Ini Dampaknya jika Tarif Cukai Rokok Naik Tinggi

Kenaikan tarif cukai yang terlalu tinggi justru berisiko mendorong peredaran rokok ilegal. Hasil kajian PPKE FEB UB menunjukkan adanya hubungan elastisitas harga terhadap permintaan rokok.

oleh Septian Deny diperbarui 29 Sep 2024, 21:30 WIB
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Hasil kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) menyatakan, kenaikan tarif cukai yang terlalu tinggi justru berisiko mendorong peredaran rokok ilegal. Hasil kajian PPKE juga menunjukkan adanya hubungan elastisitas harga terhadap permintaan rokok.

Hal itu dikemukakan oleh direktur PPKE FEB UB, Prof. Dr. Candra Fajri Ananda pada focus group discussion (FGD) "Menavigasi Kenaikan Tarif Cukai dan Peredaran Rokok Ilegal Demi Menjaga Keseimbangan Kebijakan IHT di Indonesia", di Hotel Atria, Malang, Jumat (27/09/2024).

Candra Fajri mengemukakan, rokok golongan 1 memiliki elastisitas harga yang negatif yang ternyata lebih sensitif terhadap perubahan harga dibandingkan konsumen rokok golongan 2 dan 3.

"Hasil analisis tersebut selaras dengan perkembangan industri hasil tembakau (IHT), dimana penurunan produksi terjadi paling besar pada golongan 1 sehingga berdampak juga pada penurunan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT)," imbuhnya.

Candra Fajri mengatakan, ketika tarif cukai naik dan harga rokok Golongan 1 (rokok mahal) menjadi semakin tinggi, konsumen yang sensitif terhadap harga mungkin mulai berpindah ke rokok golongan 2 dan 3 atau golongan yang lebih murah, yang cukainya lebih rendah.

"Sehingga sebetulnya, jumlah total rokok yang dikonsumsi tidak berkurang, hanya pergeseran dari produk mahal ke yang lebih murah terjadi pada konsumen," katanya.

Candra Fajri juga menyampaikan, terdapat korelasi negatif yang kuat antara volume produksi rokok golongan 2 dan 3 terhadap peredaran rokok ilegal. Hal itu menunjukkan bahwa ketika volume produksi rokok golongan 2 dan 3 meningkat, peredaran rokok ilegal cenderung menurun. Artinya, peningkatan ketersediaan rokok golongan 2 dan 3 yang lebih terjangkau dapat menekan pasar rokok illegal.

"Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai tidak efektif menurunkan jumlah konsumsi rokok karena ketika tarif cukai dinaikkan, maka mendorong konsumen untuk beralih ke produk ilegal yang lebih terjangkau," ujarnya.

 


Kenaikan Tarif Cukai

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Hasil kajian juga menunjukkan, kebijakan kenaikan tarif cukai dalam beberapa tahun terakhir telah mencapai titik optimum, di mana kenaikan tarif lebih lanjut tidak efektif dalam menurunkan konsumsi rokok.

"Konsumen cenderung beralih ke rokok ilegal atau produk dengan harga lebih murah. Hal ini tidak hanya mengurangi volume produksi rokok legal tetapi juga berpotensi menurunkan penerimaan negara dari CHT," kata Prof. Dr. Candra Fajri.

Menurutnya, peredaran rokok ilegal di Indonesia telah meningkat seiring dengan kenaikan harga rokok akibat tarif cukai yang terus naik. Meskipun pemerintah telah meningkatkan operasi penindakan terhadap rokok ilegal, data menunjukkan bahwa ketika harga rokok meningkat, jumlah rokok ilegal yang beredar di pasaran turut mengalami peningkatan.

Pada tahun 2023, hasil penelitian PPKE FEB UB mengungkapkan, lebih dari 40% konsumen rokok pernah membeli rokok polos tanpa pita cukai. Selain itu, simulasi yang dilakukan oleh PPKE menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai dari 0% hingga 50% dapat meningkatkan peredaran rokok ilegal dari 6,8% menjadi 11,6%.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa potensi CHT yang hilang akibat peredaran rokok illegal seiring dengan kenaikan tarif cukai, dari 4,03 triliun rupiah ketika tidak ada kenaikan tarif cukai (0%), hingga mencapai 5,76 triliun rupiah ketika cukai dinaikkan sebesar 50%.

Perlu dicatat bahwa angka tersebut diasumsikan bahwa pemerintah juga masih menjalankan upaya pengawasan dan penindakan rokok illegal sebagaimana yang dilakukan saat ini.

"Ini menjadi indikasi bahwa kebijakan cukai yang terlalu ketat dapat memperparah peredaran rokok ilegal dan menimbulkan kerugian bagi negara," ujarnya.

 


Rekomendasi

Bea Cukai membongkar sindikat penjualan jutaan batang rokok dan ratusan liter minuman mengandung etil alkohol (MMEA) ilegal di Malang dan Bogor dalam gelar patroli yang dilakukan pada 5 hingga 6 Maret 2024. (Istimewa)

Dalam konteks inilah, PPKE FEB UB merekomendasikan 3 penting bagi pemerintah. Pertama, moratorium kenaikan tarif cukai untuk menjaga keberlangsungan IHT dan mencegah lonjakan peredaran rokok ilegal, sambil tetap menjaga stabilitas penerimaan negara dan sektor tenaga kerja yang bergantung pada industri ini.

Kedua, apabila tarif cukai ditujukan untuk mencapai keseimbangan pilar kebijakan IHT, maka tarif cukai sebesar 4 – 5% (dari tarif yang berlaku saat ini) adalah tarif cukai yang direkomendasikan untuk dapat diterapkan dalam mencapai keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT).

"Pada tarif ini, penerimaan negara dari CHT cukup signifikan dan risiko peningkatan rokok ilegal lebih rendah," ujar Prof. Dr. Candra Fajri.

Ketiga, mendorong pemerintah terus meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal dan menyesuaikan harga rokok sesuai daya beli masyarakat.

"Langkah-langkah ini perlu dilakukan agar kebijakan tarif cukai dapat memberikan solusi yang seimbang bagi konsumen, produsen, dan penerimaan negara," katanya.

Menyikapi hasil kajian PPKE FEB UB, sekjen Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Petrus Riwu mengatakan, kenaikan tarif cukai rokok di atas 10% setiap tahun dapat menyebabkan masyarakat beralih ke rokok dengan harga lebih murah atau bahkan rokok ilegal, terutama pada golongan 2 dan 3.

"GAPPRI merekomendasikan moratorium kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) selama 2025-2027 serta tidak menaikkan PPN untuk menjaga keberlangsungan proses pemulihan industri dan daya beli masyarakat. Serta, lebih menggencarkan operasi penindakan rokok ilegal untuk menekan peredarannya," ujarnya.

 


Peredaran Rokok Ilegal

Cukai rokok memang senikmat kepulan asap tembakau. Bisa dibilang, inilah ATM bagi pemerintah yang tak pernah kering.

Kepala kantor Wilayah DJBC Jawa Timur I, Untung Basuki mengatakan, saat ini peredaran rokok ilegal telah menyebar hingga ke wilayah Makassar, Lampung, dan Kalimantan. Diakui Untung Basuki, sejatinya penindakan terhadap rokok ilegal telah meningkat, namun masih diperlukan strategi berbeda sesuai dengan wilayah produksi dan distribusi.

"Tantangan pemerintah saat ini semakin sulit dalam melakukan pengawasan rokok illegal. Pasalnya, distribusi yang ada kini tidak lagi menggunakan metode konvensional melainkan melalui jalur logistik yang lebih rumit, seperti e-commerce," terang Untung Basuki.

Untung Basuki menegaskan, salah satu strategi Bea Cukai dalam menekan peredaran rokok illegal adalah berfokus ke aspek rokok ilegal yang salah peruntukan dan salah personalisasi sehingga bisa dimitigasi.

"Pentingnya memanfaatkan teknologi, seperti penggunaan QR code pada pita cukai, untuk memitigasi peredaran rokok ilegal," tukasnya.

Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya