Liputan6.com, Jakarta Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nusa Tenggara Barat (NTB) Sahminudin menilai, kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek akan memperlemah daya saing produk tembakau Indonesia di pasar domestik dan internasional.
Selain itu, kebijakan itu pada akhirnya jelas akan mempengaruhi harga jual tembakau dan cengkeh yang dihasilkan oleh para petani.
Advertisement
"Dampaknya jelas multi-efek, yang terdampak dari kebijakan bungkus rokok polos bukan hanya petani tembakau, tetapi juga petani cengkeh, pihak pabrikan, bahkan negara," kate Sahminudin, Selasa (8/10/2024).
Dia mengklaim, dorongan untuk menerapkan kebijakan bungkusan rokok polos ini sebenarnya sudah lama menjadi agenda pihak-pihak yang anti terhadap tembakau dan industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia.
"Langkah-langkah yang diambil ini sangat terencana untuk melemahkan industri tembakau secara keseluruhan. Keinginan untuk itu (kemasan polos) memang sudah lama menjadi target dari pihak yang anti tembakau dan anti IHT Indonesia," ungkapnya.
Pabrik Rokok
Sahminudin menambahkan, dampak dari kebijakan ini tidak hanya akan dirasakan oleh petani tembakau dan cengkeh. Tapi juga oleh pabrik rokok, serta pihak lain yang terlibat dalam rantai produksi hingga distribusi dalam rantai pertembakauan nasional.
"Bahkan, negara pun akan terkena imbasnya dalam hal penerimaan negara yang berasal dari cukai rokok serta identitas produk dan merek yang selama ini menjadi ciri khas industri rokok Indonesia," imbuhnya.
"Kebijakan ini akan mempengaruhi petani tembakau dan cengkeh secara langsung. Dampak yang dirasakan akan sangat signifikan," tegas Sahminudin.
Curhat Petani Tembakau, Tertekan Imbas Rancangan Aturan Baru Rokok
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) secara tegas menolak Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024. Diketahui, aturan ini memuat ketentuan kemasan rokok polos tanpa merek yang ditentang banyak pihak.
APTI menilai ketentuan tentang kemasan rokok polos tanpa merek dalam RPMK akan merugikan industri tembakau, termasuk petani, dan mendesak pemerintah untuk meninjau ulang RPMK serta PP 28/2024.
Sekretaris Jenderal APTI, Kusnasi Mudi menyatakan bahwa regulasi ini mengancam mata pencaharian 2,5 juta petani tembakau yang sangat bergantung pada industri tersebut. Menurutnya, ada keterkaitan yang kuat antara sektor hulu dan hilir dalam ekosistem pertembakauan, dan jika sektor hilir ditekan, petani akan terkena dampaknya.
"Jika hilirnya terus ditekan, di hulunya ada petani yang terdampak," ujar dia.
Mudi juga menyoroti usulan pelarangan total iklan produk tembakau dan kemasan polos dalam PP 28/2024 yang dinilai sebagai upaya sistematis untuk menerapkan regulasi mirip dengan negara-negara yang meratifikasi Framework Convention for Tobacco Control (FCTC).
Dia menegaskan bahwa pengesahan RPMK akan mengancam mata pencaharian petani tembakau. Mudi menilai petani tidak akan tenang bercocok tanam dan mencari nafkah, jika secara terbuka ada upaya sistematis dan masif yang akan segera mengubah aturan pertembakauan Indonesia sehingga menjegal sumber nafkah bagi jutaan masyarakat.
"Mengesahkan RPMK sama saja dengan menjegal petani mencari nafkah,” paparnya.
Advertisement