Apa Artinya Keramat jika Tak Punya Ini Kata Gus Baha

Gus Baha beberkan bahwa keramat tak ada artinya jikalau tidak memiliki nikmat keseharian.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Okt 2024, 20:30 WIB
Gus Baha (TikTok)

Liputan6.com, Cilacap - Kiai zuhud yang merupakan ulama ahli Al-Qur’an asal Rembang, Jawa Tengah yakni KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) memaparkan perihal orang yang memiliki keramat atau karomah tapi tidak memiliki nikmat keseharian.

Gus Baha acapkali mengatakan hal ini sebagai jawaban kepada temannya atau boleh juga diterapkan untuk orang umum yang sangat gandrung akan dunia keramat.

Menurut Gus Baha acapkali seseorang sangat suka kepada karomah hingga melupakan anugerah lain yakni berupa nikmat keseharian.

“Saya itu sering cerita ke teman-teman yang senang keramat,” katanya dikutip dari tayangan YouTube Short @dakwatunatv3710, Senin (30/09/2024).

 

Simak Video Pilihan Ini:


Ruginya Miliki Keramat tapi Tak Punya Nikmat Keseharian

Gus Baha (YT Bolo Pusat)

Gus Baha mencontohkan salah satu karomah atau keramat yakni bisa terbang tanpa menuju ke Mekkah. Dan dalam waktu bersamaan nikmat keseharian seperti memiliki rumah di tempat yang layak tidak Allah berikan.

Tentu saja hal ini percuma sebab menurut Gus Baha yang paling penting ialah nikmat keseharian, seperti memiliki rumah yang layak, bisa makan dan minum dan lain sebagainya.

“Misalnya Anda bisa terbang ke Mekah, tapi tidak bisa ngopi bagaimana?” kelakarnya.

“Misalnya kamu bisa terbang ke Mekah rumahmu di bawah jembatan bagaimana? Gagah saya yang tidak bisa terbang, rumahku banyak meskipun jelek,” sambungnya.

Gus Baha memaparkan bahwa meksipun dirinya tidak memilki karomah, namun sangat bersyukur atas anugerah nikmat keseharian yang diberikan Allah SWT.

“Saya punya mobil banyak, 3 apa berapa itu, tapi panther bukan Alphard, tapi banyak,” terangnya.

“Meskipun tak bisa terbang, hidup saya enak, saatnya makan, ya makan, saatnya pergi ya pergi, saatnya ngaji ya ngaji,” sambungnya.

“Artinya nikmat yang disebut di Nabi kita (Nabi Muhammad SAW) ialah nikmat keseharian, lalu enak sebab agama sesuai dengan keseharian kita,” pungkasnya.


Hakikat Keramat Perspektif Ibn Athaillah

Ilustrasi masjid, Islam. (Photo Copyright by Freepik)

Menukil NU Online, keramat atau karomah dalam pengertian lazimnya masyarakat lebih dekat denga pengertian pertama dalam KBBI. Keramat atau karamah itu bisa dalam bentuk pemangkasan jarak di mana seseorang dapat berpindah dari satu ke lain tempat yang sangat berjauhan dalam tempo singkat di luar batas kelaziman.

Tetapi kemampuan di luar kelaziman itu bukanlah pemangkasan jarak hakiki. Kemampuan luar biasa itu sejatinya adalah pemangkasan jarak dunia sehingga seseorang dapat melihat akhirat sebelum waktunya sebagaimana disinggung Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut ini:

الطي الحقيقي أن تطوي مسافة الدنيا عنك حتى ترى الآخرة أقرب إليك منك

Artinya, “Lipatan hakiki adalah kau melipat jarak dunia sehingga kau melihat akhirat lebih dekat ketimbang dirimu sendiri.”

Selain jarak, keramat atau karamah juga bisa bermakna pemangkasan waktu di mana seseorang mampu berpuasa sepanjang tahun atau bertahajud setiap malam tanpa terasa. Ini yang dimaksud pemangkasan waktu. Tetapi sesungguhnya bukan ini keramat atau karamah sejati sebagaimana disinggung Syekh Syarqawi berikut ini:

الطي الحقيقي أن تطوي) أيها المريد (مسافة الدنيا عنك) بأن لا تشتغل بلذاتها وشهواتها ولا تركن إليها بل تغيب عنها (حتى ترى الآخرة أقرب إليك منك) أي تكن نصب عينيك ليست غائبة عن قلبك فهذا هو الطي الحقيقي الذي يكرم الله به أولياءه وبه تتحقق عبوديتهم لربهم لا طي مسافة الأرض بأن تكون من أهل الخطوة لأنه ربما كان استدراجا ومكرا ولا طي الليالى والأيام بالقيام والصيام لأنه ربما قارنه رياء أو عجب فتكون عاقبته الخسران.

Artinya, “(Lipatan hakiki adalah kau) wahai murid (melipat jarak dunia) dalam arti kau tidak sibuk dengan kelezatan dan keinginan duniawi serta tidak bergantung padanya, tetapi kau tersembunyi darinya (sehingga kau melihat akhirat lebih dekat ketimbang dirimu sendiri) dalam arti akhirat tampak di hadapan kedua matamu. Akhirat tidak tersembunyi. Inilah lipatan jarak hakiki di mana Allah memuliakan para wali-Nya. Dengan lipatan hakiki ini, kehambaan mereka kepada Allah terwujud, bukan dengan melipat jarak dalam arti langkah ‘ajaib’. Pasalnya langkah ajaib itu bisa jadi bentuk istidraj dan tipu daya belaka. Lipatan hakiki juga bukan melipat jarak waktu malam dan siang dengan tahajud dan puasa karena boleh jadi riya dan ujub terselip di dalam keduanya sehingga berakhir dengan kerugian,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Al-Haramain, 2012M, juz I, halaman 67).

Penulis: Khazim Mahrur/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya