Bos BTN: 24 Juta Orang Punya Rumah, tapi Tak Layak Huni

Sejak era Presiden Soeharto, pengadaan rumah hanya berkisar antara 150.000 hingga 300.000 unit per tahun.

oleh Arief Rahman H diperbarui 03 Okt 2024, 20:22 WIB
Direktur Utama Bank BTN Nixon LP Napitupulu memberikan sambutan pada acara Penyerahan Sertifikat KPR di Bandung, Jawa Barat (31/5/2023). Bank BTN berkomitmen memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat sebagai debitur KPR BTN seperti penyelesaian sertifikat yang menjadi hak debitur. (Liputan6.com/HO)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN), Nixon L.P. Napitupulu, mengungkapkan penyebab semakin banyak keluarga yang tidak memiliki rumah. Masalah utamanya adalah pasokan perumahan yang dibangun tidak sebanding dengan penambahan jumlah keluarga baru setiap tahun.

Nixon menjelaskan bahwa masalah ini menjadi inti dari backlog perumahan yang belum terselesaikan dari tahun ke tahun. Ia mencatat bahwa sejak era Presiden Soeharto, pengadaan rumah hanya berkisar antara 150.000 hingga 300.000 unit per tahun.

"Kami di BTN selalu mengamati jumlah subsidi perumahan. Dari zaman Pak Harto hingga sekarang, rumah subsidi paling banyak hanya mencapai 150 ribu hingga 300 ribu unit per tahun," kata Nixon dalam Forum Tematik Bakohumas BP Tapera Tahun 2024 di Jakarta, Kamis (3/10/2024).

Namun, jumlah pasangan yang menikah dan membentuk keluarga baru jauh lebih banyak dari angka tersebut. Ia mencatat ada penambahan sekitar 800 ribu hingga 1 juta keluarga baru setiap tahun.

"Inilah masalah kita. Jika tidak menikah, mungkin tidak ada masalah. Tetapi, ketika ada 800 ribu hingga 1 juta pasangan baru setiap tahun, kebutuhan akan rumah pasti meningkat. Pernikahan memicu kebutuhan tempat tinggal. Jika tidak menikah, seseorang bisa saja tetap tinggal bersama orang tuanya, tetapi setelah menikah, biasanya mereka ingin mandiri," jelasnya.

Jumlah Tambahan Rumah Tak Cukup

Data terbaru yang dimilikinya menunjukkan bahwa tambahan rumah yang disediakan oleh pengembang hanya berkisar antara 400.000 hingga 500.000 unit per tahun. Angka ini masih jauh dari cukup untuk mengejar pertambahan jumlah keluarga baru tersebut.

Jika dihitung secara sederhana, ada kekurangan sekitar 300.000 hingga 500.000 rumah yang perlu disediakan setiap tahun untuk menutup backlog perumahan tersebut.

"Masalahnya, pasokan rumah hanya mencapai 400 ribu hingga 500 ribu unit per tahun, jadi kita selalu kalah, dan backlog perumahan terus bertambah," tambah Nixon.

"Sisi pasokannya, maksudnya dari sisi pengembang, hanya mampu membangun sebanyak itu, dengan berbagai tantangan di sisi pasokan," lanjut Nixon.

 


Tantangan Kementerian Perumahan

Realisasi penambahan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk 34 ribu unit rumah subsidi dari pemerintah masih dinanti masyarakat. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, Presiden terpilih Prabowo Subianto dikabarkan akan membentuk kembali Kementerian Perumahan yang terpisah dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pembentukan Kementerian Perumahan ini merupakan langkah konkret pemerintah untuk mempercepat penyediaan perumahan nasional.

Namun, mengingat kompleksitas masalah perumahan, banyak pihak berharap kementerian ini dikelola oleh menteri yang benar-benar memahami akar persoalan.

"Masalah perumahan sangat kompleks, sehingga tidak bisa dipelajari secara cepat. Persoalan backlog, pembiayaan perumahan, dan keterjangkauan bagi masyarakat, terutama generasi milenial, harus segera diatasi dengan pendekatan yang tepat," ujar Pengamat Properti dari Knight Frank Indonesia, Syarifah Syaukat, di Jakarta, Senin (9/9/2024).

Ia menyatakan bahwa diperlukan seorang menteri yang memahami data dan penerapan kebijakan secara historis, serta mampu membawa perubahan konkret dalam penyediaan perumahan, terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Jika memungkinkan, sosok menteri tersebut sudah memiliki konsep yang matang untuk menangani persoalan perumahan secara menyeluruh.

"Sebaiknya menteri yang sudah paham masalah perumahan, karena itu akan mempermudah percepatan pencapaian hunian terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat," ujar Syarifah, yang juga dikenal sebagai Senior Research Advisor Knight Frank Indonesia.

 


Harus Paham Prioritas

Foto udara salah satu kawasan perumahan bersubsidi di Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis sore (19/9/2024). (merdeka.com/Arie Basuki)

Pengamat Properti dari Leads Property, Martin Samuel Hutapea, menambahkan bahwa menteri perumahan yang ditunjuk harus memahami prioritas dalam penyelenggaraan perumahan.

Hal-hal seperti keterkaitan antara populasi, daya beli, lokasi kerja, karakteristik lokasi, hingga ketersediaan lahan harus diperhatikan. Terutama, bagi mereka yang masih kesulitan memiliki hunian meskipun sudah bekerja.

"Siapa pun yang menjadi menteri, harus mengetahui masalah mendasar di sektor perumahan dan mampu mengontrol implementasinya. Karenanya, diperlukan seseorang yang sudah memiliki konsep pendekatan untuk menangani persoalan perumahan," jelas Martin.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya