Memahami Dampak Kekerasan Fisik dan Verbal pada Perkembangan Otak Anak

Baik kekerasan verbal maupun fisik terhadap anak memiliki dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan kesejahteraan mereka.

oleh Miranti diperbarui 11 Okt 2024, 16:19 WIB
Kekerasan emosional juga dilakukan oleh orangtua pada anaknya. (Foto: Pexels.com/Alex Green)

Liputan6.com, Jakarta Anak-anak yang menjadi korban kekerasan tidak hanya menderita luka fisik, tetapi juga mengalami luka emosional, perilaku menyimpang, dan penurunan fungsi otak. Jangan sepelekan dampak kekerasan pada anak-anak. Mereka bisa mengalami gangguan fisik dan mental, penyalahgunaan narkoba, serta penurunan kualitas hidup yang dapat bertahan hingga dewasa, bahkan seumur hidup.

Kekerasan terhadap anak bisa berupa fisik, seksual, psikis, verbal, eksploitasi, perdagangan anak, hingga pengabaian kesejahteraan mereka. Situasi ini dapat terjadi di rumah, sekolah, dan masyarakat. Kekerasan emosional yang sering dialami anak dapat mempengaruhi perkembangan otak mereka, karena lingkungan merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan otak anak. Ketakutan dan rasa sakit akibat kekerasan dapat menghambat perkembangan dan fungsi otak, serta menghalangi pertumbuhan dan kemampuan untuk berinisiatif.

Baik kekerasan verbal maupun fisik terhadap anak memiliki dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan kesejahteraan mereka. Berikut adalah beberapa dampak kekerasan verbal dan fisik pada perkembangan otak anak, sebagaimana yang dikutip Liputan6.com dari laman Australian Institute of Family Studies pada Jumat (11/10/2024):


1. Trauma pada otak

Cedera pada otak. (Gambar: Freepik/makistock)

Penelitian yang mengeksplorasi keterkaitan antara trauma dan perkembangan kognitif umumnya dilakukan dalam bentuk studi neuroimaging atau neuropsikologi. Studi neuroimaging berfokus pada pertumbuhan struktur otak yang vital serta efisiensi otak dalam merespons rangsangan emosional, seperti saat melihat wajah yang menunjukkan kemarahan.

Sementara itu, studi neuropsikologi memanfaatkan kinerja dalam tugas-tugas yang telah teruji untuk menyimpulkan fungsi otak, misalnya dengan menilai memori dan rentang perhatian selama tugas tertentu, kemudian menarik kesimpulan mengenai fungsi dan perilaku berdasarkan hasil tersebut (untuk ulasan lebih lanjut mengenai studi neuroimaging dan neuropsikologis).

Secara keseluruhan, penelitian ini mengindikasikan bahwa perkembangan otak anak-anak yang dibesarkan dalam pengasuhan kemungkinan besar dipengaruhi oleh pengalaman awal mereka. Namun, dampak neuropsikologis dari kesulitan dapat sangat bervariasi, dan tidak semua anak yang mengalami kesulitan akan terus menghadapi tantangan terkait pembelajaran, ingatan, dan perhatian. Pengaruh kesulitan terhadap perkembangan otak mungkin bergantung pada apakah anak-anak mengalami perampasan atau ancaman selama masa sebelum pengasuhan mereka, yang dapat menyebabkan keterlambatan dalam perkembangan kognitif atau disintegrasi keterampilan kognitif.


2. Disregulasi hormon stres

Gangguan pada hormon stres. (Foto: Freepik/kjpargeter)

Trauma dan kesulitan sering kali digambarkan sebagai penyebab hipereksitasi pada sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (sumbu HPA), yang dapat memengaruhi perkembangan otak. Namun, ini mungkin merupakan penyederhanaan berlebihan dari hubungan antara trauma dan sistem hormon stres. Meskipun ada kesepakatan bahwa stres di awal kehidupan dapat menyebabkan disregulasi dalam sistem respons stres tubuh pada sumbu HPA, sifat pasti dari disregulasi ini masih menjadi bahan perdebatan.

Penelitian menunjukkan bahwa sistem respons stres bisa menjadi terlalu aktif atau kurang responsif dari waktu ke waktu sebagai respons terhadap berbagai faktor yang kompleks (termasuk durasi dan waktu terjadinya pelecehan), yang saat ini masih belum sepenuhnya dipahami. Oleh karena itu, meskipun temuan ini mendukung ide bahwa trauma masa kecil berhubungan dengan gangguan pada respons sumbu HPA, temuan ini tidak sepenuhnya mendukung gagasan tentang hiperaktivasi kronis seperti yang umumnya diasumsikan.

Disregulasi dalam sistem respons stres memang terkait dengan perubahan dalam perkembangan struktur otak utama (seperti hipokampus), tetapi hubungan ini tidak sesederhana seperti yang sering dilaporkan. Saat ini, bukti yang mendukung hubungan ini terutama berasal dari penelitian pada orang dewasa yang melaporkan secara retrospektif tentang riwayat pelecehan, bukan dari penelitian pada anak-anak, yang berarti bahwa faktor lain tidak dapat dikesampingkan. Hubungan yang tepat antara waktu dan sifat kesulitan, disregulasi sumbu HPA, dan gangguan perkembangan otak masih belum jelas, dan hanya bisa dipahami melalui penelitian longitudinal yang sedang berlangsung.


3. Perubahan struktur dan fungsi otak

Struktur dan fungsi otak mengalami perubahan. (Sumber: Freepik)

Sebagian besar penelitian pencitraan otak yang mengkaji hubungan antara trauma dengan perubahan dalam perkembangan, regulasi, dan kemampuan otak anak seiring waktu umumnya didasarkan pada studi terhadap orang dewasa yang melaporkan pengalaman kekerasan saat kecil, bukan pada penelitian yang mengikuti perkembangan anak secara berkelanjutan. Sebaliknya, penelitian neuropsikologis biasanya memberikan bukti yang lebih kuat mengenai hubungan antara trauma dengan fungsi otak.

Studi neuropsikologis lebih bermanfaat dibandingkan studi neuroimaging dalam menilai fungsi sehari-hari anak karena studi ini memberikan wawasan yang lebih langsung tentang kesulitan yang dialami anak-anak. Secara keseluruhan, penelitian neuropsikologis cenderung menunjukkan bahwa anak-anak yang telah mengalami atau menyaksikan kekerasan, trauma, pelecehan, atau penelantaran memang menghadapi kesulitan kognitif dalam satu atau lebih bidang jika dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami hal tersebut.


4. Keterlambatan kognitif dan bahasa secara umum

Penundaan dalam perkembangan kognitif dan bahasa. (Foto: Freepik/8photo)

Secara umum, anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian yang memadai mungkin lebih rentan terhadap keterlambatan dalam perkembangan kognitif dan bahasa. Anak-anak yang mengalami penelantaran dan mereka yang tumbuh dalam kondisi kemiskinan mungkin memiliki risiko lebih tinggi mengalami keterlambatan kognitif dibandingkan dengan anak-anak yang mengalami kekerasan.

Di kalangan anak-anak yang mengalami kekerasan, tingkat kekerasan yang lebih tinggi dikaitkan dengan skor IQ yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol yang setara. Penelitian-penelitian ini seringkali tidak memperhitungkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil IQ, seperti tingkat pendidikan dan adanya gangguan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau depresi, yang berarti hasil ini tidak dapat diterapkan secara umum untuk semua anak dalam pengasuhan.

Eksposur terhadap kekerasan dalam rumah tangga juga ditemukan memiliki hubungan dengan IQ dan menunjukkan pola yang bergantung pada tingkat paparan, di mana semakin parah trauma yang dialami, semakin besar dampaknya. Anak-anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga memiliki skor IQ delapan poin lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami kekerasan, setelah memperhitungkan pengaruh genetika dan bentuk penganiayaan lainnya. Ini menunjukkan bahwa riwayat paparan kekerasan dan PTSD dapat memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan kognitif.


5. Kesulitan dengan daya ingat

Kesulitan dengan daya ingat. (Sumber: Freepik/krakenimages.com)

Terdapat bukti yang masuk akal bahwa trauma dan kesulitan dapat mempengaruhi ingatan. Struktur otak yang terlibat dalam konsolidasi memori ditemukan berbeda pada orang dewasa yang memiliki riwayat kekerasan, meskipun perbedaan ini tidak terlihat pada anak-anak. Sebagai contoh, orang dewasa dengan riwayat kekerasan cenderung memiliki volume hipokampus yang lebih kecil, yaitu area otak yang berperan dalam konsolidasi memori. Anak-anak dengan PTSD akibat kekerasan mungkin juga menunjukkan aktivasi yang kurang optimal pada area otak ini saat melakukan tugas mengingat, berbeda dengan anak-anak yang tidak mengalami kekerasan.

Penelitian neuropsikologis terhadap anak-anak mendukung pandangan bahwa ingatan dapat dipengaruhi oleh paparan trauma dan kesulitan lainnya. Studi yang melibatkan anak-anak dengan diagnosis PTSD dalam konteks kekerasan menunjukkan bahwa mereka mungkin menghadapi masalah ingatan, meskipun hasil ini bergantung pada metode pengukuran ingatan yang digunakan.

Walaupun beberapa penelitian tidak menemukan perbedaan dalam kinerja memori antara anak-anak dengan PTSD terkait kekerasan dan mereka yang tidak, studi lain yang menggunakan tes memori "sehari-hari" yang lebih realistis menunjukkan bahwa anak-anak dengan PTSD akibat trauma memiliki ingatan yang lebih lemah dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami PTSD. Secara keseluruhan, terdapat alasan kuat untuk percaya bahwa anak-anak yang mengalami PTSD terkait kekerasan akan menghadapi kesulitan dalam berbagai tugas memori.


6. Ketidakseimbangan dalam memproses informasi sosial atau emosional

Prasangka dalam pengolahan informasi sosial atau emosional. (Foto: Freepik/benzoix)

Ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa pemrosesan informasi sosial dan emosional berbeda pada anak-anak yang pernah mengalami pelecehan. Amigdala, bagian otak yang terkait dengan pemrosesan informasi emosional secara otomatis (pra-sadar), diketahui menjadi sangat responsif terhadap rangsangan emosional seperti wajah marah. Anak-anak yang mengalami trauma dapat mengenali wajah marah lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami trauma, menunjukkan bahwa mereka lebih waspada dalam mendeteksi ancaman.

Anak-anak yang hidup di lingkungan traumatis juga menunjukkan penurunan ketebalan di area otak yang mengelola pemrosesan informasi sosial secara emosional, yang mengindikasikan bahwa perkembangan di area ini kurang optimal dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami kekerasan.


7. Tantangan dalam mengelola fungsi eksekutif

Mengalami tantangan dalam mengelola fungsi eksekutif. (Foto: Freepik/kjpargeter)

Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kesulitan dalam menjalankan fungsi eksekutif dapat muncul sebagai akibat dari masalah yang terjadi pada tahap awal kehidupan. Fungsi eksekutif terdiri dari serangkaian keterampilan kognitif terkoordinasi yang mencakup dua domain utama: keterampilan metakognitif (seperti pemecahan masalah, perencanaan, pengorganisasian, dan fleksibilitas kognitif) serta keterampilan pengaturan perilaku (seperti pengendalian impuls dan pengaturan emosi).

1) Keterampilan metakognitif

Penelitian dalam bidang neuropsikologi menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami penelantaran dan kekerasan fisik dapat menghadapi kesulitan dalam perhatian pendengaran serta fleksibilitas kognitif, yang mencakup kemampuan pemecahan masalah dan perencanaan.

Anak-anak dengan PTSD akibat kekerasan menunjukkan perhatian dan fungsi eksekutif yang lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami penganiayaan. Misalnya, mereka cenderung membuat lebih banyak kesalahan dalam tugas yang memerlukan perhatian berkelanjutan, lebih mudah teralihkan, dan lebih impulsif dibandingkan teman sebayanya. Sebuah studi menemukan bahwa pengalaman PTSD dalam konteks trauma keluarga dapat berdampak lebih besar pada fungsi eksekutif dibandingkan dengan trauma yang terjadi di luar lingkungan keluarga.

2) Pengaturan perilaku

Dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami pengabaian, anak-anak yang terabaikan secara emosional mungkin menunjukkan aktivitas otak yang kurang efisien selama tugas yang memerlukan kontrol penghambatan. Ini mengindikasikan bahwa pengabaian terkait dengan kemampuan yang kurang baik dalam mengatur diri sendiri dan menghambat respons.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya