UAH Bongkar Psikologis Orang yang Memaafkan dan Keutamaan di Sisi Allah

Dalam ceramah ustadz Adi Hidayat disebutkan memaafkan bukan hanya soal menyelesaikan masalah antar manusia, tetapi juga soal hubungan dengan Allah yang masih harus diselesaikan oleh pelaku kesalahan.

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Sep 2024, 10:30 WIB
Ustadz Adi Hidayat (UAH). (SS TikTok)

Liputan6.com, Jakarta - Memaafkan adalah salah satu perilaku yang sangat dianjurkan dalam Islam. Ustadz Adi Hidayat (UAH) menekankan pentingnya memaafkan dalam salah satu ceramahnya, dengan menyoroti bahwa memaafkan tidak hanya membawa pahala besar, tetapi juga memberikan dampak positif bagi psikologis seseorang.

Dalam ceramahnya, UAH mengajak umat untuk memahami bahwa dengan memaafkan, seseorang dapat merasakan kelapangan hati yang luar biasa.

"Dampak memaafkan itu luar biasa lapang," kata UAH saat menjelaskan tentang betapa pentingnya memberi maaf kepada orang lain yang berbuat salah.

Menurutnya, memaafkan bukan hanya soal menyelesaikan masalah antar manusia, tetapi juga soal hubungan dengan Allah yang masih harus diselesaikan oleh pelaku kesalahan.

Dalam ceramah yang dikutip dari kanal YouTube @barayasunda99, UAH menjelaskan bahwa ketika seseorang memaafkan kesalahan orang lain, urusan antara mereka berdua selesai di dunia.

Namun, UAH menegaskan bahwa orang yang melakukan kesalahan masih memiliki tanggung jawab moral di hadapan Allah, terutama jika belum meminta maaf kepada orang yang ia zalimi.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Jika Kita Maafkan, Tinggal Urusan sama Allah SWT

Ilustrasi memaafkan, memberikan dukungan dan semangat. (Image by jcomp on Freepik)

"Kalau orang salah kita maafin, urusan kita dengan dia selesai, tapi urusan dia dengan Allah belum selesai," ucap UAH.

Penjelasan ini memberikan pemahaman bahwa pemaafan yang diberikan di dunia tidak sepenuhnya membebaskan pelaku dari tanggung jawabnya di akhirat.

Memaafkan juga membawa banyak keuntungan dari segi spiritual dan psikologis. Menurut UAH, seseorang yang mampu memaafkan akan merasakan ketenangan dan kelapangan hati, sehingga hidup menjadi lebih ringan tanpa beban dendam atau amarah.

"Memaafkan orang itu pahalanya banyak banget, dan dampaknya ke psikologi itu luar biasa lapang," lanjutnya.

Namun, meski telah memaafkan, UAH mengingatkan bahwa jika orang yang bersalah belum meminta maaf, maka dosa-dosa yang dilakukannya masih akan dituntut di akhirat.

"Urusan dia dengan kita selesai, tapi urusan dia dengan Allah pada dosa-dosa yang dia lakukan terhadap kita belum selesai, sepanjang dia belum minta maaf," jelas UAH.

Contoh sederhana yang diberikan UAH adalah tentang fitnah. Ketika seseorang memfitnah, pemaafan yang diberikan oleh korban bisa menyelesaikan hubungan di antara mereka, namun orang yang memfitnah masih harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah.


Fokus Pada Keberkahan dari Memaafkan

Ilustrasi orang tua dan anak, minta maaf, berpelukan. (Image by freepik)

"Kalau ada orang fitnah Anda, Anda maafin aja, tapi urusan dia dengan Allah masih berjalan," ucap UAH, memberikan perspektif tentang keadilan ilahi.

Dengan memaafkan, seseorang bisa melepaskan dirinya dari rasa sakit hati atau beban yang timbul akibat perlakuan buruk orang lain.

UAH mengajak umat untuk lebih fokus pada keberkahan dari memaafkan daripada terjebak dalam rasa dendam yang justru merugikan diri sendiri.

"Kalau kita maafkan, kita yang mendapat pahala dan hati kita jadi lapang," tambahnya.

Selain itu, UAH juga menjelaskan bahwa sikap memaafkan adalah salah satu sifat yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Dalam banyak peristiwa, Rasulullah senantiasa memaafkan orang-orang yang berbuat jahat kepadanya, meskipun beliau memiliki kesempatan untuk membalas dendam. UAH mengajak umat untuk meneladani akhlak mulia ini.

Dalam ceramahnya, UAH juga menekankan pentingnya ketulusan dalam memaafkan. Memaafkan bukan berarti menunjukkan kelemahan, melainkan kekuatan.

Orang yang mampu memaafkan menunjukkan bahwa ia memiliki hati yang besar dan siap untuk melepaskan kebencian. "Memaafkan itu menunjukkan kekuatan hati. Bukan lemah, tapi kuat," kata UAH.

Namun, UAH juga mengingatkan bahwa memaafkan bukan berarti mengabaikan keadilan. Jika seseorang berbuat zalim, memaafkan adalah hal yang baik, tetapi pelaku kezaliman tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia atau akhirat.

"Memaafkan tidak menghilangkan kewajiban seseorang untuk meminta maaf atau bertanggung jawab atas kesalahannya," tegas UAH.

Bagi orang yang menerima maaf, UAH menyarankan untuk tidak menunda-nunda meminta maaf kepada orang yang telah dizalimi.

"Sebaiknya, jangan menunggu hingga akhirat untuk menyelesaikan urusan ini. Mintalah maaf selama masih di dunia," pesan UAH.

UAH mengakhiri ceramahnya dengan menekankan bahwa memaafkan adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membersihkan hati dari penyakit hati.

"Memaafkan bukan hanya soal hubungan antar manusia, tapi juga soal hubungan kita dengan Allah. Dengan memaafkan, kita membersihkan hati dan mendapatkan ridha-Nya," tutup UAH, mengajak umat untuk senantiasa menjadi pemaaf.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya