Bangun Pembangkit EBT Mahal, Pengusaha Baru Bisa Cuan setelah 10 Tahun

Belanja modal alias capital expenditure (capex) dalam pembangunan pembangkit berbasis EBT sangat mahal. Menteri Bahlil menyebutkan, untuk 1 MW pembangkit EBT, dana yang dikucurkan mencapai USD 6 juta.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 27 Sep 2024, 11:20 WIB
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di Green Initiative Conference, di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (25/9/2024). (Foto: Liputan6.com/Arief RH)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, pemerintah bersama PT PLN (Persero) tengah menyusun Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Tahun 2025-2035. Dengan menargetkan sedikitnya 60 persen merupakan pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) dari total pembangkit.

"Saya mulai diperintahkan oleh Presiden Jokowi sama Presiden Pak Prabowo untuk mendetailkan, kita konversi RUPTL 2025-2035. RUPTL itu minimum saya katakan 60 persen itu harus energi baru terbarukan," kata Bahlil Lahadalia dalam keterangan resmi Kementerian ESDM, Jumat (27/9/2024).

Untuk meningkatkan porsi pembangkit berbasis EBT dalam RUPTL, pemerintah tengah mengkaji secara komprehensif skema yang akan digunakan. Dengan tidak merugikan PT PLN (Persero), pengusaha Independent Power Producer (IPP), maupun tidak memberatkan negara jika akan memberikan subsidi.

Pasalnya, belanja modal alias capital expenditure (capex) dalam pembangunan pembangkit berbasis EBT sangat mahal. Bahlil menyebutkan, untuk 1 MW pembangkit EBT, dana yang dikucurkan mencapai USD 6 juta.

Nilai tersebut mencapai 6 kali lebih besar apabila dibandingkan dengan pembangkit berbasis batubara yang jauh lebih murah dengan nilai di bawah USD 1 juta untuk 1 MW.

Untuk mengambil jalan tengah permasalahan tersebut, pemerintah tengah meriset opsi yang sudah didiskusikan bersama antara pemerintah, PLN, dan pelaku usaha. Dengan memberikan kontrak IPP bekerja sama dengan PLN selama 30 tahun, dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) yang akan diturunkan bertahap setiap 10 tahun.

 

 


Win-Win Solution

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di Green Initiative Conference, di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (25/9/2024). (Foto: Liputan6.com/Arief RH)

"Kita tarik break even point-nya (IPP) itu 8 sampai 10 tahun. Setelah harganya tinggi, langsung turun perlahan-lahan. Jadi 10 tahun pertama, supaya ada perbankan yang membiayai pengusahanya hingga break even point, habis itu terus diturunkan, dan kontraknya 30 tahun," papar Bahlil.

"Jadi 10 tahun dia berusaha untuk mengembalikan modalnya 20 tahun dia menikmati hasilnya. Dan Alhamdulillah metode ini dapat diterima baik oleh pemerintah, PLN dan pengusaha. Dan konsep ini saya pikir win-win solution," ungkapnya.

Bahlil pun memberikan contoh skema penurunan harga BPP secara bertahap dalam setiap 10 tahun pada pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Sehingga ke depannya tidak akan memberatkan beban subsidi negara dan PLN sebagai penyedia jaringan listrik nasional.

"Kalau tidak salah PLN itu menerima itu dalam peraturan kemarin saya sudah tanda tangani untuk 10 tahun pertama sekitar 9,5 sen untuk geotermal. Nanti bertahap 10 tahun, habis itu turun menjadi 7 sampai 7,3 sen. Habis itu diturunkan lagi. Supaya apa? PLN bisa dapat untung dan negara tidak diberikan beban," pungkasnya.


Menteri ESDM Bahlil Masih Kaji Potensi Ekspor Listrik EBT ke Singapura

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, rencana ekspor listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) ke Singapura baru sebatas Nota Kesepahaman (MoU). (Foto: Liputan6.com/Arief RH)

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, rencana ekspor listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) ke Singapura baru sebatas Nota Kesepahaman (MoU). Menurut dia, masih ada kajian yang berjalan terkait rencana itu.

Dia menegaskan belum ada kesepakatan mengikat antara Indonesia dan Singapura untuk melakukan ekspor listrik EBT. 

"Belum ada. Yang cuma ada MoU, MoU tidak mengikat, (nota) kesepahaman ya," tegas Bahlil, ditemui di satu acara di Jakarta, Rabu (25/9/2024).

Dengan masih berjalannya kajian yang dilakukan Kementerian ESDM, dan MoU antar kedua negara, Bahlil membantah rencana ekspor listrik EBT ke Singapura batal dilakukan. Namun, masih berpotensi positif.

"Oh enggak ada gagal, semua berpotensi baik-baik saja ya," katanya.

Dia mengungkapkan, pihaknya perlu mengkaji rencana ekspor listrik EBT ke Singapura tersebut. Utamanya menyoal kebutuhan dan kepentingan Indonesia atas EBT.

"Kita prinsipnya tidak ada masalah, tapi kita harus hati-hati ya. Kita harus kaji baik-baik, kita harus melihat kepentingan dan kebutuhan nasional kita," sebutnya.


Masih Menghitung

Nantinya, akan dihitung nilai ekonomi hingga ditentukan negara mana yang bisa dipasok listrik EBT dari Indonesia.

"Setelah itu kita lihat nilai ekonominya dalam kepentingan negara kita. Setelah itu baru kita merumuskan, ya kan nanti ada Pemerintah Indonesia yang akan membicarakan negara mana saja yang akan dituju begitu," ujar Bahlil Lahadalia.

Pada gelaran International Indonesia Sustainability Summit 2024, Indonesia dan Singapura menandatangani Nota Kesepahaman soal ekspor listrik EBT. Nilai kontrak kerja sama ekspor listrik EBT ini diperkirakan mencapai USD 20 miliar atau setara Rp 308 triliun.

Infografis Hemat Listrik, Kantong Aman Bumi Senang. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya