55 Persen Anak Perempuan Indonesia Pernah Disunat, KemenPPPA: Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) mengungkap 55 persen anak perempuan di Indonesia pernah jalani sunat perempuan.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 28 Sep 2024, 14:31 WIB
55 Persen Anak Perempuan Indonesia Pernah Disunat alias P2GP, KemenPPPA: Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin Al Ansori.

Liputan6.com, Jakarta - Sebanyak 55 persen anak perempuan dari kelompok usia 15-49 tahun di Indonesia pernah menjalani sunat perempuan atau Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan (P2GP). 

Angka ini diungkap dalam Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilaksanakan pada 2021. Berdasarkan data UNICEF tahun 2015, Indonesia masuk dalam tiga besar negara yang penduduknya masih menjalani praktik sunat perempuan.

Terkait hal ini, Plt. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Titi Eko Rahayu menyatakan sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan.

“Berdasarkan data UNICEF, 200 juta anak perempuan di 30 negara melakukan P2GP atau sunat perempuan. Indonesia masuk dalam kategori tiga besar negara yang mempraktikkannya,” kata Titi dalam pertemuan nasional pencegahan P2GP di Jakarta, Kamis, 26 September 2024.

“Sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan. Sunat perempuan termasuk tindak kekerasan karena berdampak negatif pada kesehatan perempuan dan dapat mengakibatkan korban meninggal dunia,” tambahnya.

Praktik yang membahayakan ini masih dilaksanakan secara turun temurun di masyarakat. Titi Eko memaparkan, banyaknya praktik sunat perempuan di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh faktor pemahaman atau tafsir agama dan budaya di mana perempuan itu tinggal.


3 Alasan Terbanyak Dilakukannya Sunat Perempuan

Adapun tiga alasan terbanyak yang diungkapkan oleh perempuan dalam melaksanakan sunat perempuan pada SPHPN tahun 2021 di antaranya:

  1. Mengikuti perintah agama (68,1) persen.
  2. Melakukan sunat karena sebagian besar masyarakat di lingkungannya juga melakukannya (40,3) persen.
  3. Anggapan adanya manfaat kesehatan, seperti dianggap lebih menyuburkan (40,3) persen.

“Pemotongan dan pelukaan yang membahayakan genitalia perempuan di Indonesia pada umumnya dilakukan sejak kecil. Perempuan tidak menyadari dampaknya hingga saat mereka tumbuh dewasa. Berbeda dengan khitan laki-laki yang memiliki standar prosedur khitan, praktik sunat perempuan sama sekali tidak memiliki standar prosedur pelaksanaan,” tegas Titi Eko.


Upaya KemenPPPA Cegah Sunat Perempuan

Melihat hal ini, KemenPPPA telah memiliki Rencana Aksi Nasional Pencegahan Praktik Sunat Perempuan atau P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan) 2020-2030 yang ditetapkan pada tahun 2019. Ini disusun bersama dengan para stakeholder dari lintas kementerian/lembaga dan organisasi masyarakat.

Menjelang setengah perjalanan pelaksanaan Roadmap P2GP, KemenPPPA melaksanakan pertemuan nasional bersama para pemangku kepentingan dari lintas sektor untuk mendorong komitmen dan penguatan implementasi.

“Untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan, hari ini kita berupaya memperkuat dan membangun strategi lebih lanjut agar pelaksanaan implementasi Roadmap Pencegahan P2GP yang sudah berjalan selama empat tahun ini bisa memberikan dampak lebih besar.”

“Kita evaluasi bersama dan saling mendiskusikan strategi yang akan dilaksanakan sampai 2030. KemenPPPA bersama United Nations Population Fund (UNFPA) akan terus melakukan strategi pencegahan P2GP, mengkampanyekan dan mengedukasi ‘STOP Praktik Sunat Perempuan’ kepada stakeholder dan masyarakat,” jelas Titi.


Susun Action Plan Penghapusan Sunat Perempuan yang Lebih Komprehensif

Titi berharap, semua pihak bisa ikut berkolaborasi, bekerja sama, bersinergi dalam upaya mencegah tindakan sunat perempuan yang membahayakan tanpa alasan medis.

“Semua orang bisa kita edukasi dan libatkan mulai dari keluarga, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, LSM, pemerintah, serta media,” ujar Titi Eko.

Sementara itu, Asisten Representative United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia, Verania Andria mendukung upaya KemenPPPA dalam menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan termasuk praktik sunat perempuan.

“UNFPA sangat mengapresiasi upaya KemenPPPA dalam menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Kami bersama KemenPPPA, kementerian/lembaga dan organisasi lainnya akan terus berupaya menyusun data yang menjadi dasar pengambilan kebijakan dalam mengentaskan masalah FGM/C atau P2GP in,” jelas Verania.

“Melalui pelaksanaan survei SPHPN di tahun 2024 kita nanti bisa menyusun action plan yang lebih komprehensif untuk menghapuskan sunat perempuan. Meskipun permasalahan ini terlihat kecil, tapi sebenarnya hal ini bisa menjadi kunci untuk mencapai masa depan yang bebas dari diskriminasi khususnya bagi perempuan,” imbuhnya.

Infografis 1 dari 4 Perempuan Mengalami Kekerasan Fisik atau Seksual. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya