Enggan Tampung Masukan Soal Kemasan Rokok Polos, Ini Permintaan DPR

Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PAN, Saleh Daulay menyoroti pentingnya keterlibatan semua pihak dalam penyusunan regulasi termasuk kemasan rokok polos tanpa merek.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 01 Okt 2024, 13:00 WIB
DPR kritik pernyataan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), yang menyebut tidak semua masukan terkait kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek bisa diakomodasi.(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - DPR kritik pernyataan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), yang menyebut  tidak semua masukan terkait kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek bisa diakomodasi.

Sekali pun regulasi tersebut berpotensi memicu gelombang PHK, menggerus penerimaan negara, dan telah mendapatkan penolakan banyak pihak. Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PAN, Saleh Daulay menyoroti pentingnya keterlibatan semua pihak dalam penyusunan regulasi.

Dia menegaskan setiap kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan semua masukan stakeholder, termasuk asosiasi industri dan pihak terdampak lainnya.

"Regulasi ini bermula dari aturan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang mengalami penundaan lama karena kami ingin memastikan bahwa semua pihak, baik pengusaha maupun pihak lain, tidak merasa dirugikan," kata Saleh dalam keterangan tertulis, Selasa (1/10/2024). 

Saleh pun menekankan penting untuk mendengarkan aspirasi dari berbagai pihak sebelum merumuskan kebijakan yang bersifat mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. "Karena itu, kalau mau membuat peraturan libatkan semua pihak. Kami minta jangan egois," tegasnya.

Ia juga mengungkapkan dalam pembuatan detail regulasi, Kemenkes lebih memilih menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) ketimbang Undang-Undang (UU). Padahal jika diatur detail UU, DPR dapat mengajak semua pihak terdampak untuk terlibat dalam penyusunan regulasi. Beda halnya dengan PP yang penyusunannya tidak melibatkan parlemen.

Imbasnya, kata dia, PP 28/2024 maupun Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) jadi sumber sengketa saat ini. Padahal seyogyanya legislator tidak ingin mengabaikan aspek kesehatan, tetapi juga tidak ingin mengabaikan aspek ekonomi. 

Selain itu, ia menggarisbawahi bahwa Kemenkes bukanlah satu-satunya kementerian yang terlibat dalam pengaturan tembakau. Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga harus dilibatkan dalam proses penyusunan regulasi ini. 


Keberatan DPR

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

"Saya menanyakan apakah semua stakeholder sudah dilibatkan dalam penyusunan aturan ini? Jika tidak, akan ada masalah dan pihak-pihak tertentu akan merasa ditinggalkan," seru dia.

Pernyataan itu diberikan setelah Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, perbedaan pendapat bukan berarti semua masukan mengenai pengaturan tembakau dapat diterima oleh Kemenkes. "Kita bisa berbeda pendapat, tapi bukan berarti seluruh masukan harus diterima kan?" ujarnya beberapa waktu lalu. 

Dia pun menjelaskan penggunaan logo dalam kemasan rokok masih diperbolehkan, termasuk kewajiban untuk menyematkan peringatan dan informasi kesehatan. Meskipun Nadia sempat membuat pernyataan kontradiktif dengan tak memperbolehkan branding. 

Pada Rancangan Permenkes yang diunggah di situs resmi Kementerian Kesehatan, bagian Pencantuman Informasi pada Kemasan pasal 15 ayat (3) menyatakan, "Merek produk diletakkan di bawah Peringatan Kesehatan pada sisi depan atau belakang kemasan menggunakan huruf kapital Arial Bold."

Sementara pada pasal 5 ayat (1) poin g disebutkan, "kemasan produk tembakau dilarang menambahkan gambar dan atau tulisan dalam bentuk apapun selain yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri ini."

"Nama dan logo produk masih bisa. Tapi memang peringatan, informasi, gambar mengenai dampak dari merokok memang ada. Branding-nya nggak boleh. Untuk warna kita standardisasi, termasuk rokok elektronik," tutur Nadia.

 


Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Bakal Hambat Pengawasan

Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terus menjadi sorotan.

Sejumlah kementerian bertanya-tanya soal penerapannya. Sekaligus menganggap penyusunan aturan itu tergesa-gesa tanpa melibatkan banyak masukan. Seperti dilontarkan Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Askolani.

Ia menyebut penerapan kemasan rokok polos tanpa merek dapat menimbulkan masalah dalam hal pengawasan, terutama terkait upaya membedakan jenis rokok yang beragam.

"Jika semua rokok dikemas secara polos, akan sulit bagi kami untuk membedakan golongan dan jenis rokok hanya dari kemasan luarnya," kata Askolani dikutip dari keterangan tertulis, Senin (30/9/2024).

Menurut dia, eksekusi aturan itu dapat menghambat pengawasan yang selama ini dilakukan berdasarkan perbedaan kasat mata pada kemasan. Akibatnya, ancaman rokok ilegal di masyarakat akan meningkat. Selama ini Bea Cukai telah berupaya keras dalam menekan peredaran rokok ilegal.

Askolani menjelaskan bahwa pembeda visual pada kemasan menjadi langkah proteksi awal bagi Ditjen Bea Cukai dalam memantau industri hasil tembakau. Jika kemasan rokok dibuat seragam tanpa ciri khas yang jelas, risiko pengawasan dapat meningkat.

 

 


Kemenkeu Beri Masukan

Bea Cukai membongkar sindikat penjualan jutaan batang rokok dan ratusan liter minuman mengandung etil alkohol (MMEA) ilegal di Malang dan Bogor dalam gelar patroli yang dilakukan pada 5 hingga 6 Maret 2024. (Istimewa)

"Kita tidak bisa lagi membedakan kemasan secara kasat mata, padahal itu adalah bagian penting dari perlindungan dan pengawasan kami," sambungnya.

Meskipun demikian, ia memastikan Kemenkeu telah memberikan sejumlah masukan kepada Kemenkes terkait dampak kebijakan ini. Termasuk risiko yang dihadapi dalam pengawasan produk rokok di pasaran. 

"Kami sudah memberikan pandangan kepada Kemenkes mengenai risiko yang mungkin timbul dari penerapan kebijakan ini," ujar dia.

Askolani tak memungkiri kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek merupakan bagian dari upaya pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. 

"Namun aspek pengawasan dan perlindungan hukum menjadi perhatian utama bagi Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan. Sehingga produk kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek perlu ditinjau kembali demi mengukur seberapa efektif aturan ini," tuturnya.

(Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya