


Inflasi Indonesia Pernah Nyaris 6%, Begini Kondisinya

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengungkapkan langkah strategis dalam menangani inflasi Indonesia yang sempat di angka 5,9 persen saat pandemi Covid-19.

Tito menceritakan pada September 2022 dirinya dipanggil oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menangani inflasi yang mendekati angka 6 persen itu.

Menurutnya, penanganan inflasi umumnya menggunakan instrumen perbankan, terutama melalui penyesuaian suku bunga dan stabilisasi nilai tukar mata uang.

Di bulan September tahun 2022, saya dipanggil oleh Bapak Presiden Jokowi. Saat itu, inflasi kita 5,9 persen. Kemudian Pak Jokowi diskusi, menyampaikan Pak Tito, ilmunya menangani inflasi. Kalau pelajaran kampus, termasuk di Harvard pun, dimanapun, itu hanya menggunakan satu instrumen, yaitu instrumen dari perbankan," kata Tito dalam acara Anugrah Hari Statistik Nasional 2024, BPS, Jakarta, Rabu (26/9/2024).Tito menjelaskan jika inflasi meningkat, suku bunga perlu dinaikkan untuk menurunkan permintaan. Sebaliknya, ketika inflasi rendah, penurunan suku bunga dapat mendorong permintaan. Keseimbangan antara permintaan dan penawaran menjadi kunci dalam stabilitas harga.

"Supply dan demand, itu kunci tangan dari penanganan inflasi. Kalau cukup supply, sesuai dengan kebutuhan demand, makanya harga akan stabil. Kalau demand yang tinggi, supply-nya kurang, harga pasti akan naik," papar Tito.


Inflasi di Berbagai Negara

Dalam konteks global, Tito mengamati inflasi di berbagai negara, seperti Zimbabwe dan Turki, telah mencapai angka yang sangat tinggi, bahkan hingga ratusan persen. Hal ini membuat pemerintah Indonesia harus sangat berhati-hati agar inflasi tetap terjaga, terutama karena sebagian besar masyarakat Indonesia lebih fokus pada kebutuhan dasar.

"Inflasi saat itu banyak negara yang sudah sangat tinggi. Zimbabwae itu sudah ratusan persen. Kemudian, inflasi di Turki Inflasinya 60-70 persen. Libanon yang sekarang sedang konflik itu sudah kembali kepada manual. Banknya nggak hidup, sekarang orang gak percaya mata uang lokal, terjadi dolarisasi," jelasnya.

Tito juga mencatat pentingnya data dalam penanganan inflasi. Dalam upayanya, ia meminta Badan Pusat Statistik (BPS) untuk aktif memantau inflasi di tingkat daerah.

Dengan menciptakan Indeks Perkembangan Harga (IPH) secara mingguan, BPS dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk mengidentifikasi daerah-daerah dengan inflasi tinggi atau rendah. Data ini menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan intervensi yang tepat.

"Nah belajar dari situ kemudian bagaimana kalau kita menangani inflasi yang sudah merangkak 6 persen berbasis daerah. Saya sampaikan Pak (Jokowi) kalau sudah begini kita harus punya data tiap-tiap daerah. Kalau untuk yang kemarin yang Covid itu kita mengandalkan dari Pemerintah Kesehatan, datanya," terang dia.

"Nah kalau ini saran saya Pak (Jokowi) dari BPS karena dia punya cabang sampai kabupaten, kota semuanya Pak. Nah akhirnya itulah intinya rapatlah kita beliau sepakat dan kemudian rapat kita meminta BPS untuk menggerakkan semua jejaringnya," sambungnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya