Liputan6.com, Jakarta Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2025 patut diberikan apresiasi karena dipandang dapat memberikan napas bagi industri hasil tembakau.
Advertisement
Kebijakan ini disambut baik oleh industri, yang saat ini tengah mengalami berbagai tantangan berat, mulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes).
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, mengumumkan bahwa tidak akan ada penyesuaian tarif untuk CHT tahun 2025.
“Mengenai kebijakan CHT 2025 bahwa sampai dengan penutupan pembahasan RUU APBN 2025 yang minggu lalu sudah ditetapkan DPR, posisi pemerintah untuk kebijakan penyesuaian CHT 2025 belum akan dilaksanakan,” katanya dikutip Jumat (27/9/2024).
Askolani juga menyampaikan bahwa kebijakan tarif CHT 2025 akan berfokus pada penanganan fenomena downtrading yang marak terjadi, yaitu peralihan konsumsi rokok ke jenis yang lebih murah.
Jika fenomena ini terus terjadi, maka penerimaan cukai rokok pun akan sulit mengalami pertumbuhan. Meski tidak ada penyesuaian CHT, pemerintah berencana mengeluarkan alternatif lainnya dengan menyesuaikan Harga Jual Eceran (HJE) di tingkat industri.
Kebijakan Cukai
Meskipun kebijakan cukai memberikan napas segar, namun masih banyak tantangan serius yang dihadapi industri tembakau, salah satunya terkait dengan rencana implementasi kemasan rokok polos tanpa merek.
Askolani turut menyoroti potensi risiko yang muncul dari kebijakan ini terhadap efektivitas pengawasan. "Sebab kita jadi tidak bisa membedakan antara jenis rokok, yang kemudian itu menentukan golongan, dan juga bisa menjadi basis kita untuk pengawasan," jelasnya.
Kemenkeu juga telah menyampaikan masukan terkait kemasan rokok polos tanpa merek kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk memastikan bahwa kebijakan kesehatan yang diusulkan tetap mempertimbangkan aspek pengawasan dan pengendalian rokok ilegal.
Kemasan Polos Rokok
Di kesempatan terpisah, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengemukakan pandangan serupa. Ia mengungkapkan bahwa pasal–pasal dalam PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes terkait kemasan polos tanpa merek membawa risiko signifikan terhadap perekonomian. Penelitian INDEF mengidentifikasi tiga skenario dampak ekonomi yang harus dipertimbangkan.
Skenario pertama menyebutkan bahwa aturan kemasan polos tanpa merek dapat mendorong fenomena downtrading hingga switching dari rokok legal ke rokok ilegal, yang dapat mengurangi permintaan produk legal hingga 42,09%.
"Penurunan ini bisa menyebabkan potensi dampak ekonomi yang hilang sebesar Rp182,2 triliun, dan penerimaan perpajakan yang turun hingga Rp95,6 triliun," ujar Tauhid.
Skenario kedua melibatkan larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, yang diperkirakan dapat mengurangi penjualan ritel rokok hingga 33,08%. Potensi dampak ekonomi yang hilang mencapai Rp84 triliun, dengan penerimaan perpajakan yang terdampak sebesar Rp43,5 triliun.
Advertisement
Pembatasan Iklan Rokok
Sementara itu, skenario ketiga mengenai pembatasan iklan rokok di luar ruang serta di media TV dan daring dapat mengurangi permintaan jasa periklanan hingga 15%, dengan dampak ekonomi yang hilang sebesar Rp41,8 triliun dan penerimaan perpajakan yang turun Rp21,5 triliun.
Melihat berbagai skenario ini, Tauhid menekankan pentingnya melibatkan semua pemangku kepentingan dalam ekosistem industri hasil tembakau. "Kebijakan ini harus melibatkan setiap pemangku kepentingan, baik itu kementerian, lembaga, maupun pelaku usaha, mengingat kompleksitas ekosistem industri hasil tembakau di Indonesia,” ujarnya.
Tauhid mengungkapkan INDEF merekomendasikan pemerintah untuk melakukan revisi PP 28/2024 dan membatalkan Rancangan Permenkes, khususnya pada pasal-pasal yang dinilai akan memberikan dampak terhadap penerimaan dan perekonomian negara.