Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sekaligus Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, membagikan pengalaman hidupnya di masa-masa sulit. Ia juga mengungkapkan peran sosok ayah dan ibu yang paling berjasa di balik kesuksesannya.
Pria kelahiran Maluku ini mengawali cerita tentang masa-masa sulit menapaki perjalanan hidup yang penuh perjuangan. Lahir dari keluarga miskin, ia mengaku sudah terbiasa bekerja keras sejak kecil. Sejak masih duduk di Sekolah Dasar (SD), ia sudah harus mencari uang sendiri untuk biaya sekolah dan membeli buku.
Advertisement
“Saya itu memang dari keluarga yang sederhana banget, dan saya sekolah pun sejak SD sudah harus cari duit sendiri untuk bayar sekolah,” ujar Bahlil, dikutip dari akun Instagram @bahlillahadalia, Kamis (3/10/2024).
Bahlil menambahkan, selepas lulus SD dan melanjutkan ke SMP hingga SMA, ia pernah menjadi kondektur dan sopir angkot, serta membantu berjualan kue sebelum berangkat ke sekolah.
Setelah lulus dari SMA, Bahlil memutuskan pergi ke Jayapura untuk kuliah. Dengan modal nekat, ia berangkat menggunakan kapal perintis yang berisikan ayam, kambing, hingga keledai.
Saat kuliah di Jayapura, Bahlil sudah hidup mandiri dengan bekerja serabutan mulai dari berjualan koran, mendorong gerobak, hingga lagi-lagi menjadi sopir angkot. Semuanya dilakukan demi menyelesaikan kuliah.
“SMP itu saya jadi kondektur angkot. SMA atau SMEA itu saya jadi sopir angkot. Kuliahnya pun kan saya nggak dibiayai orang tua. Kuliah di Jayapura, dari Fakfak ke Jayapura naik kapal perintis itu dua minggu baru saya tiba di Jayapura,” bebernya.
“Saya kuliah tinggal di asrama. Untuk makan itu dorong gerobak, jual koran, terus jadi buruh bangunan. Jadi, apa saja saya kerjakan. Jadi kalau ditanya kapan masa sulit, ya usia saya 0 sampai 26 tahun, sulit,” imbuhnya.
Lanjut Bahlil menuturkan, ia mengenang betapa getirnya perjuangan di masa-masa sulit dalam hidupnya. Ada satu masa di mana untuk makan sehari-hari saja susah. Maka dari itu, ia coba mencari cara agar mendapat uang makan dengan mengerjakan tugas-tugas makalah rekan sesama mahasiswa di kampusnya.
“Saya itu dulu kalau kuliah, tugas bikin makalah di teman-teman kampus itu saya yang bikin. Satu makalah Rp10.000. Nah, untuk bikin satu buah makalah itu referensinya harus tiga, dan dulu belum ada Google, harus baca buku di perpustakaan. Komputer masih jarang sekali, makanya pakai mesin ketik,” bebernya.
“Jadi, kalau saya bisa bikin tiga makalah, sembilan buku yang saya harus baca di perpustakaan. Jadi memang sudah terbiasa,” sambungnya.
Bahlil pun berkelakar, jangan mengajarinya tentang hidup susah, karena dia sudah merasakan hidup susah sejak lama. Namun, berkat kerja keras, perjuangan, tekad, dan semangat pantang menyerah, ia berhasil membalikkan keadaan.
“Jadi kalau sekarang orang bilang, ‘nanti kamu susah’, jangan ajarin gua (saya) tentang kesusahan, karena gua (saya) sudah susah sudah lama. Kalau suatu saat kembali lagi nol itu nggak rugi, kembali modal,” katanya.
“Sejak kecil, saya sudah terbiasa hidup mandiri dan bekerja keras. Tidak ada yang instan, semua butuh perjuangan. Jadi, apa pun tantangannya, hadapi dengan tekad dan semangat pantang menyerah,” tegasnya.
Sosok Berjasa
Selain itu, Bahlil juga mengungkapkan sosok yang berjasa di balik kesuksesannya saat ini, yakni kedua orang tuanya, yang telah banyak menanamkan nilai-nilai dan arti kehidupan serta mendorong anak-anaknya agar bisa sukses di masa depan.
“Ayah dan ibu saya adalah sosok yang paling menginspirasi dan paling berjasa dalam hidup saya. Meskipun mereka sederhana, mereka selalu menanamkan mimpi besar untuk anak-anaknya. Bagi saya, tidak ada yang didapatkan tanpa perjuangan,” katanya.
Meskipun ayah dan ibunya hanya sebatas tamatan SMP, mereka memiliki tanggung jawab besar dan cara berpikir yang luar biasa jauh ke depan.
“Ayah ibu saya itu, sekalipun mereka sederhana, tapi mereka punya mimpi yang besar agar anak-anaknya sukses kuliah dan menjadi orang. Nilai-nilai yang ditanamkan ayah ibu saya, meskipun sekolahnya cuma sampai SMP, tapi melampaui batas cara berpikir orang yang sekolah tinggi,” urainya.
Advertisement
Perjuangan dan Kerja Keras
Dikatakan Bahlil, meski hidup dalam kesederhanaan, pantang bagi keluarganya untuk meminta-minta kepada orang lain. Semuanya harus diraih dengan perjuangan dan kerja keras.
“Ibu saya, sekalipun sehari-hari mencuci pakaian di rumah orang, bekerja untuk menafkahi anak-anaknya. Jadi, nggak ada sesuatu yang kita dapatkan itu dengan cara meminta. Harus dengan perjuangan. Itulah yang menurut saya sangat mengena dalam batin saya,” ucapnya.
“Pengalaman ibu ayah saya itu adalah sesuatu yang berharga bagi saya. Ayah ibu saya juga nggak pernah datang meminta-minta kepada orang. Jadi, saya begini ya bekerja, dan karena Allah saja, sambil membangun silaturahmi dengan senior-senior, teman-teman, membangun jejaring. Jangan sombong, itu saja,” tukas Bahlil.