Mau Bulan Depan Tak Deflasi Lagi? Coba Cara Ini

Pada bulan September, Bank Indonesia (BI) sudah melakukan penyesuaian tingkat suku bunga acuan menjadi 6 persen. Harapan dunia usaha, pada kuartal keempat ini, BI kembali melakukan penyesuaian, misalnya diturunkan 25 basis poin.

oleh Arief Rahman HTim Bisnis diperbarui 07 Okt 2024, 18:30 WIB
Pedagang menunggu dagangannya di Tebet, Jakarta, Senin (3/10). Badan Pusat Statistik merilis dari kelompok pengeluaran, bahan makanan mengalami deflasi sebesar 0,07% (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Selama lima bulan berturut-turut, Indonesia mengalami deflasi. Fenomena deflasi ini perlu dianalisis dari dua sudut pandang ekonomi, yaitu sisi permintaan dan sisi penawaran, agar kita dapat mencapai kesimpulan yang lebih komprehensif.

Dari sisi permintaan, indikator-indikator ekonomi menunjukkan bahwa daya beli masyarakat sedang menurun. Pada Agustus 2024, LPEM UI melaporkan lebih dari 8,5 juta penduduk Indonesia telah turun kelas sejak 2018. Selain itu, Ditjen Pajak juga mengungkapkan penerimaan pajak dari kelas menengah terus mengalami penurunan, mencapai hanya sekitar 1% dari total penerimaan pajak secara agregat.

Analis Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani daya beli masyarakat yang menjadi faktor konsumsi ini menjadi penopang signifikan pertumbuhan ekonomi, sehingga pemerintah harus cepat memberikan insentif tepat sasaran agar daya beli kembali terjaga. 

Ajib menyebut ada tiga hal utama yang perlu menjadi prioritas kebijakan agar deflasi cepat menurun. Pertama adalah kebijakan fiskal. Kuartal keempat ini menjadi landasan perekonomian kita akan memasuki tahun 2025, dimana pemerintah mempunyai ruang fiskal yang begitu sempit untuk bisa menggunakan kebijakan fiskal sebagai pengatur perekonomian, karena pemerintah membutuhkan dana yang besar untuk kebutuhan APBN. 

"Kondisi ini yang kemudian menimbulkan kebijakan kontraproduktif terhadap perekonomian dan daya beli. Contohnya adalah narasi dan kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada tanggal 1 Januari 2025," kata Ajib, Senin (7/10/2024).

Ajib menilai kondisi ini tentunya perlu dipertimbangkan ulang oleh pemerintah, karena masih banyak opsi lain dalam menambal keuangan negara tanpa membebani masyarakat luas.

Kedua adalah kebijakan moneter. Pada bulan September, Bank Indonesia (BI) sudah melakukan penyesuaian tingkat suku bunga acuan menjadi 6 persen. Harapan dunia usaha, pada kuartal keempat ini, BI kembali melakukan penyesuaian, misalnya diturunkan 25 basis poin.

"Dengan tingkat suku bunga acuan dibawah 6 persen, potensi likuiditas akan lebih banyak mengalir di sistem perekonomian indonesia, dan daya beli masyarakat akan mengalami kenaikan ketika kemudian perbankan juga mengikuti dengan menurunkan suku bunga kreditnya," terang dia. 


Lapangan Kerja

Pembeli membeli sayuran di pasar, Jakarta, Jumat (6/10). Dari data BPS inflasi pada September 2017 sebesar 0,13 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan signifikan karena sebelumnya di Agustus 2017 deflasi 0,07 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ketiga, Ajib melanjutkan adalah kebijakan investasi yang lebih berkualitas dan mampu menyerap tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan konsep ekonomi yang masuk dalam Program Asta Cita pemerintahan Prabowo, yaitu penyediaan lapangan pekerjaan. 

Ia menerangkan penyediaan lapangan kerja yang masif ini menjadi prasayarat agar pertumbuhan ekonomi bisa eskalatif di masa selanjutnya. Pengangguran yang menyentuh angka 7 juta orang perlu diserap dengan kebijakan investasi yang padat karya.

Di sisi lain, ia bilang kuartal keempat mempunyai momentum positif untuk kembali mendongkrak daya beli secara umum. Event besar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dijalankan secara serentak untuk 38 provinsi, 416 Kabupaten dan 98 Kota di Indonesia menjadi agregator belanja yang cukup signifikan.

"Alokasi dari APBN 2024 tidak kurang dari 30 triliun untuk pemilu. Alokasi dari pasangan calon dan peserta pilkada tentunya lebih besar lagi," terangnya. 


Perputaran Uang

Artinya, perputaran uang ini akan langsung mengalir di masyarakat, dalam bentuk barang maupun uang. Kontribusi pilkada serentak ini diharapkan memberikan kontribusi yang cukup signifikan, seperti halnya momentum lebaran terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2024.

"Kuartal keempat menjadi momentum pertumbuhan ekonomi lebih agresif dengan momentum pilkada serentak ini," tutup dia. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya