Pahami Aturan Minum Obat Antibiotik agar Terhindar dari Risiko Resisten

Penting bagi masyarakat untuk memerhatikan aturan penggunaan antibiotika. K

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 04 Okt 2024, 17:05 WIB
Ilustrasi antibiotik. Kredit: Arek Socha via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Guna menghindari risiko bakteri menjadi resisten atau kebal, penggunaan obat antibiotika harus dilakukan dengan hati-hati. Kondisi resisten atua kebal terhadap antibiotikan membuat pengobatan dan perawatan pasien jadi lebih lama dan sulit.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH menjelaskan, resistensi antibiotika terjadi ketika bakteri tidak lagi dapat dibasmi oleh antibiotika.

“Ini karena banyak bakteri resisten terhadap obat antibiotika yang ada. Salah satu penyebab resistensi obat antibiotika, yaitu pemakaian obat antibiotika yang tidak tepat. Yang dimaksud tidak tepat, pertama adalah asal memberikan obat antibiotika,” jelas Syahril di Jakarta, Jumat (27/9).

Syahril melanjutkan, hal kedua dan ketiga yakni terkait dosis serta durasi pemakaian obat antibiotik.

"Kedua, soal dosis dan ketiga terkait lamanya pemakaian obat. Contohnya, ada orang yang minum obat antibiotikanya hanya sehari sekali. Padahal, dosis yang seharusnya diminum itu tiga kali sehari. Maka, bakterinya jadi resisten, kebal.”

Oleh sebab itu, penting bagi masyarakat untuk memerhatikan aturan penggunaan antibiotika. Ketika dokter meresepkan antibiotika sesuai indikasi medis, pasien harus menghabiskan sesuai dosis dan durasi yang telah ditentukan penggunaannya.

“Pemakaian obat antibiotika ini harus sesuai resep dokter. Dokter juga harus memenuhi persyaratan indikasi dalam memberikan obat antibiotika,” lanjut Syahril.

“Selain itu, masyarakat pun harus patuh. Kalau dokter memberikan obat antibiotika untuk tiga hari, tentu harus diminum selama durasi tersebut. Jangan hanya minum satu hari atau resepnya tertulis tiga kali sehari, malah diminumnya sekali.” 

 

 


Pengobatan TB

Bakteri yang kebal terhadap antibiotika, kata Syahril, berisiko menjadi lebih menyebar dan ganas. Resistensi antibiotika menyebabkan obat antibiotika menjadi tidak efektif dan infeksi menjadi lebih sulit diobati, sehingga meningkatkan risiko penyebaran penyakit, memperparah kondisi penyakit, menyebabkan kecacatan, dan bahkan kematian.

“Kalau terjadi kejadian resisten, maka banyak sekali bakterinya itu tetap hidup dalam tubuh. Kemudian, menyebar lagi dan mungkin bisa menjadi lebih ganas. Misalnya, kejadian tuberkulosis yang resisten terhadap berbagai obat (Multidrug-resistant tuberculosis/MDR-TB),” terangnya.

“MDR-TB ini berarti bakteri tuberkulosis resisten terhadap obat-obatan TB. Pengobatan tuberkulosis harus diminum selama enam bulan dan ada aturannya. Terdapat empat macam obat yang diberikan pada dua bulan pertama, antara lain rifampisin, INH, etambutol, dan pirazinamid. Itu keempat obat yang diminum selama dua bulan berturut-turut setiap hari.” 

Pada empat bulan berikutnya, pengobatan TB dilanjutkan dengan pemberian dua macam obat.

“Kalau obatnya diminum hanya sebulan, apalagi diminum hanya dua minggu, maka bakteri TB akan resisten, kebal. Kalau resisten, maka pengobatannya susah,” sambung Syahril.

Berdasarkan informasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), MDR-TB masih dapat diobati dan disembuhkan menggunakan obat lini kedua. Namun, pilihan pengobatan lini kedua membutuhkan berbagai macam obat yang mahal.

Dalam beberapa kasus, resistensi obat yang lebih luas dapat berkembang. Tuberkulosis, yang disebabkan oleh bakteri kebal obat TB lini kedua yang paling efektif, dapat menyebabkan pasien memiliki pilihan pengobatan yang sangat terbatas. MDR-TB ini masih menjadi krisis kesehatan masyarakat global.

 


Penggunaan Obat Perlu Berhati-Hati

 

Dalam mengonsumsi obat lain, Syahril juga mengingatkan masyarakat agar tetap berhati-hati. Seperti misalnya dalam konsumsi obat untuk penyakit yang disebabkan oleh virus, misalnya untuk batuk dan pilek.

“Hindari menggunakan obat yang tidak diresepkan atau direkomendasikan dokter, termasuk obat penurun panas, obat batuk pilek, dan lainnya. Kalau (demam) gejalanya ringan dapat diupayakan cara tradisional, contohnya dengan kompres, perbanyak minum air putih, makan yang cukup,” pesannya.

“Kalau (gejala) berlanjut, baru melihat apa yang direkomendasikan dokter. Sekali lagi, bukan hanya obat antibiotika, tapi seluruh obat, penggunaannya harus berhati-hati. Terlebih lagi, banyak yang ingin serba mudah, sakit kepala ingin minum obat, batuk pilek ingin minum obat.”

Pemahaman masyarakat tentang penggunaan obat antibiotika yang tepat menjadi kunci mengatasi resistensi obat pada bakteri sekaligus langkah penting mencegah dampak buruk bakteri kebal.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya