Bungkusan Rokok Polos Diklaim Bakal Lemahkan Daya Saing Produk Tembakau Indonesia

Sekretaris Jenderal HKTI Sadar Subagyo menuturkan, regulasi yang menekan industri tembakau jadi penyebab petani tembakau dan cengkeh tidak sejahtera.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 08 Okt 2024, 20:30 WIB
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menaruh asa terhadap presiden terpilih Prabowo Subianto, terkait rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek. (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Liputan6.com, Jakarta - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menaruh asa terhadap presiden terpilih Prabowo Subianto, terkait rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK). 

Lantaran, kebijakan ini dinilai tidak hanya berdampak pada industri hasil tembakau, tetapi juga mengancam keberlangsungan pertanian tembakau nasional dan nasib para petani.

Sekretaris Jenderal HKTI Sadar Subagyo menyatakan, regulasi yang menekan industri tembakau jadi penyebab petani tembakau dan cengkeh tidak sejahtera. Ia menekankan, kebijakan yang menekan sektor tembakau tidak seharusnya menjadi solusi, melainkan pemerintah harus adil dalam mengatur sektor ini.

"Pemerintah ke depan sebaiknya memberikan aturan yang adil dan berimbang agar semua pihak mendapatkan kenyamanan dalam berusaha," ujar Sadar, Selasa (8/10/2024).

Mengenai keberpihakan pemerintahan baru, Sadar berharap Prabowo yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum HKTI bisa memberikan perhatian yang lebih terhadap nasib petani dan industri tembakau.

"Kami berharap pemerintahan baru mampu memberikan perlindungan yang lebih baik bagi sektor tembakau dan petaninya," ungkap Sadar.

Ia menilai, sejatinya konsumen berhak mendapatkan informasi atas produk legal yang dikonsumsi. Bungkusan rokok polos diklaim lebih rawan terhadap pemalsuan produk hasil tembakau. 

Terlebih, negara dapat kehilangan potensi pendapatan dari cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok yang bernilai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya.

"Karena tidak hanya industri tembakau yang terdampak, tetapi juga sektor-sektor lain yang terkait, termasuk petani tembakau. Ini menjadi kekhawatiran HKTI," imbuh Sadar.

Menurut dia, industri hasil tembakau merupakan ekosistem yang saling berkaitan antara satu sama lain. Jika satu aspek terkena dampak, hal itu akan menyebar ke aspek-aspek lainnya secara sistemik. 

Tak pelak, kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek inisiatif Menteri Kesehatan (Menkes) tersebut akan berdampak luas bagi pertembakauan nasional, terutama bagi petani.

 

 


Mata Pencaharian Utama

Seorang petani memeriksa daun tembakau di perkebunan tembakau di Kuta Cot Glie, provinsi Aceh (6/1/2022). Kementerian Keuangan menaikkan tarif CHT terhitung 1 Januari 2022 rata-rata 12 persen dengan dasar pertimbangan untuk pengendalian konsumsi rokok masyarakat. (AFP/Chaideer Mahyuddin)

HKTI juga menyoroti narasi yang menyarankan agar petani tembakau beralih ke tanaman lain. Sadar menyatakan, petani memiliki independensi penuh untuk memilih tanaman yang ingin mereka garap, dan tidak seharusnya ada tekanan untuk beralih. 

Selain itu, pertanian tembakau juga menjadi mata pencaharian utama yang telah mensejahterakan jutaan petani, bahkan di daerah kering yang sulit ditanami komoditas lain. Meskipun demikian, seharusnya petani tembakau diperlakukan adil oleh pemerintah.

"Petani tembakau sama saja nasibnya dengan petani komoditas lainnya. Keprihatinan terhadap nasib petani tidak harus spesifik menunjuk pada komoditas tertentu," tegasnya.

Ia menekankan, UU Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 telah memberikan kebebasan kepada petani untuk memilih komoditas yang ingin mereka tanam. Dengan landasan regulasi itu, konversi tanaman hanya akan terjadi jika suatu komoditas tidak memberikan margin keuntungan yang cukup bagi petani dalam jangka waktu tertentu.

"Dengan demikian, petani sendiri yang akan menentukan apakah mereka akan tetap menanam tembakau atau beralih ke tanaman lain," pungkas Sadar.


Curhat Petani Tembakau, Tertekan Imbas Rancangan Aturan Baru Rokok

Ilustrasi petani tembakau. (Foto: Istimewa)

Sebelumnya, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) secara tegas menolak Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024. Diketahui, aturan ini memuat ketentuan kemasan rokok polos tanpa merek yang ditentang banyak pihak.

APTI menilai ketentuan tentang kemasan rokok polos tanpa merek dalam RPMK akan merugikan industri tembakau, termasuk petani, dan mendesak pemerintah untuk meninjau ulang RPMK serta PP 28/2024.

Sekretaris Jenderal APTI, Kusnasi Mudi menyatakan bahwa regulasi ini mengancam mata pencaharian 2,5 juta petani tembakau yang sangat bergantung pada industri tersebut. Menurutnya, ada keterkaitan yang kuat antara sektor hulu dan hilir dalam ekosistem pertembakauan, dan jika sektor hilir ditekan, petani akan terkena dampaknya.

"Jika hilirnya terus ditekan, di hulunya ada petani yang terdampak," ujar dia.

Mudi juga menyoroti usulan pelarangan total iklan produk tembakau dan kemasan polos dalam PP 28/2024 yang dinilai sebagai upaya sistematis untuk menerapkan regulasi mirip dengan negara-negara yang meratifikasi Framework Convention for Tobacco Control (FCTC).

Dia menegaskan bahwa pengesahan RPMK akan mengancam mata pencaharian petani tembakau. Mudi menilai petani tidak akan tenang bercocok tanam dan mencari nafkah, jika secara terbuka ada upaya sistematis dan masif yang akan segera mengubah aturan pertembakauan Indonesia sehingga menjegal sumber nafkah bagi jutaan masyarakat.

"Mengesahkan RPMK sama saja dengan menjegal petani mencari nafkah,” paparnya.

 


Kritik Pengusaha Rokok

Derita Petani Tembakau Akibat Kenaikan Harga Rokok

Sebelumnya, Ketua Umum Gaprindo, Benny Wachjudi turut mendesak agar pemerintah bisa melihat kritik terhadap Rancangan Permenkes dan beleid PP 28/2024 yang muncul dari kalangan masyarakat sebagai hal penting.

Apalagi, kritik ini semakin mengemuka karena sebelum PP tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), tidak ada koordinasi yang baik dengan beberapa kementerian terkait.

Benny pun menegaskan, kendati kalangan pengusaha sepakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, pendekatan yang diambil tidak bisa hanya melibatkan aspek kesehatan atau industri saja.

“Kita perlu duduk bersama untuk membahas isu ini secara komprehensif,” tambahnya.

Dari sudut pandang industri, beberapa pasal dalam PP ini dinilai perlu direview. Selain itu, Benny juga menyarankan agar proses penyusunan Rancangan Permenkes sebaiknya dihentikan sampai ada pejabat menteri yang baru. Ia berharap Menkes yang baru nantinya akan membuka ruang diskusi yang mengakomodir masukan berbagai pihak, terutama tenaga kerja dan industri terdampak.

(Liputan6.com / Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya