Liputan6.com, Jakarta - Aturan kemasan rokok polos tanpa merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik menuai kritik.
Kebijakan yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 ini dinilai tidak melibatkan berbagai kementerian dan pihak terkait dalam proses penyusunannya.
Advertisement
"DPR tentu tidak mau meninggalkan aspek kesehatan, tentu itu fundamental sekali, tetapi juga tidak mau meninggalkan aspek bisnis dan usaha di mana kementerian yang mengatur bukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) saja. Ada Kementerian Perdagangan (Kemendag), ada Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Kemudian, ada Kementerian Pendidikan karena ada sangkut pautnya dengan sekolah," kata anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay dikutip Jumat (27/9/2024).
Politisi PAN itu mempertanyakan apakah seluruh pemangku kepentingan dilibatkan dalam menyusun RPMK tersebut. Jika tidak dilibatkan, mereka pasti merasa ditinggalkan dan akan melakukan protes.
Sementara, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi menegaskan, permasalahan utama berada pada penyusunan Peraturan Pemerintah. Pihaknya selaku pemangku kepentingan di bidang produksi industri tidak dilibatkan.
"Bahkan finalisasi Peraturan Pemerintah sebelum ditandatangan oleh Presiden Republik Indonesia itu tidak diparaf oleh beberapa kementerian. Justru di sinilah yang kami sesalkan," katanya.
Terkait masalah kesehatan, pihaknya juga sepakat tidak mau Indonesia menjadi tidak sehat. Namun demikian, menurutnya, permasalahan ini tidak bisa hanya mempertimbangkan sudut pandang kesehatan atau industri saja.
Dia menyatakan, kedua belah pihak harus duduk bersama-sama untuk menemukan jalan tengah yang dapat memfasilitasi kebutuhan seluruh pihak terkait.
Kemasan Polos
Seperti diketahui, aturan kemasan rokok polos tanpa merek menjadi salah satu pasal yang menuai kontroversi di RPMK. Pasal 5 dalam draf menyebutkan, kemasan produk tembakau harus berwarna Pantone 448 C, serta memiliki penulisan merek, varian, dan identitas produsen menggunakan Bahasa Indonesia.
Negosiator Perdagangan Ahli Madya Kementerian Perdagangan, Angga Handian Putra menyatakan, Kemenkes belum memberikan undangan resmi kepada Kemendag untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan kemasan rokok polos. Pihaknya mengetahui rancangan aturan tersebut melalui situs Kemenkes, bukan dari komunikasi langsung.
"Kami berharap bahwa Kementerian Kesehatan menyertai bukti-bukti ilmiah dan memperhatikan ketentuan-ketentuan WTO yang ada," kata Angga.
Kemendag, khususnya Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (Dirjen PPI), fokus pada isu kemasan rokok polos tanpa merek dalam konteks sengketa dagang antara Indonesia dan Australia di WTO beberapa tahun lalu. Sebab itu, Angga menitikberatkan pada pentingnya memiliki dasar ilmiah yang kuat untuk menghindari sengketa di masa depan.
"Saat bersengketa dengan Australia, mereka menyajikan kajian ilmiah yang mendukung bahwa kebijakan ini dapat menurunkan prevalensi merokok. Indonesia perlu memiliki kajian ilmiah serupa," tegasnya dikutip Selasa (24/9/2024).
Kebijakan kemasan polos ini juga dinilai dapat menciptakan kekhawatiran akan inkonsistensi dalam pandangan Indonesia. Sebelumnya, Indonesia menentang kebijakan tersebut dengan argumen bahwa kemasan rokok polos tanpa mereka bisa menghambat perdagangan dan melanggar hak pemegang merek dagang.
"Jika merujuk pada sengketa dagang yang lalu, kami ingin agar merek dagang tetap bisa digunakan. Sebab, merek dagang memiliki beberapa fungsi penting, seperti membedakan produk, membantu konsumen memilih produk, mencegah perdagangan ilegal, dan pemalsuan produk. Ini adalah hal-hal yang kami perjuangkan saat bersengketa di WTO," tambah dia.
Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Askolani juga terang-terangan menyampaikan kekhawatirannya. Ia menyoroti potensi kesulitan pengawasan di lapangan jika kebijakan kemasan polos ini diterapkan, terutama dalam membedakan berbagai jenis rokok yang beredar. Hal ini berpotensi untuk meningkatkan peredaran rokok ilegal.
"Kalau rokok jadi polos, pandangan kami, ada risiko dari pengawasan karena tak bisa membedakan jenis rokok," kata Askolani saat konferensi pers APBN KiTa Edisi September 2024 di Jakarta, Senin lalu.
Sumber: Dani Mardanih/Merdeka.com
Advertisement