Bursa Saham China Melambung pada Awal Pekan, Ini Kata Analis

Seiring harapan stimulus, bursa saham China melonjak lebih dari 8 persen pada Senin, 30 September 2024.

oleh Agustina Melani diperbarui 01 Okt 2024, 18:15 WIB
Analis menyebutkan kenaikan tajam di bursa saham China sejauh ini terlihat berbeda dari gelembung pasar pada 2015.(Foto by AI)

Liputan6.com, Jakarta - Analis menyebutkan kenaikan tajam di bursa saham China sejauh ini terlihat berbeda dari gelembung pasar pada 2015.

Mengutip CNBC, Selasa (1/10/2024), indeks saham acuan di China melonjak lebih dari 8 persen pada Senin, 30 September 2024, memperpanjang rentetan kenaikan seiring harapan stimulus.

Volume perdagangan di bursa saham Shanghai dan Shenzhen mencapai 2,59 triliun yuan atau sekitar Rp 5.615 triliun (asumsi kurs yuan terhadap rupiah di kisaran 2.168). Volume perdagangan itu setara USD 368,78 miliar. Volume ini melampaui level tertinggi 2,37 triliun yuan pada 28 Mei 2015, menurut Wind Information.

Selama enam bulan dari 2014-2015, nilai pasar saham China berlipat ganda, sementara leverage meningkat, demikian disampaikan Head for Asia Cambridge Associates, Aaron Costello.

"Kali ini, pasar tidak naik sebanyak itu, sementara leverage lebih rendah. Kita belum berada di zona bahaya,” ujar dia.

Menurut Wind Information, leverage pasar saham berdasarkan persentase dan nilai jauh lebih tinggi pada 2015 dari pada yang ditunjukkan data pada Senin, 30 September 2024.

Mengutip berbagai sumber, leverage merupakan pemakaian dana pinjaman yang dapat kerek hasil sebuah trading dan investasi. Di sisi lain, leverage juga gambarkan kemampuan perusahaan dalam memakai dananya untuk tetap memaksimalkan usaha.

Di sisi lain, indeks Shanghai pada Juni 2015 melonjak melewati 5.100, level yang tidak pernah dicapai lagi sejak pasar anjlok pada musim panas tahun itu.

MSCI tahun itu menunda penambahan saham China ke indeks pasar berkembang yang dilacak secara global. Sentimen yang juga berpengaruh terhadap tindakan pemerintah Beijing yang bolak balik menindak perdagangan dengan dana pinjaman dan devaluasi mengejutkan yuan China terhadap dolar AS.

 


Yuan Menguat pada 2024

Petugas menghitung uang pecahan 100 Yuan, Jakarta, Kamis (13/8/2015). Biang kerok keterpurukan kurs rupiah dan sejumlah mata uang negara lain adalah kebijakan China yang sengaja melemahkan (devaluasi) mata uang Yuan. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Pada 2024, yuan diperdagangkan lebih kuat terhadap dolar AS, sedangkan alokasi institusional asing ke saham China yang telah jatuh ke posisi terendah dalam beberapa tahun.

Indeks Shanghai ditutup ke posisi 3.336,5 pada Senin, 30 September 2024, sebelum bursa saham China ditutup untuk liburan selama sepekan untuk memperingati hari jadi ke-75 Republik Rakyat China. Perdagangan saham kembali dibuka pada 8 Oktober 2024.

Menjelang reli pasar pada 2015, media pemerintah China telah mendorong investasi pasar saham, sedangkan aturan yang longgar memungkinkan orang untuk membeli saham dengan dana pinjaman.

Beijing telah lama berupaya membangun pasar saham domestiknya yang berusia sekitar 30 tahun, jauh lebih muda ketimbang pasar saham Amerika Serikat (AS).


Sinyal Kebijakan yang Kuat

Ilustrasi bursa saham Asia (Foto by AI)

Peningkatan pasar saham terbaru mengikuti pengumuman pada pekan lalu tentang dukungan ekonomi dan program untuk mendorong lembaga agar menaruh lebih banyak uang ke saham. Berita itu membantu saham kembali bangkit dari level terendah tahun ini.

Indeks CSI 300 meningkat hampir 16 persen dalam pekan terbaiknya sejak 2008. Presiden China Xi Jinping pada Kamis pekan lalu memimpin pertemuan tingkat tinggi yang menyerukan penghentian penurunan pasar real estate serta penguatan kebijakan fiskal dan moneter.

Bank Sentral China pekan lalu juga memangkas suku bunga dan jumlah yang harus dibayarkan oleh pemegang hipotek yang ada.

"Kebijakan kali ini jauh lebih kuat dan lebih terpadu dibandingkan 2015. Meskipun demikian, ekonomi menghadapi hambatan yang lebih besar saat ini dibandingkan dengan saat itu,” ujar Penulis China’s Guaranteed Bubble, Zhu Ning.

Indeks CSI 300 masih berada lebih dari 30 persen di bawah level tertingginya pada Februari 2021, level yang bahkan telah melampaui level tertinggi indeks pada 2015.

“Pengalaman Jepang memberikan perspektif penting, karena indeks Nikkei 225 melonjak empat kali dengan rata-rata 34 persen dalam perjalanannya menuju penurunan kumulatif sebesar 66 persen dari Desember 1989 hingga September 1998,” ujar Peneliti Senior Yale Law School’s Paul Tsai China Center, Stephen Roach.

 


Sentimen Data Ekonomi

Orang-orang berjalan melewati layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Data ekonomi selama beberapa bulan terakhir menunjukkan pertumbuhan yang lebih lambat dalam penjualan eceran dan manufaktur. Hal itu menimbulkan kekhawatiran Produk Domestik Bruto (PDB) China tidak akan mencapai target setahun penuh sekitar 5 persen tanpa stimulus tambahan.

"Saya pikir yang hilang adalah kunci dari banyak hal ini, yang belum terungkap, yang akan menjadi langkah yang benar-benar meningkat kepercayaan, yaitu bagaimana mereka akan memperbaiki keuangan pemerintah daerah,” ujar Costello.

Sementara otoritas China telah memangkas suku bunga dan melonggarkan beberapa pembatasan pembelian rumah, Kementerian Keuangan belum mengumumkan penerbitan utang tambahan untuk mendukung pertumbuhan.

Direktur Pelaksana Z-Ben Advisors, Peter Alexander perkirakan tingkat stimulus fiskal yang kemungkinan diumumkan pada akhir Oktober akan lebih rendah dari yang diharapkan pasar.

“Hal itu mungkin membuat investor sedikit khawatir, seperti yang sering dikatakan orang,” ujar dia.

Ia menambahkan, dalam tanggapan tertulis kalau pengalamannya pada 2007 dan 2015 mengindikasikan reli pasar saham China dapat berlangsung selama 3-6 bulan lagi akan tiba-tiba berakhir.

“Ini murni naluri hewani dan masyarakat China telah terkurung untuk reli pasar saham,” ujar Alexander.

Ia menambahkan, ada risiko pasar dari betapa tidak siapnya sistem perdagangan saham menghadapi lonjakan pembelian.

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya