Liputan6.com, Jakarta Pendidikan yang berkualitas memiliki kemampuan untuk mengubah kehidupan seseorang, memungkinkan pengembangan potensi secara maksimal dan menempatkannya pada jalur menuju kesuksesan. Saat ini, semakin banyak perempuan yang memegang posisi kepemimpinan di institusi pendidikan tinggi ternama dalam beberapa tahun terakhir, yang mencerminkan peran akademik yang memberdayakan.
Mendidik seorang anak perempuan adalah salah satu investasi terbaik yang dapat dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan negaranya. Anda menyadari bahwa pendidikan anak perempuan secara khusus dapat memulai lingkaran perkembangan yang positif. Ini akan mengubah prospek pendidikan bagi perempuan di seluruh dunia.
Advertisement
Perempuan tidak hanya ingin mencapai kesuksesan yang luar biasa di bidangnya, tetapi juga memainkan peran penting dalam mendorong kesetaraan gender dan reformasi pendidikan. Namun, tantangan yang menghambat tentu masih ada. Dikutip Liputan6.com dari Times Higher Education pada Kamis (3/10/2024), berikut ini adalah tantangan yang sering dihadapi perempuan di dunia pendidikan.
1. Konflik antara tanggung jawab keluarga vs pengembangan karier
Di berbagai budaya, pandangan tradisional masih mempengaruhi ekspektasi sosial dan persepsi diri perempuan. Penelitian menunjukkan bahwa karena tanggung jawab keluarga yang sangat besar, hingga 83% perempuan mengalami kesulitan untuk berkomitmen penuh terhadap kariernya, sering kali merasa terpecah antara rumah dan tempat kerja.
Peran perempuan terbentuk secara tidak kasat mata, semakin dalam dan disadari bahwa perempuan dapat mencapai posisi yang lebih tinggi dan keterlibatan masyarakat yang lebih besar. Meskipun demikian, dalam menyeimbangkan keluarga dan karier, mereka harus melakukan semua tugas rumah tangga, mengurus anak, serta mengatur pendidikan dan pekerjaan secara bersamaan.
Advertisement
2. Takut gagal dan ragu-ragu
Di tempat kerja, suara dan pandangan perempuan sering kali diabaikan. Mereka merasa ragu untuk menyampaikan ide, takut gagal, dan cenderung menghindari risiko. Dalam lingkungan eksternal seperti ini, banyak perempuan memberlakukan pembatasan diri yang mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk mengekspresikan diri dan mendapatkan pengakuan.
3. Minimnya pendidikan tentang kesetaraan gender
Saat ini, kursus pendidikan gender masih jarang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan tinggi dan program pelatihan yang ada pun sangat terbatas. Banyak perempuan yang kurang memiliki persiapan psikologis serta strategi untuk menghadapi tantangan ketika memasuki dunia kerja atau bercita-cita untuk menduduki posisi kepemimpinan.
Advertisement
4. Lingkungan periferal yang bias terhadap perempuan
Di lingkungan sekitar, perempuan sering kali terpengaruh oleh bias yang tidak disadari dan stereotip negatif. Ada anggapan umum bahwa perempuan kurang memiliki ketegasan, yang membatasi perkembangan dan kemajuan mereka ke posisi yang lebih tinggi. Seringkali, perempuan harus menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik daripada rekan laki-laki mereka untuk dipertimbangkan dalam promosi.
5. Tantangan berintegrasi dalam lingkungan sosial yang didominasi pria
Kurangnya keterwakilan berarti bahwa kepemimpinan dan lingkungan sosial didominasi oleh laki-laki. Di beberapa masyarakat dan budaya, terdapat ekspektasi umum terhadap perempuan untuk bersikap lembut, patuh, dan sensitif. Akibatnya, para pemimpin perempuan merasa kesulitan untuk berintegrasi ke dalam lingkaran sosial yang didominasi laki-laki, dan kesulitan mengakses informasi, jaringan, dan sumber daya pada tingkat yang lebih tinggi.
Advertisement