Liputan6.com, Jakarta - Raut tegas terlihat di wajah Hamada Shaqoura yang terpasang di laman Majalah TIME. Ia menjadi satu-satunya pemuda Palestina yang masuk daftar TIME100 Next 2024, yang disusun publikasi itu untuk memberi pengakuan pada anak-anak muda yang berdampak luas dan berpengaruh pada sekitarnya, bahkan dunia.
"Saya merasa terhormat menjadi bagian kelompok ini. Saya tidak terlalu ingin merayakannya, di saat saya, rakyat Palestina, dan saudara-saudari saya di Lebanon masih menghadapi kematian 24/7. Namun, saya akan mengambil momen ini untuk menekankan kepada seluruh dunia, bahwa kami – warga Palestina – ada di sini, dan akan selalu ada!" tulisnya di unggahan Instagram, Rabu, 2 Oktober 2024, menanggapi penghargaan tersebut.
Advertisement
Hamada dijuluki sebagai koki tenda, lantaran ia kerap mengunggah video sedang memasak, menyiapkan makanan untuk warga di pengungsian dengan bahan-bahan seadanya dari paket bantuan. Konten-konten unggahannya menarik perhatian warganet dengan lebih dari 500 ribu akun mengikutinya di Instagram.
Ekspresi wajah tegas selalu dipasangnya di setiap video, sebagai caranya menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap kondisi Gaza yang memasuki krisis kemanusiaan terparah sepanjang sejarah. Belasan ribu anak Palestina meninggal dunia, ada yang kelaparan, ada yang dibom Israel, dan dunia seolah tak berdaya melawannya.
Shaqoura mengatakan, ia mengunggah videonya untuk menyoroti betapa penting anak-anak di sekitarnya menerima nutrisi yang tepat. Musim panas ini, UNICEF melaporkan bahwa 90 persen anak-anak di Gaza menderita kemiskinan pangan yang parah, sehingga membahayakan pertumbuhan dan kesehatan mereka.
"Saya mengambil tanggung jawab untuk membuat makanan lezat dan bersih untuk anak-anak di tenda," katanya melalui seorang penerjemah, dikutip dari TIME, Jumat (4/9/2024). "Saya mencoba berperan dalam membantu anak-anak ini."
Food Blogger Terkenal
Itu bukanlah profesi yang digelutinya sebelum agresi militer Israel memborbardir Gaza tanpa peduli hukum humanitarian. Mengutip New Arab, ia sebelumnya dikenal sebagai food blogger dari Gaza yang bersemangat dan kerap membagikan informasi tentang kafe dan restoran, serta cerita warisan kuliner yang kaya di wilayah tersebut. Ia juga berprofesi sebagai penyiar radio dan pemilik bisnis marketing.
Namun ketika perang dimulai, Hamada mengalihkan fokusnya ke upaya kemanusiaan, menggunakan platform-nya untuk mendukung dan memberi makan anak-anak pengungsi di Gaza.
"Saya awalnya seorang blogger makanan dengan pengalaman sekitar tujuh tahun menampilkan kuliner Gaza yang pernah berkembang pesat. Namun, dalam beberapa bulan saja, hidup saya berubah dari menikmati kuliner Gaza jadi sekedar makan untuk bertahan hidup dan memasak untuk keluarga pengungsi," kata Hamada.
Konten-kontennya sebelum perang menampilkan roti pipih hangat, bungkus berisi isian gurih, serta ayam panggang yang renyah dan lembut. Kini, feed Instagram-nya telah berubah jadi video dirinya memasak berbagai makanan menggunakan paket bantuan, termasuk makanan kaleng.
Advertisement
Maksud dari Setiap Unggahan Konten Memasak
Menurut Hamada, kontennya bukan sekadar mencari simpati publik. "Saya mendokumentasikan momen-momen ini bukan hanya untuk menunjukkan pada dunia kenyataan pahit yang kami hadapi, namun untuk menyoroti ketahanan dan kecerdikan kami," kata Hamada.
"Setiap makanan yang disiapkan dari paket bantuan menceritakan kisah harapan dan tekad. Dengan berbagi cerita ini, saya ingin memanusiakan perjuangan kami."
Hamada menyatakan bahwa memasak secara berkelompok, seperti yang dilakukannya saat ini, begitu menantang. Namun, itu caranya untuk menghadirkan keadaan normal dan nyaman bagi anak-anak di Gaza.
"Produk makanan terbatas, jadi saya harus inovatif dengan apa yang kami punya, mengubah bahan dasar dan makanan kaleng jadi sesuatu yang istimewa dan menciptakan masakan yang sangat mereka rindukan," tambahnya.
Hamada telah mendokumentasikan perjalanannya di media sosial, yang membuatnya tetap terhubung dengan dunia dan membantu meningkatkan kesadaran tentang situasi di Gaza sambil mendokumentasikan upaya memasak dan distribusinya. Ia merasa memiliki teman meski tidak bertemu fisik.
"Dukungan dan dorongan yang saya terima dari seluruh dunia adalah hal yang membuat saya terus maju," kata Hamada pada The New Arab.
Tantangan Bertahan di Pengungsian
Beroperasi di zona perang menghadirkan tantangan logistik yang signifikan, termasuk mengamankan bahan-bahan, lokasi memasak yang aman, dan saluran distribusi yang andal. Serangan militer yang sedang berlangsung menimbulkan risiko keamanan terus-menerus bagi Hamada, timnya, dan keluarga pengungsi yang ia targetkan dalam upayanya.
"Tantangan dan kesulitan ini melampaui perjuangan hidup sehari-hari," kata Hamada. "Suplai gas untuk memasak terbatas, sehingga sulit menyiapkan makanan secara konsisten. Bahan-bahan penting juga sulit didapat sehingga memaksa masyarakat bergantung pada paket bantuan dan makanan kaleng sehingga membatasi variasi dan nilai gizi makanan."
Air bersih sangat penting untuk memasak dan kebersihan, namun pasokannya juga terbatas di Gaza. Kerusakan infrastruktur air dan kontaminasi sumber air memperburuk masalah ini, sehingga sulit untuk memastikan bahwa makanan disiapkan dengan aman, menurut Hamada.
Hamada dan rekannya Lamis kini sedang menggalang dana untuk mengevakuasi diri bersama orangtua Hamada, Nizar dan Madja, serta adik perempuannya, Saba dan Haya, dari Rafah. Biaya evakuasi sekitar enam ribu dolar AS (sekitar Rp93 juta) per orang.
Advertisement