OJK Bongkar Modus Tak Etis Agen Pinjol Biar Pinjaman Bisa Cair

Jika skor kreditnya buruk, maka si anak muda di masa depan sulit untuk mengakses pembiayaan lagi ketika dibutuhkan.

oleh Arief Rahman Hakim diperbarui 05 Okt 2024, 20:00 WIB
Ilustrasi Pinjaman Online alias Pinjol. (Liputan6.com/Rita Ayuningtyas)

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengantongi modus baru dalam pencairan pinjaman online (pinjol) atau pembiayaan terhadap anak muda. Ada praktik tak etis yang dilakukan oleh agen layanan pemberi pinjaman.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi mengatakan ada layanan pembiayaan atau pinjaman yang belum bisa diakses anak muda statusnya bukan pekerja.

Namun, ada siasat yang dilakukan oknum agen pemberi pinjaman untuk mengubah status tersebut.

"Jadi ada satu kasus yang waktu itu kita tangani di Solo, kan anak-anak muda ini harusnya nggak bisa masuk kepada untuk punya fasilitas ini. Tapi kemudian sama si agennya di lapangan itu disuruh mengisi yang tadi statusnya mahasiswa suruh jadi pekerja cuman supaya kantor pusatnya approve dia bisa dapet pinjaman," jelas Friderica usai acara Literasi Keuangan Indonesia Terdepan (LIKE IT) 2024, di Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (5/10/2024).

Dia menegaskan, praktik tersebut merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha jasa keuangan (PUJK). Termasuk jika hal tersebut dilakukan oleh pihak ketiga yang terkait dalam pemasaran layanannya.

"Jadi antara agennya juga mesti kita kasih tau bahwa PUJK itu bertanggung jawab atas apapun yang dilakukan pihak ketiga yang bekerja bersama dia walaupun itu pihak independen apalagi karyawannya. Jadi kadang-kadang di lapangan seperti itu," tegasnya.

Menurutnya, praktik tersebut bisa berpotensi merusak skor kredit anak muda tadi di masa depan. Pasalnya, pengambilan pinjaman tadi akan tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK.

Jika skor kreditnya buruk, maka si anak muda tadi di masa depan sulit untuk mengakses pembiayaan lagi ketika dibutuhkan.

"Jadi kita sampaikan anak-anak muda ini kan potensial customer-nya bank, di masa yang akan datang. Jadi jangan dimatiin sekarang kalau udah mereka terjerat secara utang, tercatat di SLIK, dan lain-lain itu kan nanti masa depannya bisa terganggu," paparnya.

 


Tak Paksakan Beri Pinjaman

Kepala Eksekutif Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi di Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (5/10/2024). (Arief/Liputan6.com)

Friderica juga meminta kepada para pelaku usaha jasa keuangan untuk tak terlalu memaksakan menyalurkan pinjaman. Artinya, pemberian pinjaman itu dilakukan secara terukur.

"Jadi kita mengimbau para mereka yang memberikan ini supaya kalau memberikan itu juga yang inklusi yang bertanggung jawab. Jadi jangan sekadar memberikan, ini kepada asosiasi juga ya kita dorong yang produktif ya. Jadi inklusi yang bertanggung jawab," tuturnya.

"Artinya kalau kira-kira anak-anak muda ini nggak punya penghasilan ya jangan dipaksa untuk mereka spending gitu loh," sambung Friderica.

 


Anak Muda Banyak Utang Pay Later

Kepala Eksekutif Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi di Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (5/10/2024). (Arief/Liputan6.com)

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat tingkat utang yang diambil oleh anak muda cukup besar. Termasuk dari penggunaan layanan buy now pay later (BNPL).

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi mengatakan persoalan paylater sudah menjadi perhatian di seluruh dunia.

"Sebenarnya paylater itu Ini saya sampaikan ini juga sudah menjadi concern dari regulator di seluruh dunia, kan kita ada forum International Network on Financial Education yang OECD," kata Friderica usai gelaran Literasi Keuangan Indonesia Terdepan (LIKE IT) 2024, di Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (5/10/2024).

Dia mengatakan, forum internasional soal edukasi keuangan itu menyoroti peran paylater terhadap anak muda. Misalnya, budaya penggunaan paylater ini mendorong besarnya utang yang diambil oleh anak muda.

"Itu disitu udah dibahas juga bahwa kayak paylater itu kemudian membuat anak-anak muda ini nama kerennya itu over-indebtedness alias kebanyakan utang," ujarnya.

 


Generasi Zoomers

Besarnya penggunaan pay later di Indonesia juga dirotret OJK. Data yang dikumpulkan mencatat pengguna paylater mayoritas merupakan generasi zoomers (Gen Z) dengan rentang usia 26-35 tahun.

Rinciannya, 26,5 persen pengguna paylater berusia 18-25 tahun. Lalu, 43,9 persen pengguna berusia 26-35 tahun, angka ini menjadikan yang paling banyak.

Berikutnya, 21,3 persen berusia 36-45 tahun. Selanjutnya, 7,3 persen pengguna berusia 46-55 tahun, serta hanya 1,1 persen pengguna paylater berusia di atas 55 tahun.

Data yang ditampilkan OJK juga mencatat penggunaan pay later sebagian besar untuk keperluan gaya hidup. Diantaranya, fesyen dengan 66,4 persen, perlengkapan rumah tangga dengan 52,2 persen, elektronik dengan 41 persen, laptop atau ponsel dengan 34,5 persen, hingga perawatan tubuh sebesar 32,9 persen.

Infografis Journal Pahami Sejumlah Risiko Penggunaan Paylater. (LIputan6.com/Tri Yasni).

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya