Sri Mulyani: Deflasi Bukan Sinyal Negatif Bagi Ekonomi Indonesia

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menilai deflasi yang berlangsung selama lima bulan berturut-turut bukanlah sinyal negatif bagi perekonomian.

oleh Tira Santia diperbarui 07 Okt 2024, 18:00 WIB
Menkeu Sri Mulyani Dampingi Presiden Jokowi Serahkan Daftar DIPA & TKD APBN 2024 Secara Digital/Istimewa.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menilai deflasi yang berlangsung selama lima bulan berturut-turut bukanlah sinyal negatif bagi perekonomian. 

"Kalau di deflasi ini, 5 bulan terutama dikontribusikan oleh penurunan harga pangan, itu menurut saya merupakan suatu perkembangan yang positif," kata Sri Mulyani saat ditemui di Kantornya, Senin (7/10/2024).

Menkeu menjelaskan, bahwa faktor pendorong deflasi adalah penurunan terhadap komponen harga bergejolak (volatile price). Justru deflasi ini merupakan bukti keberhasilan Pemerintah mengendalikan harga pangan yang sebelumnya sempat bergejolak.

"Di satu sisi penurunan yang berasal dari volatile food, itu adalah memang hal yang kita harapkan bisa menciptakan level harga makanan di level yang stabil rendah, itu baik untuk konsumen di Indonesia yang terutama menengah bahwa mayoritas belanjanya adalah untuk makanan," ujarnya.

Sebagai informasi, deflasi adalah kebalikan dari inflasi, di mana terjadi penurunan harga barang dan jasa secara umum dalam suatu perekonomian. Ini berarti daya beli uang meningkat, karena dengan jumlah uang yang sama, konsumen dapat membeli lebih banyak barang dan jasa.

Walaupun sekilas terlihat menguntungkan bagi konsumen, deflasi sebenarnya dapat menimbulkan berbagai masalah ekonomi yang serius.

Deflasi sering diukur dengan indeks harga konsumen (IHK) atau indeks harga produsen (IHP). Ketika indeks ini menunjukkan penurunan yang konsisten, maka dapat dikatakan bahwa ekonomi sedang mengalami deflasi. 


Indonesia Bisa Deflasi 7 Bulan Beruntun, Pilkada Bukan Jawaban

Kondisi tersebut dipicu deflasi 0,12% secara bulanan (month to month/MtM). (merdeka.com/Arie Basuki)

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, memperkirakan tren deflasi akan terus berlanjut hingga November 2024. Berarti, Indonesia diramal belum bakal mengalami inflasi secara bulanan (month to month) selama 7 bulan beruntun. 

Menurut dia, tren deflasi baru akan teratasi ketika harga komoditas pangan semisal beras mulai kembali terangkat. Sementara saat ini suplai dan produksi ada, namun banyak masyarakat tidak mampu beli. 

"Deflasi bisa terjadi sampai 7 bulan. Ketika beras katakan lah produksi mulai turun, biasanya itu mulai terjadi di Desember-Januari, akan ada perlambatan," ujar Tauhid kepada Liputan6.com, Senin (7/10/2024).

Di sisi lain, Tauhid sanksi jika gelaran Pilkada serentak pada November 2024 mendatang bakal memutus kelanjutan deflasi. Pasalnya, ia menilai Pilkada tidak mendorong daya beli masyarakat secara menyeluruh. 

"Saya kira kalau Pilkada enggak. Karena kalau kita lihat tidak banyak pertumbuhan (ekonomi) di masyarakat, hanya spanduk-spanduk aja. Konsumsinya ternyata lebih kecil dari perkiraan," ungkap dia.

Tauhid percaya momen Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024 nanti bisa mendongkrak tingkat konsumsi masyarakat. Hanya saja, pertumbuhannya diramal tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.

"Jadi hanya momentum Nataru saja, liburan, itu pasti ada. Tapi kalau kondisi begini, kenaikannya juga dikit. Karena masyarakat lagi enggak punya uang untuk Natal atau Tahun Baru. Sedikit yang bisa melakukan itu," kata Tauhid.

 


Konsumsi Rumah Tangga

Penurunan daya beli dipengaruhi sejumlah faktor yaitu deflasi tiga bulan berturut-turut, menurunnya kinerja industri manufaktur. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

"Situasinya berbeda dengan tahun lalu, masih agak lumayan. Kalau sekarang agak buruk. Tahun lalu kan deflasinya hanya satu bulan di Agustus, setelah itu inflasi lagi. Pasti Natal dan Tahun Baru ada pengaruh positif, tetapi tidak akan sebesar tahun lalu," urainya. 

Lebih lanjut, Tauhid menyebut pertumbuhan konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) yang belum mencapai 5 persen jadi persoalan. Ia lantas membeberkan data yang jadi penyebab utama penurunan daya beli masyarakat, sehingga menyebabkan deflasi 5 bulan beruntun.

"Misalnya pada melemahnya kredit, kredit berkurang. Kemudian pembelian kendaraan roda dua (Agustus 2024), itu juga kan turun 4,1 persen. Kemudian simpanan, terutama yang dibawah Rp 100 juta di rekening-rekening itu malah jauh turun. Rekeningnya banyak tapi simpanan per rekeningnya jauh lebih rendah. Sudah mulai makan tabungan lah. Itu kan statemennya OJK," urainya.

"Saya kira fenomena itu yang menjelaskan kenapa deflasi 5 bulan berturut-turut ini berat. Saya kira di situ indikasi-indikasi, ada persoalan daya beli, meskipun di satu sisi suplai lagi baik, tapi bukan itu faktor utamanya," pungkas Tauhid. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya