Liputan6.com, Jakarta - Goldman Sachs telah menurunkan probabilitas resesi pada ekonomi Amerika Serikat (AS) dalam 12 bulan ke depan sebesar lima poin persentase menjadi 15%,.
Penurunan proyeksi ini menyusul laporan ketenagakerjaan terbaru AS yang menunjukkan hasil yang lebih baik dari perkiraan. Data resmi Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan, lapangan kerja AS meningkat paling tinggi dalam enam bulan pada September 2024 dan tingkat pengangguran turun menjadi 4,1%.
Advertisement
"Laporan ketenagakerjaan bulan September mengatur ulang narasi pasar tenaga kerja dan meredakan kekhawatiran tentang permintaan tenaga kerja yang melemah terlalu cepat untuk mencegah tingkat pengangguran meningkat," kata kepala ekonom AS Goldman Sachs, Jan Hatzius dalam sebuah catatan, dikutip dari US News, Selasa (8/10/2024).
Meskipun jumlah lapangan pekerjaan bersifat fluktuatif, angka tersebut kemungkinan dapat diterima karena tidak ada indikasi yang jelas untuk revisi negatif yang terus-menerus, jelas Goldman Sachs.
"Secara lebih luas, kami tidak melihat alasan yang jelas mengapa pertumbuhan pekerjaan menjadi biasa-biasa saja pada saat lowongan pekerjaan tinggi dan PDB (produk domestik bruto) tumbuh dengan kuat," jelas Hatzius.
Namun, Oktober kemungkinan akan menjadi bulan yang sangat rumit, dengan badai dan pemogokan besar yang mengancam akan menekan jumlah gaji.
Selain itu, Goldman Sachs juga mempertahankan perkiraannya pada pemotongan suku bunga Federal Reserve 25 basis poin ke kisaran 3,25-3,5% pada Juni 2025.
"Kami sekarang melihat risiko yang jauh lebih kecil dari pemotongan suku bunga 50 bps lagi," beber Hatzius.
Seperti diketahui, Federal Reserve telah memangkas suku bunga kebijakannya sebesar 50 bps pada September 2024 ke kisaran 4,75%-5,00%, penurunan suku bunga pertamanya sejak tahun 2020.
Pasar keuangan meningkatkan peluang penurunan seperempat poin persentase pada bulan November menjadi 95,2% dari 71,5% sebelum laporan tersebut, menurut alat FedWatch milik CME Group.
Kekhawatiran CEO Berkurang terhadap Resesi di Amerika Serikat
Sebelumnya, pemimpin bisnis di Amerika Serikat (AS) lebih optimistis terhadap arah perekomian. Bahkan saat kekhawatiran pemimpin bisnis di AS meningkat terhadap pemilihan presiden (Pilpres).
Dikutip dari CNN, Jumat (9/2/2024), pertama kali dalam dua tahun, optimisme melebihi pesimisme di kalangan CEO. Hal itu berdasarkan ukuran kepercayaan CEO pada kuartal I yang dirilis oleh the Conference Board pada Kamis, 8 Februari 2024.
Survei itu menemukan 36 persen CEO prediksi kondisi ekonomi akan membaik dalam jangka pendek. Naik secara signifikan dari 19 persen pada kuartal lalu. Temuan-temuan itu mencerminkan semakin besarnya kepercayaan terhadap soft landing, sesuatu yang tampaknya sangat tidak mungkin terjadi setahun lalu.
Tanda lain ketakutan akan resesi mulai surut. Hanya 27 persen CEO yang memperkirakan kondisi ekonomi akan memburuk dalam enam bulan ke depan. Angka tersebut turun dari 47 persen pada survei kuartal IV. Namun, pemimpin bisnis semakin khawatir mengenai dampak situasi politik terhadap bisnis mereka.
Advertisement
Ketidakpastian Politik
Berdasarkan the Conference Board, sebagian besar CEO yang mencapai 51 persen mengatakan ketidakpastian politik menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024 akan menjadi tantangan terbesar AS yang mempengaruhi bisnis pada 2024.
Ini adalah risiko utama yang disebutkan oleh CEO. Tantangan terdekat berikutnya adalah peningkatan regulasi yang mencapai 15 persen dan suku bunga yang tinggi sebesar 12 persen.
Sejumlah ekonom telah memperingatkan pemilu akan menimbulkan ketidakpastian yang merugikan pasar dan perekonomian serta meningkatkan kekhawatiran akan kerusuhan sosial.
“Para CEO merasa lebih baik mengenai ekonomi, tetapi tetap berhati-hati terhadap risiko pada masa depan,” ujar Vice Chairman the Business Council and trustee of The Conference Board, Roger Ferguson.
Para pemimpin dunia usaha meningkatkan penilaian mereka terhadap kinerja ekonomi saat ini. Sekitar 32 persen CEO melaporkan kondisi ekonomi lebih baik dibandingkan enam bulan lalu, naik dari hanya 18 persen pada akhir tahun lalu. Hanya 22 persen yang mengatakan kondisinya lebih buruk, turun dari sebelumnya 32 persen.
Alasan Ekonomi AS Lebih Baik Ketimbang Negara Maju Lain
Sebelumnya diberitakan, ekonomi Amerika Serikat (AS) kembali sangat bertentangan dengan perkiraan lainnya. Ekonomi AS tumbuh 3,3 persen pada kuartal akhir 2023 lebih tinggi dari prediksi 1,5 persen.
Dikutip dari CNN, ditulis Sabtu (27/1/2024), ekonom yakin kuartal terakhir 2023 adalah kuartal di mana pertumbuhan ekonomi melambat signifikan setelah tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 4,9 persen yang terjadi pada kuartal sebelumnya.
Produk Domestik Bruto (PDB) yang merupakan ukuran output perekonomian yang paling luas melambat pada kuartal terakhir menjadi 3,3 persen secara tahunan. Hal tersebut dinilai luar biasa lantaran ekonom prediksi pertumbuhan PDB tahunan sebesar 1,5 persen pada kuartal terakhir.
Hal ini bahkan lebih luar biasa mengingat tahun lalu mereka semua yakin saat ini akan terjadi resesi dan ekonomi akan hanya tumbuh 0,2 persen.
Pertumbuhan tersebut ternyata didorong dari belanja konsumen yang merupakan penyumbang terbesar PDB Amerika Serikat, terus dilakukan tanpa henti, bahkan ketika hadapi tingkat suku bunga tertinggi dalam 23 tahun.
Advertisement
Ekonomi AS
Namun, yang mungkin paling luar biasa dari tingkat pertumbuhan ekonomi AS adalah seberapa besar pertumbuhan itu dibandingkan negara maju yang memiliki ukuran serupa.
Contohnya:
-PDB gabungan dari 20 negara pengguna euro tumbuh pada tingkat tahunan hanya 0,1 persen pada kuartal ketiga tahun lalu.
-PDB Inggris tumbuh pada tingkat tahunan 0,2 persen, berdasarkan perkiraan PDB terbaru pada November.
-Ekonomi Jepang susut 2,1 persen pada kuartal III dibandingkan tahun sebelumnya.
Dikutip dari CNN, selain semua makanan cepat saji yang dikonsumsi, Amerika Serikat juga merupakan contoh khusus dalam hal lain.
Hanya ada satu negara industri, Singapura yang menghabiskan lebih banyak uang sebagai persentase dari PDB untuk stimulus COVID-19 dibandingkan Amerika Serikat pada 2020-2021, menurut penelitian yang mengamati respons kebijakan ekonomi 166 negara terhadap pandemi COVID-19.
Di Amerika Serikat, terdapat hampir USD 5 triliun yang disalurkan langsung ke rumah tangga dalam bentuk cek stimulus, peningkatan tunjangan pengangguran, kredit pajak dan banyak lagi.
Belanja Konsumen
Seiring pandemi COVID-19, masyarakat jadi memiliki lebih banyak uang di bank ketimbang membelanjakan uang saat lockdown selama pandemi COVID-19.
Saat ekonomi kembali buka, masyarakat berbelanja seolah-olah tidak ada hari esok. Kepada CNN, peneliti senior Peterson Institute for International Economics menuturkan, hal itu sudah mulai mendatar tetapi hampir tidak berhenti karena sebagian besar dana stimulus masih mengalir melalui perekonomian.
"Selain itu, masyarakat tidak dikenai pajak sebanyak tahun-tahun sebelumnya, sebagaimana dibuktikan dengan menurunnya pengumpulan pendapatan pajak negara. Hal ini menyebabkan pemerintah federal meminjam lebih banyak uang untuk membayar tagihannya,” tutur dia.
"Orang-orang bertindak seolah-olah mereka punya banyak uang untuk dibelanjakan,” ujar dia.
Selain itu, harga energi juga memainkan peran besar dalam kesenjangan ekonomi antara AS dan negara-negara lain.
Dalam laporan CNN disebutkan, salah satu alasan inflasi di Eropa lebih tinggi dibandingkan di AS karena di wilayah itu termasuk Inggris merupakan importir energi. Ekonomi Inggris dan kawasan euro sangat terkena dampak lonjakan harga gas alam setelah invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 yang sebabkan tagihan energi rumah tangga dan bisnis mencapai rekor tertinggi.
Advertisement