Babak Baru Perang Dagang, China Luncurkan Tindakan Antidumping Impor Wine Eropa

Pada Agustus 2024 Beijing mengatakan bahwa negara itu tidak akan mengenakan tarif sementara pada pembuat wine Eropa meskipun telah menemukan bukti dumping, tetapi tidak mengesampingkan tindakan selanjutnya.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 08 Okt 2024, 15:30 WIB
Sumber : Freepik

Liputan6.com, Jakarta - China mengumumkan akan mengambil tindakan antidumping sementara pada produk minuman anggur beralkohol (wine) yang diimpor dari negara-negara Eropa. Langkah ini menandai babak terbaru dalam perang dagang dua negara-kawasan strategis, China dan Uni Eropa.

Sebagai informasi, Tindakan Antidumping merupakan tindakan yang diambil pemerintah suatu negara berupa pengenaan Bea Masuk Antidumping terhadap Barang Dumping.

Mengutip Channel News Asia, Selasa (8/10/2024) otoritas China mengatakan bahwa operator minuman anggur beralkohol dari Eropa akan diminta membayar "jaminan yang sesuai" kepada bea cukai China saat mengimpor wine ke negara tersebut.

Dilaporkan, jumlah bea yang dikenakan akan didasarkan pada perhitungan yang melibatkan harga yang disetujui oleh bea cukai, serta pajak impor.

Sebelumnya, pada Agustus 2024 Beijing mengatakan bahwa negara itu tidak akan mengenakan tarif sementara pada pembuat wine Eropa meskipun telah menemukan bukti dumping, tetapi tidak mengesampingkan tindakan selanjutnya.

"Penyelidikan tersebut telah menentukan secara awal bahwa impor wine tertentu yang berasal dari UE sedang di-dumping, yang mengancam kerusakan besar pada industri brendi dalam negeri," demikian keterangan otoritas China.

Ditambahkan pula bahwa penyelidikan tersebut juga menetapkan "hubungan kausal antara dumping dan ancaman kerusakan substansial".

China juga merilis daftar yang merinci tarif yang diharapkan dibayar oleh masing-masing perusahaan wine Eropa, mulai dari 30,6 persen untuk perusahaan pembuat cognac Martell, 39 persen untuk Jas Hennessy dan 38,1 persen untuk Remy Martin.


AS Kembali Larang Impor dari Perusahaan China terkait Kerja Paksa

Bendera AS dan China berkibar berdampingan (AP/Andy Wong)

Sebelumnya, Kementerian Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (AS) mengumumkan pada hari Rabu (2/10/2024) bahwa mereka akan melarang impor barang dari produsen baja China dan pembuat pemanis buatan China, menuduh keduanya terlibat dalam penggunaan kerja paksa dari wilayah Xinjiang di ujung barat China.

Penambahan daftar entitas berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur menandai pertama kalinya perusahaan baja yang berbasis di China atau bisnis pemanis aspartam menjadi sasaran penegak hukum AS.

 "Tindakan hari ini menegaskan kembali komitmen kami untuk menghapus kerja paksa dari rantai pasokan AS dan menegakkan nilai-nilai hak asasi manusia untuk semua," kata Wakil Menteri Keamanan Dalam Negeri untuk Kebijakan Robert Silvers seperti dilansir kantor berita AP, Kamis (3/10).

"Kami akan terus mengidentifikasi entitas di seluruh industri dan meminta pertanggungjawaban mereka yang berusaha mendapatkan keuntungan dari eksploitasidan pelanggaran."

Undang-undang federal yang ditandatangani Presiden Joe Biden pada akhir tahun 2021 itu menyusul tuduhan pelanggaran hak asasi manusia oleh Beijing terhadap anggota kelompok etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di Xinjiang. Pemerintah China telah membantah klaim tersebut sebagai kebohongan dan membela praktik serta kebijakannya di Xinjiang sebagai upaya memerangi teror dan memastikan stabilitas.

Pendekatan baru tersebut menandai pergeseran hubungan dagang AS dengan China untuk semakin mempertimbangkan keamanan nasional dan hak asasi manusia. China menuduh AS menggunakan hak asasi manusia sebagai dalih untuk menekan pertumbuhan ekonominya.

 


Produk

Penegakan hukum tersebut awalnya menargetkan produk solar, tomat, kapas, dan pakaian jadi, namun selama beberapa bulan terakhir, pemerintah AS telah mengidentifikasi sektor-sektor baru , termasuk aluminium dan makanan laut.

"Itu hanya cerminan dari fakta bahwa sayangnya, kerja paksa terus mencemari terlalu banyak rantai pasokan," kata Silvers pada bulan Juni ketika menandai peringatan dua tahun pembuatan daftar entitas tersebut. "Jadi, jaringan penegakan hukum kami sebenarnya cukup luas dari perspektif sektor industri."

Dia menambahkan undang-undang tersebut mengubah dinamika dalam hal memberikan tanggung jawab kepada importir untuk mengetahui rantai pasokan mereka sendiri dan bahwa penegakannya telah menunjukkan AS dapat melakukan hal yang benar tanpa menghentikan perdagangan normal.

"Sejak Juni 2022, daftar entitas telah berkembang menjadi total 75 perusahaan yang dituduh menggunakan kerja paksa di Xinjiang atau mendapatkan bahan yang terkait dengan kerja paksa tersebut," kata Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS.

Baowu Group Xinjiang Bayi Iron and Steel Co. Ltd dan Changzhou Guanghui Food Ingredients Co. Ltd. adalah perusahaan China yang baru ditambahkan ke dalam daftar tersebut.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya