Iwao Hakamada, Terpidana Mati Terlama di Dunia Akhirnya Dinyatakan Bebas

Sebelumnya, Hakamada terpaksa mengakui melakukan pembunuhan terhadap empat orang.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 28 Sep 2024, 07:09 WIB
Iwao Hakamada, mantan petinju berusia 88 tahun yang dijatuhi hukuman mati selama hampir enam dekade setelah divonis bersalah atas tuduhan pembunuhan yang menurut pengacaranya didasarkan pada pengakuan paksa dan bukti yang direkayasa. Foto diambil pada Kamis (26/9/2024). (Dok. Kyodo News via AP)

Liputan6.com, Tokyo - Seorang pria berusia 88 tahun yang merupakan terpidana mati terlama di dunia akhirnya dibebaskan oleh Pengadilan Distrik Shizuoka, Jepang.

Iwao Hakamada, yang dijatuhi hukuman mati selama hampir setengah abad, dinyatakan bersalah pada tahun 1968 karena membunuh bosnya, istri pria tersebut, dan dua anak remaja mereka.

Dia diberikan kesempatan untuk diadili ulang setelah muncul kecurigaan bahwa bukti yang digunakan untuk melawannya adalah palsu.

Namun, puluhan tahun yang dihabiskannya pasca vonis hukuman mati telah berdampak buruk pada kesehatan mental Hakamada, yang berarti dia tidak layak menghadiri sidang, sekali pun pada hari di mana pembebasannya akhirnya diputuskan.

Kasus Hakamada adalah salah satu kisah hukum terpanjang dan paling terkenal di Jepang, serta telah menarik minat publik yang luas, dengan sekitar 500 orang mengantre untuk mendapatkan tempat duduk di ruang sidang di Shizuoka pada hari Kamis (26/9/2024). 

Saat putusan dijatuhkan, para pendukung Hakamada di luar pengadilan bersorak "banzai" - seruan dalam bahasa Jepang yang berarti "hore".

Hakamada tinggal di bawah asuhan kakak perempuannya yang berusia 91 tahun, Hideko, sejak tahun 2014, saat dia dibebaskan dari penjara dan diberikan kesempatan untuk diadili ulang.

Hideko yang berjuang selama puluhan tahun untuk membersihkan nama Hakamada mengatakan sangat menyenangkan mendengar kata-kata "tidak bersalah" di pengadilan.

"Saat saya mendengarnya, saya sangat terharu dan bahagia, saya tidak bisa berhenti menangis," tutur dia seperti dilansir BBC, Sabtu (28/9).

Hakamada sebelumnya mengatakan perjuangannya untuk keadilan seperti "bertarung setiap hari".

"Sekali Anda berpikir tidak bisa menang maka tidak ada jalan menuju kemenangan," kata Hakamada kepada kantor berita AFP pada 2018.


Pakaian Bernoda Darah di Tangki Miso

Iwao Hakamada, mantan petinju berusia 88 tahun yang dijatuhi hukuman mati selama hampir enam dekade setelah divonis bersalah atas tuduhan pembunuhan yang menurut pengacaranya didasarkan pada pengakuan paksa dan bukti yang direkayasa. Foto diambil pada Kamis (26/9/2024). (Dok. Kyodo News via AP)

Sebagai mantan petinju profesional, Hakamada bekerja di pabrik pengolahan miso pada tahun 1966 ketika jasad majikannya, istri pria itu, dan dua anaknya ditemukan dari kebakaran di rumah mereka di Shizuoka, sebelah barat Tokyo. Keempatnya ditikam hingga tewas.

Pihak berwenang menuduh Hakamada membunuh keluarga tersebut, membakar rumah mereka, dan mencuri uang tunai senilai 200.000 yen.

Hakamada awalnya menyangkal telah merampok dan membunuh mereka, namun kemudian memberikan apa yang dia gambarkan sebagai pengakuan paksa setelah dipukuli dan diinterogasi hingga 12 jam sehari.

Pada tahun 1968, dia dinyatakan bersalah karena pembunuhan dan pembakaran, serta dijatuhi hukuman mati.

Kisah hukum yang berlangsung selama puluhan tahun akhirnya beralih ke beberapa pakaian yang ditemukan di tangki miso setahun setelah penangkapan Hakamada. Pakaian-pakaian itu, yang konon berlumuran darah, digunakan untuk memberatkannya.

Namun, selama bertahun-tahun, pengacara Hakamada berpendapat bahwa DNA yang ditemukan dari pakaian itu tidak cocok dengan DNA milik klienya, sehingga muncul kemungkinan bahwa barang-barang itu milik orang lain. Para pengacara lebih lanjut menyarankan bahwa polisi bisa saja memalsukan bukti.

Argumen mereka cukup untuk meyakinkan Hakim Hiroaki Murayama, yang pada tahun 2014 menyatakan bahwa "pakaian itu bukan milik terdakwa".

"Tidak adil untuk menahan terdakwa lebih lanjut, karena kemungkinan ketidakbersalahannya telah menjadi jelas hingga tingkat yang wajar," kata Murayama saat itu.

Hakamada kemudian dibebaskan dari penjara dan diberikan kesempatan untuk diadili ulang.

Proses hukum yang berlarut-larut membuat butuh waktu hingga tahun lalu untuk memulai persidangan ulang itu - dan hingga Kamis pagi bagi pengadilan untuk mengumumkan putusan.

Rincian yang menjadi dasar persidangan ulang dan pembebasannya yang terakhir adalah sifat noda merah pada pakaian yang menurut jaksa adalah miliknya. Pengacara mempertanyakan bagaimana noda itu bisa bertahan lama. Fakta bahwa noda itu tetap merah dan tidak menghitam setelah direndam dalam pasta kedelai dalam waktu lama berarti bukti itu dipalsukan.

Menurut laporan AFP, putusan hari Kamis menyebutkan bahwa "para penyidik ​​merusak pakaian dengan meneteskan darah ke pakaian tersebut" yang kemudian mereka sembunyikan di tangki miso.

Hakamada dinyatakan tidak bersalah.

Puluhan tahun penahanan, sebagian besar di sel isolasi dengan ancaman eksekusi yang selalu ada, menurut pengacara dan keluarganya telah berdampak buruk pada kesehatan mental Hakamada.

Kakaknya telah lama memperjuangkan pembebasannya. Tahun lalu, ketika persidangan ulang dimulai, Hideko menyatakan lega dan menuturkan, "Akhirnya beban di pundak saya terangkat."

Persidangan ulang untuk narapidana hukuman mati jarang terjadi di Jepang. Pengadilan Hakamada merupakan yang kelima dalam sejarah pasca perang Jepang.

 


Desakan Menghapus Hukuman Mati

Ilustrasi hukum. (Dok. Freepik)

Kasus ini telah menarik perhatian dan kritik terhadap sistem hukum Jepang. Ketua Asosiasi Pengacara Jepang Reiko Fuchigami pada hari Kamis mendesak pemerintah dan parlemen untuk segera mengambil langkah-langkah untuk menghapus hukuman mati dan menurunkan rintangan untuk pengadilan ulang.

"Kasus Hakamada dengan jelas menunjukkan kekejaman hukuman mati yang salah dan tragedi itu tidak boleh terulang," ujarnya seperti dilansir AP, sambil berharap Hakamada benar-benar mendapatkan kembali kebebasannya dan hidup dalam ketenangan sebagai warga negara.

Pada sidang terakhir di Pengadilan Distrik Shizuoka pada bulan Mei sebelum keputusan dibuat pada hari Kamis, jaksa kembali menuntut hukuman mati, yang memicu kritik dari kelompok-kelompok hak asasi manusia bahwa jaksa berusaha memperpanjang persidangan.

Jepang dan Amerika Serikat adalah dua negara di Kelompok Tujuh (G7) yang mempertahankan hukuman mati. Survei oleh pemerintah Jepang menunjukkan mayoritas masyarakat mendukung eksekusi mati.

Eksekusi mati sendiri dilakukan secara rahasia di Jepang dan para tahanan tidak diberitahu tentang nasib mereka sampai pagi mereka digantung. Pada tahun 2007, Jepang mulai mengungkap nama-nama mereka yang dieksekusi dan beberapa rincian kejahatan mereka, namun pengungkapan itu masih terbatas.

Terkait kasus Hakamada, pengacaranya Hideyo Ogawa meminta jaksa penuntut untuk tidak mengajukan banding, namun dia diberitahu bahwa mereka belum memutuskan apa yang harus dilakukan.

Ogawa juga mengatakan tim kuasa hukum sedang mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan terhadap pemerintah, sebagian untuk mempelajari lebih lanjut tentang penyelidikan yang bermasalah. Jika jaksa penuntut tidak mengajukan banding dan pembebasannya difinalisasi, Hakamada berhak menuntut kompensasi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya