Ingat, Tulisan 'No Pork, No Lard' Tidak Bisa Jadi Jaminan Halal Sebuah Restoran

Jelang pemberlakuan wajib halal 17 Oktober 2024, masih banyak restoran yang belum memiliki sertifikat halal. Alih-alih mengurusnya, mereka hanya memajang tulisan No Pork, No Lard untuk 'meyakinkan' konsumen muslim.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 04 Okt 2024, 05:00 WIB
Ilustrasi No Pork, No Lard di restoran. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Jakarta - Jelang pemberlakuan wajib halal pada 17 Oktober 2024, masih banyak bidang usaha terkait makanan dan minuman serta turunannya masih belum tersertifikasi halal. Sejumlah restoran bahkan berusaha menyiasati ketiadaan sertifikat halal itu dengan memasang tulisan 'No Pork, No Lard' di depan restoran tersebut.

Tulisan itu untuk menunjukkan bahwa restoran itu tidak menggunakan daging babi maupun minyak babi sebagai salah satu bahan pembuatan makanan/minuman. Apakah itu cukup untuk dijadikan pegangan atau jaminan halal dari produk dan layanan restoran oleh konsumen muslim?

Direktur Utama LPPOM MUI Muti Arintawati menegaskan bahwa hal itu tidak bisa dijadikan jaminan halal. Terlebih, titik kritis kehalalan pada produk makanan dan minuman yang dijual banyak.

"Itu sebenarnya kembali ke zaman dulu ketika sertifikat halal belum ada, kemudian orang mengklaim sendiri, dengan pemahaman orang itu bahwa haram itu hanya sekadar pork dan lard," ujarnya dalam Media Gathering LPPOM MUI di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2024.

Karena itu, ia menyarankan agar konsumen muslim lebih kritis. "Jadi, saya ingin bahwa kalau yang masih seperti itu, tidak usah dibeli, karena saat ini, yang sudah jelas-jelas bersertifikat halal sebagai pilihan, itu sudah sangat banyak," sarannya.

Di samping itu, umat muslim yang masih membeli dari restoran tanpa sertifikat halal memberi pesan yang salah kepada penjual. "Kalau kita sebagai konsumen muslim masih memilih produk yang tidak bersertifikat halal, itu tidak mendorong produsen untuk mensertfikasi produknya," ia menguraikan.

 


Sertifikasi Halal Self Declare

Ilustrasi restoran. Photo by Sandra Seitamaa on Unsplash

Penerbitan sertifikasi terbagi dalam dua mekanisme, lewat Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) baru ditetapkan Komisi Fatwa MUI atau dengan mekanisme self declare. Mengutip laman bpjph.halal.go.id, Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham menyebut sertifikasi halal self declare yang diterapkan sejak 2021 merupakan kemudahan yang diberikan pemerintah kepada UMK.

Mekanisme self declare itu diklaim sebagai langkah strategis pemerintah untuk memberdayakan UMK agar produknya memiliki standar halal sebagai nilai tambah  dan mampu bersaing di pasar domestik maupun global. Aturannya tertera di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (JPH) dan Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2021 tentang Sertifikasi Halal bagi Pelaku UMK.

Menurut Aqil, kualitas sertifikat halal dengan mekanisme self declare tidak berbeda dengan mekanisme reguler. Syaratnya, self declare hanya berlaku bagi produk usaha mikro kecil (UMK) yang berisiko rendah dan proses produksinya sederhana.

"Syarat produk UMK dapat melaksanakan sertifikasi halal self declare adalah produk tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya. Proses produksinya juga dipastikan kehalalannya dan sederhana," kata Aqil.


Jadi Celah Pengusaha Nakal

Ilustrasi makanan restoran. (dok. Sander Dalhuisen dari Pexels)

Meski begitu, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda mengkhawatirkan kemudahan itu dimanfaatkan para pengusaha nakal karena hanya seorang yang memverifikasi dan memvalidasi klaim pengusaha. Belum lagi, kualifikasi pendamping proses tidak setinggi kualifikasi auditor halal.

"Di dalam prakteknya di lapangan itu ya susah untuk dibatasi karena kadang orang menyatakan bahwa produk saya ini sederhana, tapi dalam prakteknya di lapangan, mekanisme penetapannya hanya melalui verifikasi dan validasi satu orang," kata Miftah.

Belum lagi biaya yang dikeluarkan juga relatif terjangkau, yakni Rp150 ribu per pelaku usaha. Itu pun dibagi antara lembaga dan petugas pemeriksa. Di satu sisi meringankan, tetapi biaya demikian diyakini memengaruhi kualitas pemeriksaan petugas lapangan. "Jadi, biaya mempengaruhi kualitas," katanya.

Pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) beserta regulasi turunannya mewajibkan seluruh produk yang beredar wajib bersertifikat halal. Masa tenggang terdekat jatuh tempo pada 17 Oktober 2024 untuk empat jenis produk, yaitu makanan minuman sebagai end product; bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong untuk makanan minuman; jasa dan produk sembelihan; serta seluruh jasa yang berkaitan dengan proses makanan minuman sampai ke konsumen (maklon, logistik, retailer).


Baru 48 Retailer yang Memiliki Sertifikasi Halal

Berbelanja buah di Supermarket. (Dok: pixabay.com)

Dirut LPPOM menekankan bahwa jasa retailer terkait makanan dan minuman termasuk dalam kategori yang wajib bersertifikat halal sesuai PP No. 39 Tahun 2021. Sejumlah persyaratan wajib diimplementasikan oleh perusahaan untuk memenuhi kewajiban tersebut, termasuk memisahkan fasilitas antara produk yang halal dan haram. 

"Sertifikasi halal jasa retailer meliputi proses penanganan arus bahan atau produk yang harus bebas dari najis yang berpotensi mengkontaminansi bahan/produk halal. ​Ruang lingkupnya mencakup pergudangan​, distribusi (penerimaan barang)​, penanganan dan penyimpanan, serta pemajangan​. Artinya, seluruh produk yang bersertifikat halal terjamin tidak terkontaminasi najis hingga sampai di tangan konsumen," kata Muti.

Produk yang ditangani retailer yang ingin mendapatkan sertifikat halal harus diidentifikasi dan ditangani sesuai standar. Ada tiga kategori produk dalam jasa retailer yang perlu penangan berbeda. Pertama, produk yang jelas halal (seperti buah dan sayur) atau memiliki sertifikat halal tidak perlu handling khusus.

Kedua, produk haram seperti daging babi dan minuman keras harus dipastikan secara fasilitas tidak mengontaminasi produk yang sudah halal serta diberikan penanda yang jelas. Ketiga, produk yang belum jelas status kehalalannya namun bebas babi ditangani agar tidak mengkontaminasi produk yang disertifikasi halal.

Selain itu, perusahaan perlu memiliki prosedur tertulis dengan dokumentasi terpelihara,  di antaranya terkait penerimaan, penanganan, proses dan penyimpanan, ketertelusuran penanganan produk, penanganan produk yang tidak sesuai kriteria, pelatihan personel, serta audit internal dan kaji ulang manajemen. Berdasarkan data BPJPH, per September 2024, sudah ada 48 perusahaan retailer yang sudah disertifikasi halal, 28 di antaranya sudah disertifikasi halal melalui pemeriksaan LPPOM. 

 

Infografis Prosedur Pengajuan Sertifikat Halal. (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya