Pembatasan BBM Subsidi Bisa Tekan Daya Beli, Terutama Kelas Menengah

Melalui skema kembatasan terbaru, sebagian konsumen BBM Subsidi tak tidak berhak akan beralih ke BBM Non subsidi dengan harga yang lebih tinggi.

oleh Arief Rahman Hakim diperbarui 05 Okt 2024, 13:40 WIB
Pengendara motor mengisi bahan bakar di SPBU kawasan Jakarta, Senin (27/12/2021). Pembatasan konsumsi BBM Subsidi dinilai bisa menekan daya beli masyarakat. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pembatasan konsumsi BBM Subsidi dinilai bisa menekan daya beli masyarakat. Tak cuma itu, kelompok kelas menengah diprediksi akan semakin banyak mengandalkan tabungan imbas tambahan pengeluaran.

Ekonom dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) membeberkan perhitungannya. Dia menyadari pembatasan BBM Subsidi bisa menghemat anggaran untuk sektor tersebut.

"Jadi pembatasan pembelian BBM bersubsidi adalah sisi lain dari pengurangan anggaran subsidi untuk BBM, tanpa menaikan harga Pertalite," kata Ronny kepada Liputan6.com, Sabtu (5/10/2024).

Melalui skema tersebut, sebagian konsumen BBM Subsidi tak tidak berhak akan beralih ke BBM Non subsidi dengan harga yang lebih tinggi. Dengan tambahan pengeluaran itu, daya beli kelas menengah yang mayoritas jadi targetnya akan tertekan.

"Untuk menyikapi itu, kelompok yang akan kehilangan fasilitas BBM subsidi ini bisa saja berhenti menggunakan kendaraan dan beralih ke moda transportasi lain, sehingga pendapatannya tidak tertekan," ucapnya.

"Tapi bisa juga tetap menggunakan kendaraan, dengan keharusan untuk bermigrasi ke BBM non subsidi, lalu mengalami tekanan pada pendapatannya," sambung Ronny.

Ada risiko lain yang dihadapi ketika pendapatan dari kelas menengah yang penggunaan BBM-nya beraluh tadi tidak bertambah. Misalnya, ada pengurangan anggaran belanja untuk kebutuhan lainnya. Pada akhirnya, konsumsi rumah tangga menurun di sektor lain.

"Risikonya, dengan pendapatan yang tidak naik, maka konsumsi atas kebutuhan lain berpotensi dihentikan atau disubstitusikan dengan barang atau jasa yang lebih murah harganya. Ujungnya tentu penurunan konsumsi rumah tangga dari kelas menengah yang kehilangan subsidi BBM," jelasnya.

 


Kelas Menengah Semakin Banyak Pakai Tabungan

Sejumlah pengendara motor antre mengisi BBM jenis Pertalite di salah satu SPBU, Jakarta, Rabu (20/12/2023). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lebih lanjut, Ronny memandang akan semakin banyak kelas menengah yang turun kelas imbas daya beli yang tertekan tadi. Kondisi tersebut bisa mendorong kelompok tadi menggunakan sejumlah tabungan yang dimilikinya.

"Kondisi ini, saya kira akan semakin memperbanyak kelas menengah yang akan turun kelas dan menambah masyarakat yang masuk ke dalam kategori 'pemakan tabungan'," kata dia.

Menurunnya konsumsi kelas menengah tadi ikut berimbas pada sektor perbankan. Ini diprediksi imbas dari dana pihak ketiga yang tertekan karena penggunaan simpanan kelompok masyarakat kelas menengah.

"Ujungnya, selain konsumsi kelas menengah akan menurun, liquiditas perbankan juga akan ikut terkontraksi, karena dana pihak ketiga akan ilut tertekan akibat aksi makan tabungan dari kelas menengah ini," pungkasnya.


Jokowi Disebut Ragu Putuskan Pembatasan BBM Subsidi

Petugas SPBU mengisi bahan bakar jenis pertalite kepada pengguna sepeda motor di Pamulang, Tangerang Seatan, Banten, Senin (21/9/2020). Pertamina memberi diskon harga BBM jenis pertalite di Tangerang Selatan dan Bali, dari Rp 7.650 menjadi Rp 6.450 per liter. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Sebelumnya, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih ragu untuk menetapkan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi. Hal ini terlihat dari revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 yang belum juga rampung.

Revisi peraturan tersebut telah dibahas selama beberapa tahun dan mencakup kriteria jenis kendaraan yang diizinkan menggunakan BBM subsidi, seperti Biosolar dan Pertalite.

"Pada awalnya, alasan mengapa Perpres 191 belum segera direvisi adalah karena Jokowi bimbang dan ragu," kata Fahmy kepada Liputan6.com, Jumat (4/10/2024).

Fahmy mengatakan bahwa keputusan final seharusnya sudah bisa diambil oleh Jokowi sebagai Kepala Negara, mengingat PT Pertamina (Persero) sebagai penyalur BBM subsidi sudah melakukan sejumlah uji coba.

Namun, keraguan Jokowi dianggap menjadi salah satu faktor mengapa pembatasan BBM subsidi belum juga diterapkan.

"Jika Jokowi memutuskan 'oke jalan pembatasan', kriteria sudah ditentukan dan Pertamina sudah berhasil melakukan uji coba menggunakan MyPertamina dan QR code untuk Solar," jelas Fahmy.

"Uji coba untuk Pertalite juga sudah bisa dilakukan. Kriterianya harus masuk dalam revisi Perpres 191 jika pembatasan ingin diterapkan," tambahnya.


Dugaan Keinginan Jokowi

Petugas SPBU melayani pengendara mobil di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Battery Swapping Station SPBU Pertamina, MT. Haryono, Jakarta, Senin (7/11/2022). Sejak pemerintah resmi menaikkan harga BBM mulai dari pertalite, solar dan pertamax, kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) sebagai alternatif kendaraan kembali ramai dibicarakan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Fahmy menegaskan bahwa keputusan final ada di tangan Jokowi. Ia menduga bahwa Jokowi sebenarnya tidak ingin menerapkan pembatasan BBM subsidi.

"Sejujurnya, ini adalah keputusan yang mudah. Namun, semua tergantung pada political will Jokowi. Jika Jokowi tidak menghendaki, revisi Perpres tidak akan terjadi," pungkas Fahmy.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya