Terlilit Utang Gara-Gara Hidup Mewah? Jutawan Ini Beri Solusi

Meskipun memiliki pendapatan yang cukup tinggi,tetapi lantaran gaya hidup mewah dapat membuat terjebak dalam utang.

oleh Satrya Bima Pramudatama diperbarui 08 Okt 2024, 21:00 WIB
Sebelum kamu memutuskan untuk berlibur dengan cara berhutang, ketahui dulu 2 jenis utang berikut ini. (Foto: Unsplash.com/Alexander Mils)

Liputan6.com, Jakarta - Pasangan Forest dan Kathleen, yang tinggal di California dengan penghasilan tahunan lebih dari USD 286.000 atau sekitar Rp 4,47 miliar (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 15.650), kini mengalami masalah besar terjebak utang di kartu kredit sebesar USD 65.000 atau sekitar RP 1,01 milar.

Meskipun memiliki pendapatan yang cukup tinggi, tetapi lantaran gaya hidup mewah mereka, antara lain hobi ski, bersepeda, yoga, dan perjalanan, membuat mereka terjebak dalam utang. 

Dikutip dari CNBC, Selasa (8/10/2024), mereka berbicara tentang masalah ini pada seorang jutawan mandiri dan penulis buku "Money for Couples," Ramit Sethi, dalam sebuah episode podcast. Menurut Sethi, masalah utama mereka bukan hanya pengeluaran besar, tapi karena mereka tidak memiliki aturan atau prinsip yang jelas dalam mengatur keuangan.

Kathleen mengaku sering berpikir semuanya akan baik-baik saja tanpa terlalu memikirkan konsekuensinya. Namun, Sethi menegaskan hal ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan beberapa keputusan kecil, seperti menjual sepeda mahal atau berhenti makan di luar. Menurut dia, ini seperti permainan “whack-a-mole,” di mana setiap masalah yang muncul hanya ditangani sementara tanpa melihat akar masalahnya.

Sethi menyarankan pasangan itu untuk lebih mendalami prinsip-prinsip keuangan, bukan hanya taktik. Misalnya, Forest pernah menggunakan kartu transfer saldo dan penarikan 401(k) untuk melunasi utang, tapi Sethi meminta mereka berhenti menggunakan cara-cara tersebut. Dia menekankan pentingnya aturan yang jelas, tanpa trik atau tipu muslihat.

 

 


Solusi yang Dapat Dilakukan

Pasangan ini setuju untuk menjual barang-barang mahal mereka, antara lain sepeda, salah satu mobil, dan mesin dayung, agar bisa mengurangi utang mereka. Selain itu, Kathleen berencana untuk mulai bekerja penuh waktu, sehingga pendapatan mereka bisa meningkat.

Sethi menyarankan agar mereka menetapkan aturan yang jelas mengenai penggunaan pendapatan tambahan ini, seperti memprioritaskan membayar utang dan menabung untuk dana darurat.

Sethi juga merekomendasikan agar pasangan tersebut bertemu dengan terapis untuk membantu mereka mengatasi masalah emosional yang terkait dengan uang dan meningkatkan komunikasi di antara mereka.

Ia mengingatkan, akan ada saat di mana Anda mundur dan membuat kesalahan. "Tidak apa-apa. Yang lebih penting adalah menciptakan budaya uang yang sehat, sehingga ketika hal-hal seperti ini terjadi, Anda bisa mengenalinya dan memperbaikinya," ujar dia.

 


OJK: Anak Muda Kebanyakan Utang dari Paylater

Seseorang menunjukkan sejumlah tagihannya di paylater salah satu di e-commerce. (Gempur M Surya/Liputan6.com)

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat tingkat utang yang diambil oleh anak muda cukup besar. Termasuk dari penggunaan layanan buy now pay later (BNPL).

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi mengatakan persoalan paylater sudah menjadi perhatian di seluruh dunia.

"Sebenarnya paylater itu, ini saya sampaikan ini juga sudah menjadi concern dari regulator di seluruh dunia, kan kita ada forum International Network on Financial Education yang OECD," kata Friderica usai gelaran Literasi Keuangan Indonesia Terdepan (LIKE IT) 2024, OJK di Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (5/10/2024).

Dia mengatakan, forum internasional soal edukasi keuangan itu menyoroti peran paylater terhadap anak muda. Misalnya, budaya penggunaan paylater ini mendorong besarnya utang yang diambil oleh anak muda.

"Itu di situ sudah dibahas juga bahwa kayak pay later itu kemudian membuat anak-anak muda ini nama kerennya itu over-indebtedness alias kebanyakan utang," ujarnya.

Besarnya penggunaan paylater di Indonesia juga dipotret OJK. Data yang dikumpulkan mencatat pengguna paylater mayoritas merupakan generasi zoomers (Gen Z) dengan rentang usia 26-35 tahun.

Rinciannya, 26,5 persen pengguna paylater berusia 18-25 tahun. Lalu, 43,9 persen pengguna berusia 26-35 tahun, angka ini menjadikan yang paling banyak.

Berikutnya, 21,3 persen berusia 36-45 tahun. Selanjutnya, 7,3 persen pengguna berusia 46-55 tahun, serta hanya 1,1 persen pengguna paylater berusia di atas 55 tahun.

 

 

 


Harus Bijak

Seseorang menunjukkan sejumlah tagihannya di paylater salah satu di e-commerce. (Gempur M Surya/Liputan6.com)

Data yang ditampilkan OJK juga mencatat penggunaan paylater sebagian besar untuk keperluan gaya hidup. Diantaranya, fesyen dengan 66,4 persen, perlengkapan rumah tangga dengan 52,2 persen, elektronik dengan 41 persen, laptop atau ponsel dengan 34,5 persen, hingga perawatan tubuh sebesar 32,9 persen.

Harus Bijak

Dalam presentasi Friderica, ada imbauan untuk menggunakan paylater secara bijak. Setidaknya ada 4 poin yang disoroti OJK.

Pertama, pengguna paylater perlu membuat rekapitulasi utang untuk menghindari utang yang terlambat atau lupa dibayar.

Kedua, pengguna perlu mengatur keuangan dengan cara menambah penghasilan, mengurangi pengeluaran, dan menghindari penambahan utang lain.

Ketiga, ketika dalam keadaan darurat, bisa menggunakan metode menjual barang atau mrncairkan tabungan untuk melunasi utang.

Keempat, pengguna perlu menggunakan skala prioritas untuk melunasi utang.

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya