Liputan6.com, Jakarta Harga minyak melonjak 5% setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengatakan bahwa Amerika kini sedang membahas kemungkinan serangan Israel terhadap industri minyak Iran.
Ketika ditanya apakah AS akan mendukung Israel menyerang fasilitas minyak Iran, Joe Biden berkata, "Kami sedang membahasnya." kata dia dikutip dari BBC, Jumat (4/10/2024).
Advertisement
Iran merupakan produsen minyak terbesar ketujuh di dunia, yang mengekspor sekitar setengah dari produksinya ke luar negeri, terutama ke China. Sejak serangan rudal Iran terhadap Israel pada hari Senin, harga minyak mentah Brent telah naik 10% menjadi USD 77 per barel, meskipun ini masih di bawah level tertinggi awal tahun ini.
Kenaikan harga energi yang berkepanjangan meningkatkan kemungkinan harga bensin yang lebih tinggi dan tagihan gas dan listrik yang meningkat, sehingga mendorong laju inflasi.
Sejauh ini tahun ini, permintaan yang lebih lemah dari China dan pasokan yang melimpah dari Arab Saudi telah menekan harga minyak.
Reaksi di pasar minyak, sejauh ini, jauh lebih tenang dibandingkan, misalnya, terhadap invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022. Namun, eskalasi kekerasan di Timur Tengah dan ancaman tindakan lebih lanjut kini mengintai pasar.
Namun, yang menjadi perhatian khusus adalah apakah eskalasi apa pun dapat memblokir Selat Hormuz, yang harus dilalui oleh sepertiga lalu lintas kapal tanker minyak dan seperlima gas beku LNG.
Dampak Serius
Sejak perang Rusia dengan Ukraina dimulai, dunia menjadi lebih bergantung pada gas beku yang dikirim dalam kapal tanker LNG. Bahkan jika Asia yang paling bergantung secara fisik pada aliran minyak dan gas dari Teluk Persia, dampak langsung dari perkembangan tersebut terhadap harga akan signifikan.
Gubernur Bank of England Andrew Bailey memperingatkan pada hari Kamis tentang potensi dampak yang "sangat serius" dan bahwa ia mengamati perkembangan tersebut "dengan sangat cermat".
Semua ini dapat terjadi pada saat para bankir sentral dunia mengumumkan kemenangan diam-diam atas guncangan inflasi tiga tahun akibat pandemi dan perang Ukraina.
Hal ini dapat membantu menjelaskan mengapa para pemimpin G7 mencoba untuk meredam respons yang diharapkan dari Israel terhadap serangan Iran.
Advertisement