Jerman Tolak Pengajuan Kewarganegaraan Orang yang Dukung Slogan 'From River to The Sea' untuk Palestina

Media lokal Jerman mengabarkan pemerintah Jerman akan menolak pengajuan kewarganegaraan mereka yang mendukung, menyebarkan, menyukai slogan 'From River to the Sea' yang digunakan warga dunia untuk mendukung Palestina di media sosial.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 01 Okt 2024, 19:00 WIB
Ilustrasi Bendera Jerman yang beri bantuan dana hibah untuk ASEAN terkait kesehatan imbas Covid-19. (Pixabay/tvjoern)

Liputan6.com, Jakarta - Jerman akan menolak pengajuan kewarganegaraan mereka yang membagikan, menyukai, atau mengomentari slogan 'From River to the Sea' di media sosial, yang dikaitkan dengan dukungan terhadap Palestina. Informasi itu disampaikan media lokal, Radio dan Televisi Jerman Utara (NDR), pada Minggu, 29 September 2024.

Mereka menyatakan bahwa individu yang menggunakan, menyukai, atau mengomentari slogan 'From River to The Sea' di media sosial tidak akan memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan Jerman. Keputusan ini menyusul berlakunya undang-undang kewarganegaraan ganda Jerman pada 27 Juni 2024.

Jerman menjadi salah satu negara yang menganggap slogal itu sebagai bentuk anti-semit atau sikap permusuhan terhadap warga Yahudi. Mengutip TRT World, Selasa (1/10/2024), kelompok pro-Israel sering melabeli kalimat tersebut sebagai slogan pro-Hamas dan menafsirkannya sebagai 'seruan untuk menghancurkan Israel'. 

Mantan Menteri Dalam Negeri Inggris Suella Braverman sebelum dicopot sempat mengirim peringatan kepada polisi terkait protes kelompok pro-Palestina yang mengibarkan bendera Palestina dan meneriakkan slogan-slogan pro-Palestina. Dalam suratnya, ia menuliskan bahwa kalimat 'From River to the Sea, Palestine will be free' harus ditafsirkan sebagai indikasi keinginan kuat untuk melenyapkan Israel.

Polisi Wina, Austria, juga mengambil sikap serupa. Mereka pada 2023 melarang protes pro-Palestina berdasarkan penyertaan frasa 'dari sungai ke laut' dalam undangan mereka karena dianggap seruan untuk melakukan kekerasan, yang menunjukkan bahwa hal tersebut menyiratkan penghapusan Israel dari peta.

"Pada dasarnya ini adalah ‘dari sungai ke laut, Palestina akan bebas’, sebuah slogan PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) yang diadopsi oleh Hamas," kata Gerhard Puerstl, kepala kepolisian kota tersebut.

 


Pemecatan Jurnalis hingga Cuitan Elon Musk

Dalam unggahannya pun Syifa menuliskan, “From the river to the sea,” tulisnya sambil menambahkan gambar bendera Palestina. [@syifahadju]

Ini bukan pertama kalinya slogan tersebut mendapat kecaman. Pada 2018, CNN memecat Marc Lamont Hill, seorang penulis dan aktivis keturunan Afrika-Amerika, menyusul komentarnya pada sidang pleno PBB pada Hari Solidaritas Internasional dengan Rakyat Palestina, yang mencakup seruan untuk "Palestina yang merdeka, dari sungai hingga ke laut".

Menyusul banyak warganet yang menggunakan platform X untuk menyuarakan dukungan pada Palestina, Elon Musk kegerahan. Lewat cuitannya pada Sabtu, 18 November 2023, Elon Musk mengancam akan menangguhkan akun yang membuat cuitan 'decolonization' dan 'from the river to the sea'.

"Seperti yang saya katakan awal pekan ini, 'decolonization', 'from the river to the sea', dan eufemisme serupa memiliki makna genosida," cuit Elon Musk di X alias Twitter, mengutip kanal Tekno Liputan6.com. "Seruan jelas untuk melakukan kekerasan ekstrem melanggar persyaratan layanan kami, dan akan mengakibatkan penangguhan."

Sontak cuitan Elon Musk ini membuat banyak warganet kesal dan murka. Mereka pun berbondong-bondong mencuitkan "from the river to the sea" sebagai bentuk dukungan untuk Palestina. Saking ramainya cuitan tersebut, keyword "from the river to the sea" pun trending topic di X Twitter sejumlah negara, termasuk di Indonesia.

 

 


Asal-usul Slogan From River to the Sea

Warga Muslim berkumpul menggelar aksi protes di depan Gedung Putih, Washington DC, AS, Jumat (8/12). Beberapa dari mereka mengenakan syal keffiyeh khas Palestina atau memakai warna-warna yang menyimbolkan bendera Palestina. (Eric BARADAT / AFP)

Slogan itu merujuk pada ucapan pendiri PLO, Yasser Arafat. Usai didirikan diaspora warga Palestina pada 1964 di bawah kepemimpinan Yasser Arafat, PLO menyerukan pembentukan negara tunggal yang membentang dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania yang mencakup wilayah bersejarahnya.

Perdebatan mengenai pembagian ini telah ada sebelum terbentuknya Israel pada 1948. Rencana yang diajukan setahun sebelumnya oleh PBB untuk membagi wilayah tersebut jadi sebuah negara Yahudi dan negara Palestina yang terpisah ditolak para pemimpin Arab saat itu.

Lebih dari 750 ribu warga Palestina diusir dari rumah mereka dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba, atau "bencana." Pimpinan PLO lantas menerima prospek solusi dua negara, namun kegagalan proses perdamaian Oslo pada 1993 dan upaya Amerika Serikat menengahi kesepakatan akhir di Camp David pada 2000 menyebabkan terjadinya Intifada kedua, pemberontakan massal di Palestina.

Apa arti slogan tersebut? Bagi pengamat Palestina dan Israel, penafsiran berbeda mengenai makna slogan tersebut tergantung pada istilah "bebas." Nimer Sultany, dosen hukum di School of Oriental and African Studies (SOAS) di London, mengatakan kata tersebut mengungkapkan "perlunya kesetaraan bagi semua penduduk Palestina."


Penggiringan Negatif Kelompok Pro Israel

Saat berunjuk rasa, mereka membawa bendera Palestina sambil meneriakkan tuntutan. (Lionel BONAVENTURE/AFP)

Kebebasan di sini mengacu pada fakta bahwa rakyat Palestina tidak berhak menentukan nasib sendiri sejak Inggris memberi hak pada kaum Yahudi untuk mendirikan tanah air nasional di Palestina melalui Deklarasi Balfour pada 1917. 

"Hal ini terus menjadi inti permasalahan: penolakan yang terus-menerus terhadap warga Palestina untuk hidup dalam kesetaraan, kebebasan, dan bermartabat seperti orang lain," kata Sultany.

Menurut dosen SOAS, slogan tersebut tidak dapat diartikan sebagai anti-Semit. "Kontroversi ini dibuat-buat untuk mencegah solidaritas Barat terhadap Palestina," ungkapnya.

Namun, para pengamat pro-Israel berpendapat bahwa slogan tersebut memiliki efek mengerikan. "Bagi warga Yahudi Israel, kalimat ini mengatakan bahwa antara Sungai Yordan dan Mediterania, akan ada satu entitas, yang akan disebut Palestina, tidak akan ada negara Yahudi, dan status Yahudi dalam entitas apapun yang muncul akan sangat tidak jelas," kata Yehudah Mirsky, seorang rabbi dan profesor Universitas Brandeis yang berbasis di Yerusalem.

Ia melanjutkan, "Kedengarannya lebih seperti sebuah ancaman daripada janji pembebasan. Hal ini tidak menandakan masa depan di mana orang-orang Yahudi dapat memiliki kehidupan yang utuh dan jadi diri mereka sendiri."

Infografis Aksi Pro-Palestina Marak di Kampus-Kampus AS dan Prancis. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya