Liputan6.com, Jakarta - Cengkih Hutan atau lebih dikenal dengan Cengke Utang menjadi produk unggulan dari masyarakat Kecamatan Amalatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Sayangnya, potensi cengke utang belum tergarap secara optimal karena dikelola secara konvensional dengan skala kecil.
“Program TEKAD melihat Cengke Utang sebagai komoditas unggulan yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat Amalatu. Kami berkomitmen untuk mendukung pengembangannya, mulai dari peningkatan skala pembibitan hingga penyediaan teknologi pasca panen yang lebih efisien,” ujar Fasilitator Kecamatan Program Transformasi Ekonomi Kampung Terpadu (TEKAD) Erna Wailissa di Amalatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, Selasa (8/10/2024).
Advertisement
Dia menjelaskan berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh tim fasilitator TEKAD, pada tahun 2024 Kecamatan Amalatu tercatat memproduksi hingga 85 ton Cengke Utang kering, dengan nilai transaksi mencapai Rp7 miliar. Desa-desa seperti Hualoy, Latu, dan Tomalehu menjadi pusat produksi utama komoditas ini.
“Meskipun budidaya cengke utang masih bersifat tradisional namun potensi sangat besar jika jika didukung oleh pendekatan pertanian yang lebih modern dan berkelanjutan,” katanya.
Erna mengungkapkan salah satu keunggulan utama Cengke Utang adalah usia panennya yang relatif lebih singkat dibandingkan jenis cengkih lain, yaitu sekitar 4-5 tahun sejak masa tanam. Selain itu, Cengke Utang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi dan bisa tumbuh subur di lahan-lahan pekarangan rumah serta dataran rendah.
“Dari segi produktivitas, varietas ini menghasilkan buah lebih banyak dibandingkan dengan cengkih tuni, yang umumnya tumbuh di wilayah pegunungan,” katanya.
Tantangan Mengembangkan Cengke Utang
Lebih jauh Erna mengatakan pengembangan cengke utang di Seram Bagian Barat menghadapi dua tantangan besar. Pertama proses pengeringan pasca panen masih menjadi tantangan utama bagi para petani. Biji Cengke Utang yang berukuran lebih besar dan mengandung kadar air tinggi memerlukan waktu pengeringan lebih dari 7 hari, terutama jika masih menggunakan metode tradisional dengan memanfaatkan sinar matahari.
“Program TEKAD berkomitmen membantu para petani dengan menyediakan teknologi pasca panen yang lebih efisien. Salah satu solusi yang direncanakan adalah memperkenalkan teknologi pengeringan buatan yang dapat menjaga kualitas biji cengkih meskipun cuaca tidak mendukung,” katanya.
Tantangan kedua, kata Erna pada ketersediaan bibit dan model pemasaran. Menurutnya bibit cengkeh utang relatif terbatas dibanding luasan lahan pertanian yang ada. “Pengembangan Cengke Utang bukan hanya tentang menanam dan memanen, tetapi juga bagaimana menciptakan nilai tambah. Oleh karena itu, Program TEKAD hadir untuk memberikan pendampingan dari segi teknik budidaya, pemanfaatan teknologi, serta membuka akses pasar yang lebih luas,” pungkasnya.
Advertisement